Sabtu, 11 Maret 2017

Bu Nas tentang Abdul Kadir Besar dan Pak Nas

Banyak di antara kita hanya melihat hubungan antara Pak Harto dengan Pak Nasution melalui foto di atas ini.Sangat akrab. Ini foto ketika Pak Harto dan Pak Nas dikukuhkan sebagai Jenderal Besar.Seorang lagi yaitu Jenderal Soedirman yang telah wafat.Jadi ada tiga jenderal dalam sejarah Indonesia memperoleh gelar Jenderal Besar.

Pernah Pak Susilo Bambang Yudhoyono diusulkan jadi Jenderal Besar, tetapi beliau menolak.

Foto di atas itu, hubungan erat antara dua orang jenderal tersebut.Tetapi tahukah kita, hubungan antara Pak Harto dengan Pak Nas, mantan Ketua MPRS dan Sekjen MPRS Abdul Kadir Besar?

Ini penuturan isteri Pak Nasution, Yohana Sunarti Nasution di Majalah "Tempo," 28 Juli 2002 halaman 64 dan 69 berjudul: "Setumpuk Buku 30 Tahun yang Lalu, " dan " Kami Dijauhi Seperti Penderita Lepra," tulisan Andari Karani :
" Abdul Kadir Besar, sejumlah pemgurus MPRS, dan pengelola Percetakan Siliwangi malah sempat diinterogasi.Tudingannya seram, membocorkan rahasia negara.Pak Nas dicekal dari tahun 1972 sampai 1993.Sejak itu, penjagaan dan fasilitas ditarik. Bahkan air PAM di rumah dicabut.Setiap hari intelijen mengamati kami.Semua yang dekat-dekat Pak Nas  akan dibikin susah, sehingga orang takut datang. Yang setia datang adalah Surono dan Wiyogo Atmodarminto.Soepardjo Roestam juga pernah datang, tapi cuma sebentar, lalu pergi. Yang lain menjauh. Seolah-olah kami ini menderita lepra.Sewaktu Adam Malik meninggal, Bapak datang. Tiba-tiba ada tentara yang menarik Bapak dan menyuruh mundur dengan cara yang tidak sopan.Kurang ajar sekali mereka," ujar isteri Pak Nasution, Yohana Sunarti Nasution.

Selanjutnya Bu Nas mengatakan :

"Pak Nas bilang sudah memaafkan Pak Harto.Cuma ada satu orang yang
tidak mau dia maafkan.Tapi saya tak akan bilang siapa.Bapak bilang TNI sudah  meninggalkan tugas seharusnya.TNI harusnya dekat dengan rakyat., bukan  ikut  memeras rakyat.Mengapa sekarang jadi begini? TNI sekarang masuk ke segala peran. Orang jadi mempermasalahkan Pak
Nas sebagai penggagas dwi fungsi.Pada hal dwifungsi yang dilakukan Pak Harto bukan yang dimaksud Pak Nas. Prinsip TNI punya hak juga di negeri ini.Tapi jangan di semua bidang."

Minggu, 05 Maret 2017

Bantahan: "Saya Bukan Wartawan Senior Majalah Gatra"

Pada hari ini, hari Minggu, tanggal 5 Maret 2017 saya membaca artikel di BLOGdetik.Atau disebut pula dengan mayalestarigf.blogdetik.com/2013/08/20.Berarti artikel itu bertanggal 20 Agustus 2013.Lama sekali, empat tahun, tetapi baru saya baca pada hari ini, Minggu, 5 Maret 2017.

Judul dan isinya menarik.Judulnya: "Sejarah Singkat Pers di Masa Orde Baru dan Reformasi." Hanya ketika menyebut nama saya: "Dasman Djamaluddin, wartawan senior Majalah Gatra dalam sebuah pembicaraan online dengan saya menyatakan...," maka kalimat ini keliru.Saya tidak pernah menjadi wartawan Majalah Gatra.Ditulisan selanjutnya disebut bahwa saya adalah Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK.Ini yang benar.Saya menjadi Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK, salah satu media "Merdeka Group," pimpinan Bapak BM Diah.

Saya menjadi Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK mulai 1 Juni 1985 s/d 1 April 1988.Sekali lagi bukan wartawan senior Majalah Gatra.
Kutipan Lengkap dari BLOGdetik :

Sejarah Singkat Pers di Masa Orde Baru dan Reformasi


Ada dua masa penting dalam dunia pers Indonesia. Pertama masa Orde Baru dan kedua masa reformasi. Kedua masa ini memiliki perbedaan yang begitu besar dan nyata. Di masa orde baru, pers diikat oleh aturan-aturan ketat sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Dalam Undang-undang ini pers memiliki lima kewajiban, diantaranya, mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen, sertamembina persatuan dan kekuatan-kekuatan progresif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme/diktator.
Secara tak tertulis, penguasa juga menginginkan pers tidak menurunkan pemberitaan negatif terkait kekuasaaan. Dengan demikian, media-media yang dalam pandangan penguasa tidak bisa memenuhi keinginan di atas, akan dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-nya (SIUPP). Peristiwa pembredelan yang menimpa Majalah Tempo, Editor dan DeTik pada 21 Juni 1994, merupakan bentuk dari represifitas penguasa terhadap media yang dianggap berseberangan.
Logika Self Censorship
Dasman Djamaluddin, wartawan senior Majalah Gatra dalam sebuah pembicaraan online dengan saya menyatakan bahwa sejarah pers di masa Orde Baru tidak bisa melepaskan diri dari sejarah pers sebelumnya. Inilah kerangka besar Sejarah Pers di Indonesia. Warisan pers di masa Orde Lama masih terasa ketika Orde Baru lahir. Di masa itu ada istilah pers perjuangan dan sangat akrab dengan istilah personal journalism, yaitu jurnalisme yang secara signifikan tampil di muka khalayak dengan suara dan sikap seirama dengan pikiran, pandangan dan idealisme pemimpin redaksinya. Jadi ke arah mana surat kabarnya dibawa, tergantung pemimpin redaksinya. Bahkan lebih ekstrimnya lagi, surat kabar itu sudah identik dengan pemimpin redaksinya. Misalnya Harian Merdeka identik dengan B.M.Diah. Harian Pedoman identik dengan Rosihan Anwar dan Harian Indonesia Raya identik dengan Mochtar Lubis.
Mengutip Dr.Martin Schneider, ahli komunikasi dari Belanda, Dasman menyebutkan tiga kriteria suratkabar. Pertama, koran yang mempunyai ikatan organisatoris dengan organisasi politik. Kedua, koran yang tidak memiliki hubungan organisatoris dengan organisasi politik, tetapi kebijakan editorialnya mengarah kepada organisasi politik. Ketiga, koran yang independen. Itu artinya, apapun kriteria sebuah koran, ia akan selalu terkait dengan politik.
Pada masa Orde Baru, kekuatan militer sangat dominan di Indonesia. Pemerintahan pun bersifat sangat militeristik. Untuk mengendalikan situasi, pemerintah kadang menggunakan tangan besi. Pers, dalam hal ini, jika tak ingin ditampar tangan besi pemerintah, harusmenurunkan berita yang sesuai dengan keinginan pemerintah. Di sini kemudian berlaku self censorship. Menurut kamus online Cambridge, self censorship adalah pengendalian perkataan dan perbuatan untuk menghindarkan kemungkinan menganggu atau menyinggung pihak lain, hal ini dilakukan tanpa ada pemberitahuan resmi sebelumnya, bahwa kontrol itu diperlukan. Tindakan self sensorship ini mengindikasikan, ketatnya kontrol berita oleh penguasa, memaksa koran untuk melakukan penyensoran sendiri terhadap berita-berita yang diperkirakan bisa menyinggung kekuasaan.
Hal ini diakui sendiri oleh Dasman Djamaluddin yang pernah menjabat Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK (Kelompok Harian Merdeka). Pada masanya, majalahnya terpaksa memilah-milah berita yang sesuai dengan kemauan pemerintah. Bila terjadi pelanggaran langsung ditegur melalui telepon kadang surat.
Ini mengindikasikan bahwa persdalam logika penguasa, merupakan salah satu alat untuk mengendalikan keamanan dan kenyamanan. Pers tidak dipandang sebagai alat bagi rakyat untuk menyampaikan opini, corong untuk menyampaikan segala yang dipandang tidak baik, agar bisa diperbaiki oleh penguasa. Karena itulah pemerintah masa itu, melalui Departemen Penerangan mesti mengendalikan pers, agar tidak tersesat mengacaukan stabilitas kekuasaan.
Namun, wartawan-wartawan cerdik umumnya punya strategi jitu. Sebagaimana yang diungkapkapkan Dasman Djamaluddin, untuk mengkritik pemerintah, ia akan menulis berita-berita luar negeri yang memiliki persamaan dengan yang terjadi di dalam negeri. Mengkritik ke negeri orang, sekaligus berdampak ke dalam negeri.
Hal seperti ini umumnya tak dirasakan wartawan-wartawan yang khusus meliput pembangunan desa semisal Drs. Amiruddin yang masa itu menjadi wartawan Koran Masuk Desa (KMD) Harian Haluan. Berita-berita KMD sangat direspon positif karena banyak memberitakan kemajuan pembangunan di berbagai desa. Suatu hal yang memang diinginkan oleh pemerintah Orde baru.
Reformasi
Perubahan politik di masa reformasi, menghasilkan perubahan pula pada dunia pers. Pada masa reformasi, UU No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang represif dicabut dan digantikan dengan UU No. 40 Tahun 1999. Undang-undang yang baru lebih bersahabat pada dengan pers. Namun, ternyata ini memiliki efek. Euforia kebebasan pers, membuat beberapa media menyiarkan berita yang lebih bersifat sensasional, dan pada level etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri. Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers, juga muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (Firdaus Putra A, Jejak Pers di Masa Orba dan Reformasi)