_Oleh Dasman Djamaluddin_
Hari Senin, 23 Maret 2020, penulis buku: " Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit (Jakarta: Penerbit Kata, 2006), yaitu Atmadji Sumarkidjo, mengirimkan buku tersebut ke kediaman saya. Sebelumnya memang saya minta. Sudah tentu saya merasa senang, karena bisa melengkapi buku yang saya tulis: " Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (Jakarta: PT. Gramedia Widiasaraba, 1998 dan 2008). Dua kali diterbitkan.
Isi buku yang banyak bercerita tentang Jenderal M. Jusuf setebal 458 halaman ini banyak bercerita tentang beberapa pengalamannya selama masa pemerintahan Presiden Soeharto tersebut.
Nama Jenderal M. Jusuf dan dua jenderal lainnya, Basoeki Rachmat dan Amirmachmud selalu didiskusikan jika memperingati lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 itu. Bagaimanapun ketiga jenderal tersebut yang diutus Soeharto ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno akan selalu dibicarakan jika kita berdiskusi jika memperingati Supersemar setiap tahunnya.
Ketika saya diminta menjadi pembicara dalam acara Seminar Nasional dan Diskusi Interaktif " Implikasi Wafatnya Soeharto terhadap Kebenaran Sejarah Supersemar," di Fakultas Hukum Universitas YARSI, Selasa, 25 Maret 2008, saya duduk satu meja bersama penulis buku M. Jusuf yaitu Atmadji Sumarkidjo tersebut. Di sinilah awal berkenalan saya dengan penulis buku M. Jusuf.
Buku Jenderal M. Jusuf ini memang memuat tentang perjalanannya ke Istana Bogor menemui Presiden Soekarno bersama dua jenderal lainnya, yaitu Basoeki Rachmat dan Amirmachmud. Lebih penting dari itu memuat pula Supersemar asli sebanyak dua lembar di halaman 184 dan dilampiran. Hanya menjadi pertanyaan saya, nama Soekarno yang selalu ia tulis demikian, tetapi di halaman ini tertulis Sukarno. Selain itu, ditandatanganinya di Jakarta bukan seperti yang diungkapkan ajudan Jenderal Basoeki Rachmat ketika rapat di Jalan Besuki 11, Menteng, Jakarta.
Di halaman 73 dan 74 buku yang saya tulis "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar, " ajudan Jenderal Basoeki Rachmat mengatakan ditandranganinya Supersemar itu bukan di Jakarta, tetapi di Bogor.
"Pak Bas dijemput pakai mobil oleh ajudannya bernama Stany Subakir. Ada dua mobil yang mengantarkan mereka ke Jakarta. Mobil mereka melalui jalur Bogor, Cibinong, Jakarta. ' Saya masih ingat, tempat ditandatanganinya naskah itu di Bogor, bukan di Jakarta," demikian ujar Stany Subakir mengenai naskah itu.
Waktu diselenggarakan Diskusi Interaktif Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila "Menelaah Sejarah Supersemar," Selasa, 10 Maret 2020 di Ruang Rapat Kemahasiswaan Universitas Pancasila, hal tersebut kembali saya tegaskan.
Pertanyaan saya, jika sudah ditemukan Supersemar asli tidaklah mungkin M. Jusuf Kalla di harian "Media Indonesia" Sabtu, 11 Maret 2006, mengatakan: " Naskah asli Supersemar yang tidak diketahui keberadaannya ... saat ini berada di tangan mantan Presiden Soeharto, " ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla waktu itu.
Juga Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan hal yang sama. "Supersemar asli boleh jadi berada di Jalan Cendana, " ujar Asvi Warman Adam di sumber yang sama.
Empat versi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), pun semuanya palsu atau tidak orisinal.
Hal itu ditegaskan mantan Kepala ANRI M Asichin ketika menjadi pembicara dalam Workshop Pengujian Autentikasi Arsip yang diselenggarakan ANRI di Jakarta. Ia menegaskan itu kembali ketika diwawancarai wartawan usai menjadi pembicara di lokakarya itu.
Asichin menjelaskan, empat versi Supersemar itu berasal dari tiga instansi, yakni Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan dari Akademi Kebangsaan.
Dari Puspen TNI AD dan Akademi Kebangsaan masing-masing satu versi satu lembar. Sedangkan dari Setneg ada dua versi, yakni Setneg versi satu lembar dan Setneg versi dua lembar.
"Dari bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (Labfor) Mabes Polri, semuanya dinyatakan belum ada yang orisinal, belum ada yang autentik," kata Asichin.
"Jadi, dari segi histori, perlu dicari terus di mana Supersemar yang asli itu berada. Dan, tim penelusur harus terus dijalankan," kata Asichin yang kini akan menjadi dosen di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP).
Supersemar dikeluarkan Presiden Soekarno tanggal 12 Maret 1966. Satu pendapat menyebutkan Supersemar merupakan surat kuasa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Namun, pendapat lain tidak begitu, yakni hanya menyebutkan perintah kepada Soeharto mengamankan keluarga besar Soekarno.
Asichin dalam wawancara dengan wartawan kembali menegaskan bahwa empat versi Supersemar yang ada di ANRI semuanya tidak ada yang asli. "Kita sudah uji forensik di Mabes Polri. Hasilnya menyatakan dokumen-dokumen itu hasil produk cetak, baik berupa tulisannya maupun lambang garuda, termasuk tanda tangannya bukan merupakan tarikan langsung. Semuanya merupakan produk cetak. Jadi, sampai sekarang dokumen Supersemar yang asli belum ketemu, katanya.
Ketika ditanyakan lebih mendetail apakah keempat versi Supersemar itu sengaja dipalsukan, Asichin tidak mau menyebutkan hal itu sebagai pemalsuan. "Saya tidak menyebutkan itu pemalsuan. Pertanyaannya, apakah Supersemar itu dihilangkan atau hilang, saya tidak tahu persis. Tapi, itu semuanya palsu atau tidak asli," katanya.
Sangat disayangkan, saya gagal bertemu Jenderal M. Jusuf. Pernah suatu ketika, beliau mau menerima saya di kediamannya. Tetapi ketika saya sudah di jalan, ajudannya telpon, pertemuan batal karena dipanggil Presiden Soeharto ke Istana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar