Kamis, 30 Juli 2020

TERNYATA SADDAM HUSSEIN ITU TIDAK KEJAM


(Tulisan yang pernah dipublikasi http://www.radiosuarabekasi.com dan https://koranpelita.com)

 Oleh Dasman Djamaluddin



Entah mengapa buku penulis Amerika Serikat (AS) Will Bardenwerper berjudul: "The Prisoner in His Palace: Saddam Hussein and the Twelve Americans Who Guarded Him," 
terbitan tahun 2017 ini, di akhir Juli 2020 banyak diulas media massa on line dan cetak di Indonesia.

Ternyata, setelah membaca resensi singkatnya, sosok Will Bardenwerper, tentara Amerika yang bertugas menjaga Saddam Husein menjelang digantung  di tiang gantungan, adalah salah seorang yang berani mengungkapkan, sosok Mantan Presiden Irak Saddam Hussein itu apa adanya. Saddam Hussein adalah orang baik, tidak kejam dan penuh kasih sayang.

Meski orang Amerika, tentara ini membongkar kebusukan negaranya yang menutup-nutupi, bahkan menyebut Saddam diktator yang kejam.

Diungkapkan oleh Will Bardenwerper, saat detik-detik menjelang ajal Saddam Hussein ditiang gantungan yang tak banyak diketahui masyarakat Irak dan internasional.

Pada awal tahun 1980 sampai 2000-an, ujar Will Bardenwerper, Saddam Hussein sangat terkenal di dunia karena dia adalah Presiden Irak.

Ditambahkannya,  para penjaga yang diwawancarai dirinya, mendengar suara tertawa Saddam sangat kencang dan mirip dengan karakter The Count dari serial TV Sesame Street.

 ”Dia juga suka naik sepeda statis untuk berolahraga. Sepeda itu bahkan dikasih nama Pony,” sambungnya.

Ditulis Bardenwerper, Saddam suka menghabiskan waktunya di dalam penjara dan duduk sambil menulis sesuatu. Terkadang, dia akan mengajak penjaga mengobrol dan mendengarkan cerita-cerita mereka mengenai keluarga masing-masing.

Suatu ketika, Saddam bercerita kalau dia pernah marah berat dengan salah seorang anak lelakinya, Uday. Uday yang punya masalah emosional tingkat tinggi pernah marah di salah satu pesta dan menembaki para undangan. Dalam kejadian itu, Uday membunuh beberapa orang termasuk adik Saddam sendiri. ”Saya sangat-sangat marah dengannya sampai-sampai saya membakar semua mobilnya,” kata Saddam kepada penjaga penjara yang sebagian besar adalah tentara AS.

Mobil-mobil yang koleksi Uday padahal tidak ada yang murah. Koleksinya antara lain Rolls-Royce, Ferrari, dan Porsche.

Yang mengejutkan, para penjaga yang menjaga Saddam di penjara mengaku sangat sedih ketika Saddam dihukum mati meski dia adalah musuh AS. Salah seorang tentara, Adam Rogerson mengatakan kalau dia merasa sudah mengecewakan Saddam. 

”Saya hampir merasa seperti pembunuh. Saya merasa saya membunuh lelaki yang dekat dengan saya,” katanya.

Setelah Saddam meninggal dunia,  mayatnya dibawa keluar ruang eksekusi yang sudah penuh dengan warga Iraq. Di sana, penduduk meludahi mayatnya dan memukulinya.

Tetapi, dalam kesempatan itu, 12 tentara AS yang menjaga Saddam di dalam penjara selama berbulan-bulan merasa ikut terluka. Bahkan salah seorang dari mereka berusaha lari untuk melarang warga melakukan hal itu. Tetapi, dia ditarik oleh rekannya yang lain. 

”Kami sudah menganggapnya sebagai kakek sendiri,” kata salah seorang mantan penjaga.

Seorang suster militer, Ellis, suatu ketika menceritakan kepada Saddam kalau kakaknya meninggal dunia. ”Saddam kemudian memeluk saya dan mengatakan, aku akan menjadi kakakmu,”” kenang Ellis.

Saddam juga mengatakan kepada penjaga-penjaganya kalau dia akan membiayai sekolah anak-anak mereka bila bisa mendapatkan akses hartanya. 

Orang dekat Saddam Hussein banyak dihukum mati, di antaranya orang kepercayaan sekaligus sekretaris pribadi Saddam Hussein, Abed Hamid Hmoud, dieksekusi dengan digantung. Orang nomor empat dalam daftar pencarian AS di Irak itu dieksekusi, karena melakukan genosida atau pembunuhan secara massal terhadap warga Irak.

Menteri Kehakiman Irak, Haidar al-Sadii, mengatakan, jasad Hmoud akan diserahkan kepada keluarganya. 

Hmoud adalah pejabat senior terbaru yang dieksekusi setelah jatuhnya Saddam Hussein selama invasi AS sembilan tahun yang lalu. Hmoud adalah orang kelima Saddam yang dieksekusi di Irak. 

Hmoud yang merupakan sepupu jauh Saddam yang ditangkap oleh pasukan AS pada Juni 2003, tiga bulan setelah invasi. Ia orang nomor empat yang dicari AS setelah Saddam dan kedua putranya, Qushai dan Uday. Hmoud yang berusia 50 tahun itu dieksekusi, karena menumpas anggota partai oposisi dan partai-partai keagamaan yang dilarang di era pemerintahan Saddam. Hanya partai berkuasa Baath yang diizinkan

Dia juga termasuk di antara 15 orang yang diadili, karena peran brutal dalam menghalau pemberontakan rakyat setelah 1991.  Sebagai sekretaris pribadi Saddam, Hmoud mengontrol akses presiden Irak dan merupakan salah seorang dari sedikit orang yang dipercaya sepenuhnya oleh Saddam Hussein. 

Sebelumnnya, eksekusi gantung telah dilakukan terhadap sepupu Saddam yang dikenal dengan sebutan Chemical Ali. Begitu pula menteri luar negeri Saddam, Tariq Aziz, yang dihukum pada 2010. Eksekusi para mantan pejabat rezim Saddam adalah topik sensitif di Irak. Ketegangan sektarian sangat tinggi sejak pasukan AS terakhir meninggalkan negara itu.

Meski Vatikan telah mengajukan banding terhadap pemerintah syiah Irak agar tidak mengeksekusi Aziz, tetap saja ia dihukum mati. Menurut Vatikan, kematiannya tidak akan membantu usaha rekonsiliasi di Irak.

Ternyata hukuman gantung masih populer di Irak. Sebuah penyiksaan yang tidak dapat dibayangkan di abad ini.

 _Uday Saddam Hussein_ 

Mendengar tentang Uday Saddam Hussein, mengingatkan saya tentang perjalanan saya ke ibu kota Irak, Baghdad, bulan Desember 1992, karena pihak Kementerian Olah Raga Irak (Uday adalah Ketua Umumnya) memberitahu saya, bahwa putra Saddam Hussein itu bersedia melakukan wawancara dengan saya.

Saya bergegas ke Gedung Kementerian Olah Raga Irak tersebut. Tidak lama Uday datang dengan pengawalan ketat. Beberapa menit kemudian, saya memasuki Gedung Kementerian Olah Raga Irak. Uday kemudian batal bertemu saya, karena situasi di Irak tidak kondusif.

Saya kemudian kembali ke hotel di mana saya menginap. Tidak lama terdengar lagi telepon. Saya ternyata di rekomendasikan Uday kepada Menteri Perindustrian dan Perlogaman Irak yang masih bersaudara dengan Presiden Irak Saddam Hussein.

Perlu juga saya jelaskan perjalanan ke Irak, di bulan Desember 1992 tersebut. Sebelum Irak di invasi pasukan AS yang menjadi Duta Besar untuk Indonesia terakhir di masa kepemimpinan Presiden Irak Saddam Hussein adalah Dr.Sa'doon al-Zubaydi. Ia adalah mantan kepala penterjemah Presiden Irak tersebut. Itu terjadi setelah saya mengunjungi negara itu pada bulan Desember 1992.

Apa yang saya lihat di negara 1001 malam itu? Menyaksikan penderitaan rakyat Irak setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberlakukan sanksi ekonomi dan membatasi larangan terbang sepanjang garis paralel 36 di Utara dan garis paralel 32  Selatan Irak. Dampak larangan terbang tersebut berpengaruh besar terhadap siapa saja yang datang ke Irak. Bandara Baghdad ditutup dan jalan satu-satunya menuju Irak hanya melalui Jordania, tetangga Irak yang tetap bersahabat di saat-saat Irak dalam kesulitan. 

Berapa jarak yang saya tempuh? Secara keseluruhan 885 kilometer. Ketika itu saya menempuhnya dengan taksi dari ibukota Jordania (Amman) ke ibukota Irak (Baghdad) sekitar 13 jam.

Situasi kota Baghdad terasa sejuk dan aman waktu itu. Meski AS menyerang Irak, tetapi Presiden Irak Saddam Hussein masih berkuasa. Menurut Menteri Industri Perlogaman Irak, Amir al-Saadi yang bersedia menerima saya dalam sebuah wawancara khusus, serangan AS dan sekutunya itu terjadi sebanyak 72 kali di pusat-pusat penting pemerintahan dan pusat perbelanjaan rakyat. Pemboman tanggal 19 Januari 1992 itu membuat rakyat Irak menderita. Sanksi yang diberlakukan kepada Irak tidak pernah dicabut. Malah serangan AS beserta sekutunya terutama Inggris itu yang terakhir di masa Presiden AS George Walker Bush berkuasa, berhasil menggulingkan pemerintahan Presiden Irak Saddam Hussein pada April 2003. Orang kuat di Irak itu pada Sabtu, 30 Desember 2006 dijatuhi hukuman mati dengan digantung.

 _Mengapa saya menulis tentang Presiden Irak Saddam Hussein?_ 

Itulah pertanyaan belakangan ini yang dialamatkan kepada saya. Tetapi pertanyaan itu sangat mudah dijawab, ketika seseorang mengamati perkembangan tentang "Negara 1001 Malam," itu.

"Negara 1001 Malam, " itulah julukan yang diberikan kepada negara yang terletak di antara garis litang 37.25 derajat dan 29.5 derajat, serta garis bujur 48.45 derajat dan 38.45 derajat. Wilayahnya meliputi area seluas 438.446 kilometer persegi dengan areal yang dapat ditanam 75.364 kilometer perdegi. 

Sudah tentu, data ini saya cuplik tahun 1998, ketika menulis buku "Saddam Hussein Menghalau Tantangan" (Jakarta: Penebar Swadaya, 1998).

Buku Saddam Hussein ini merupakan catatan saya selama berkunjung ke Irak untuk pertama kalinya pada Desember 1992, ketika negara itu dikucilkan oleh negara-negara Arab lain, karena Irak menyerang Kuwait dan menganeksasi wilayah itu sebagai bagian dari Irak. 

Di sinilai dimulai sengketa awal Irak dengan AS yang ketika terjadi Perang Irak-Iran pada 22 September 1980, AS selalu mendukung Irak.

Pada waktu itu, Indonesia dan negara lain, umumnya negara Dunia Ketiga, ikut menentang embargo ekonomi dan udara yang dilakukan AS. Hanya Jordania yang membuka jalan darat ke ibu kota Irak Baghdad. 

Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas waktu itu cemas dan mengingatkan AS agar tidak menyerang Irak. 

Tokoh pers Burhanudin Mohamad Diah (B.M.Diah), juga ikut mengingatkan hal yang sama. Inilah latar belakang mengapa B.M.Diah mengutus saya langsung ke Irak. Jika hanya berdasarkan informasi dari negara maju, sudah tentu memihak AS dan sekutunya. 

 _Buku Saya Sudah Tentu Dibaca Presiden Saddam Hussein_ 

Pada tanggal 24 Juni 1998, saya menerima surat dari Kedutaan Besar Irak di Jakarta. Surat itu datang dari Kantor Sekretaris Pers Presiden Republik Irak yang menyatakan penghargaan mengenai buku yang saya tulis: "Saddam Hussein: Menghalau Tantangan,"(Jakarta: PT.Penerbit Swadaya, 1998)."

" Terimakasih atas simpatinya dan sikap mendukung jihad/perjuangan Irak beserta prinsipnya," jelas isi surat tersebut. Sudah tentu buku tersebut telah dibaca oleh Presiden Irak Saddam Hussein. Saya yakin telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Arab, untuk memudahkan Presiden Saddam Hussein membacanya.

Selanjutnya pada 13 Agustus 1998, saya diundang oleh Duta Besar Irak di Jakarta Dr.Sa'doon J al-Zubaydi untuk menerima penghargaan dari Kedutaan Besar Irak di Jakarta secara resmi. Duta Besar Irak ini adalah mantan Penterjemah Kepala Presiden Saddam Hussein.

Setelah upacara kehormatan ini dipublikasi harian "Kompas" edisi Sabtu, 15 Agustus 1998, maka pada 18 September 1998 dan 23 September 1998, dua buah surat ucapan selamat datang dari Direktur Jenderal Radio-Televisi-Film Drs.Ishadi SK, M.Sc dan dari Menteri Penerangan RI yang ditanda-tangani oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika H.Dailami. Kedua surat tersebut diberi tembusan kepada Menteri Luar Negeri RI dan Duta Besar Irak di Jakarta.

Tahun itu juga nama Presiden Saddam Hussein kembali terdengar di dunia internasional setelah dihukum gantung. Seorang agen CIA bernama John Nixon, juga menulis sebuah buku: "Debriefing the President: The Interrogation of Saddam Hussein." Penulis buku inilah yang pertama kali menginterogasi Saddam Hussein setelah berhasil ditangkap. 

Di dalam wawancara itu ternyata Saddam Hussein tidak pernah terbukti menyimpan senjata pemusnah massal sebagaimana dituduhkan AS di bawah Presiden AS George Walker Bush.

Juga di dalam interogasi tersebut, dinyatakan, Saddam Hussein sangat mencintai kedua putrinya Rana dan anak perempuan tertuanya Raghad,  yang sekarang bermukim di Jordania. Sewaktu ayahnya dihukum gantung, anak perempuannya ini mengaku tidak ingin melihatnya di televisi. Berkemungkinan tidak tega, sang ayah digantung. Sebagai orang tua, Saddam Hussein juga mencintai kedua anak laki-lakinya, Uday dan Qusay yang telah tewas.

Kembali ke masalah Duta Besar Irak di Jakarta, Dr. Sa'doon al-Zubaydi. Tubuhnya sedikit agak tinggi, tetapi kurus, itulah Dr. Sa'doon al-Zubaydi. Tetapi jika mencari namanya dengan ejaan lengkap di atas, di wikipedia, maka tidak mungkin menemukannya, karena namanya tertulis: Sadoun al-Zubaydi tanpa menyebutkan gelar akademiknya sebagai seorang doktor. Malah disebutkan juga, ia adalah seorang mantan profesor sastra Inggris berpendidikan Inggris di Universitas Cambridge.

Banyak yang tidak mengetahui nasib orang kepercayaan Presiden Irak Saddam Hussein itu setelah AS menyerang dan menduduki Irak  pada tahun 2003, tepatnya pada tanggal 20 Maret 2003. 

Terakhir sekali saya memperoleh informasi, bahwa Dr. Sa'doon J. al-Zubaydi
sudah kembali ke Baghdad sebelum Presiden Irak Saddam Hussein digantung. Sebelum Saddam Hussein digantung, Sa'doon J. al-Zubaydi muncul di Irak dari ketidakjelasan yang dipaksakan sendiri pada tahun 2005 untuk memberi nasehat kepada kelompok Muslim Sunni atas draf Konstitusi Irak. Dia juga disebut-sebut menjadi sasaran target khusus oleh sejumlah milisi yang berafiliasi ke kelompok al-Qaeda. Di bulan Maret 2008, ia hidup dalam pengasingan di Suriah. Hingga hari ini tidak seorang pun tahu nasibnya.

Nasib Duta Besar Irak untuk Indonesia dari tahun 1995-2001 itu  lebih beruntung dari presidennya yang dihukum gantung. Bagaimana pun kedua-duanya terasing dari sejarah Irak. Itu pun tergantung dari sejauh mana kecintaan rakyat Irak kepada mereka. Jika ini yang terjadi, meski mereka telah tiada, namanya akan muncul di hati masyarakat Irak.

Saya ketika Duta Besar Irak  untuk Indonesia Dr. Sa'doon J. al-Zubaydi menjabat dari tahun 1995-2001 sering berkomunikasi dengan beliau di Kedutaan Besar Irak, Jakarta. 

Saya ke Irak untuk kedua kalinya di bulan September 2014, meskipun tidak bertemu dengan Presiden Irak Saddam Hussein, karena ia telah digantung.

Situasi Irak tahun 2014 itu masih belum kondusif, karena pengikut Saddam Hussein masih menentang perlakuan AS dan sekutunya. Tetapi yang jelas buat saya,  buku yang saya tulis telah dibaca Presiden Irak Saddam Hussein.

Penghargaan berupa hadiah, saya sudah terima di Kedutaan Besar Irak di Jakarta. Itulah sebuah kenangan berharga selama saya menjadi wartawan.

Kamis, 23 Juli 2020

SASTRAWAN DAN ULAMA ITU WAFAT DI HARI DAN BULAN YANG BAIK

Mengenang Kepergian Buya Hamka
 Makam Buya Hamka di Tanah Kusir

 Oleh Dasman Djamaluddin
Foto profil Dasman Djamaluddin


Bangsa Indonesia hari ini, Jumat, 24 Apri 2020, meski peristiwa itu terjadi pada hari Jumat juga, 24 April 1981. Istimewanya pada hari tersebut berada di bulan Ramadhan.

Memang benar, bangsa Indonesia merasakan duka mendalam  atas wafatnya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, tanggal 24 Juli 1981 di usia 73 tahun. Hamka adalah sastrawan besar Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.
Suasana pemakaman Buya Hamka

Hari ini, Jumat,  tanggal 24 Juli 2020, sebagai bangsa yang selalu mengenang jasa-jasa tokoh-tokoh bangsanya, kita pun ingin sekali membalik jarum jam sejarah agar generasi muda ikut mengetahui perjuangan panjang yang dilakukan tokoh-tokohnya. Minimal sebagai suri tauladan, agar jejak mereka selalu diikuti. Sekaligus memacu semangat mereka untuk lebih banyak berkarya. Hanya dengan sebuah karya, kita bisa menunjukkan eksistensi sebagai bangsa berbudaya.

"Maha Suci Allah Yang ditangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (Q.S. Al-Mulk: 1-2)

Tanggal 24 Juli 1981, saat Hamka meninggalkan alam fana ini, umat Islam Indonesia sedang berpuasa. Bulan baik. Hamka meninggal dunia setelah dirawat sejak 18 Juli 1981 di RS Pertamina, Jakarta. Beliau menderita sakit jantung, radang paru-paru dan gangguan pembuluh darah. Akhirnya sastrawan dan ulama besar itu meninggal dunia pada hari Jumat, hari baik, pukul 10.40 WIB setelah mencapai usia 73 tahun lebih.

Untuk menggambarkan suasana waktu itu, saya mencoba mencuplik keseluruhan tulisan O’Galelano, yang saya anggap sangat menarik di Harian " Pelita." Hingga hari ini saya tidak tahu siapakah O’Galelano, apakah itu nama samarannya atau nama sebenarnya. Yang jelas tulisannya mampu menghanyutkan kita ke suasana tanggal 24 Juli 1981, suasana duka, di mana bolamata-bolamata penganggumnya, anak muridnya, teman, kerabat, memerah menahan kesedihan.

“Udara Jakarta, sudah dua hari menjelang Jumat, memang sesekali dibasahi oleh siraman sekejap dari renyai hujan. Awan gemawan sesekali menjulurkan tatapannya ke bawah dari lazuardi ibukota. Sebelumnya, jarang Jakarta disentuh oleh hujan. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), ulama terkemuka, pujangga, sastrawan yang membuat pembacanya melinangkan airmata, kala mereka menyimak novel religiusnya, Profesor dan Dr., yang karyanya dibaca di dunia  Islam itu, sudah masuk ICU RS Pertamina, Jumat pagi 18 Juli 1981. Udara Jakarta yang panas mendenyit ubun, sejak Rabu dan Kamis, sesekali disentuh basah hujan. Seolah komponen jagat raya ini melirik, ulama besar itu dalam persiapannya untuk perjalanan yang abadi.

Ketika warga kota terlebih muslimin-muslimah memperoleh berita pagi oleh koran, bahwa Buya Hamka dalam keadaan kritis, mereka mendekap radio, untuk mendengarkan lebih lanjut kabar kesehatan beliau. Menjelang shalat Jumat, hujan tercurah di ibukota. Seolah hanya Jakarta yang dibasahi, karena benderang langit sekitar Jakarta tak berawan gelap. Jemaah Shalat Jumat di masjid mulai terisak tatkala panitia mengumumkan bahwa Buya Hamka, telah pergi tadi siang pukul 10.30 WIB. Seluruh Jakarta, dalam jutaan doa umat Islam, agaknya telah menghunjam di belantara alam. Jumat itu, masjid-mesjid Jakarta mengadakan shalat ghaib.

Bukan shalat ghaib yang ingin kita catat. Walaupun dalam duka yang merambat jutaan kalbu umat, hal itu memang penting. Namun bola mata-bola mata mereka yang shalat ghaib, yang meneteskan air mata dan isak, ketika menyeru Allah. Mereka tergoyah tubuhnya oleh isak dalam shalat. Doa mereka adalah doa yang diajukan dengan derai air mata: "Ya, Rabbi, terimalah pemimpin, guru, imam dan ayah kami ini di sisi Mu. Di rumahnya yang baru dibenah, dengan warna putih yang dominan suara dan tangis yang emosional hadir di mana-mana. Rusydi, puteranya yang tertua, yang telah lama dipersiapkan untuk melanjutkan penanya, berkata jelas, walaupun kesedihan menamparnya dahsyat: “Lanjutkan silaturrahmi ayah kami, kepada kami putera-puterinya di rumah ini. Kita yang berkumpul di sini adalah sahabat ayah, murid ayah, para menteri dan ulama, anak-anak rohani ayah kami.” Begitu kata Rusydi, yang sekarang agaknya meresa sepi meneruskan Majalah "Panji Mayarakat," yang dibina ayahnya itu.

Di tengah jenazah ulama besar itu di rumahnya di Jalan Fatah III No. 1, banyak bergemaratak ucap dan doa yang penuh emosi. Sampai-sampai suasana di rumah ini mirip bagaikan jenazah para pejuang Palestina. Orang berhimpitan, berdesakan. Yang menteri, yang ulama, yang pemuda, yang ibu, yang gadis. Seorang lelaki meronta berteriak karena dilarang mendekat jenazah. Dia berteriak dengan tangis agar kiranya diperkenankan melihat wajah Buya terakhir kali.

Di dalam Masjid Agung Al-Azhar saat jenazah akan disembahyangkan, tidak urung takbir dengan suasana hati syarat emosi masih mengumandang. Masing-masing orang agaknya ingin berarti di dekat jenazah orang yang disayanginya. Hamka memang, bapak rohani yang hilang dini. Dan orang terpana, syarat emosi.

Rasanya menyayat sembilu hati kita, melihat seorang gadis kecil yang terjepit di antara desakan orang melongokkan kepalanya dan mengarahkan matanya yang berlinang, dengan isak yang tertahan. Ketika iringan jenazah lewat rumahnya. Pemandangan yang membiaskan rupa lain dari gambar diri ulama terkemuka ini. Banyak orang yang ingin menyentuh jenazah Buya, dan dalam kerumunan, himpitan dan dempetan, hal seperti ini memang ikut membuat suasana duka meningkat kepada “semangat dan api rohani.”

Ketika para pengantar bergegas meninggalkan Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan, di arah barat bayang Asar yang menepi. Udara dan langit di atas makam, kembali duka. Awan gelap mulai menjulurkan nestapa. Sesudah itu hujan menyiram bumi merah. Telah agak lama usia Buya Hamka tersita di ibukota ini. Di mimbar khotbah, di halaman buku, koran, majalah. Buya barangkali adalah warga ibu kota yang selalu dengan putih hati berusaha menyapunya dengan nasihat yang mendinginkan.

Kalau saja gemawan dapat jelas berbisik pada kita, barangkali siraman hujan adalah pertanda, alangkah indahnya keberangkatan Buya. Di tahun, di bulan, di hari-hari yang penuh indah. Maka pantaslah kita bergembira, walaupun nestapa menindih kita, seperti kata pisah keluarga yang dibawakan Buya Malik Ahmad. "Selama hayatnya, Hamka memang adalah ekspresi keindahan.”

 *Selanjutnya penjelasan tentang Pemakaman Almarhum Buya Hamka”, tulisan Bapak Rusydi Hamka, "Panji Masyarakat" Nomor 332, halaman 9-11 :* 
 
"24 Juli 1981. Waktu zuhur telah tiba; azan Shalat Jumat di Al-Azhar siap berkumandang. Kaum keluarga di bawah pimpinan Dahlan AS (menantu Abdul Kudus Amrullah) mengadakan shalat jamaah pula di rumah. Turut dalam jamaah itu antara lain Bapak Ir. Azwar Anas (Gubemur Sumatera Barat), dan Bapak AR Baswedan yang baru datang dari Yogyakarta. Selesai Shalat Jumat, hujan turun dengan lebat sekali.

Faisal Tamim datang memberitahukan bahwa tanah pekuburan sedang digali. Ia segera mengajak kawan-kawan dan adik-adik memandikan jenazah.

Sementara itu, tamu-tamu pun semakin banyak, rumah dan pekarangan di jalan Raden Patah penuh sesak. Sepanjang jalan penuh dengan mobil dan motor yang diparkir. Jenazah dibaringkan kembali untuk dikafani dan memenuhi permintaan keluarga yang belum sempat melihat wajah yang terakhir, kami mempersilakan mereka itu melihat.

Awalnya, kami bermaksud hendak membawa jenazah ke Masjid AI-Azhar untuk dishalatkan, dan diadakan sekadar upacara pelepasan, di mana atas nama keluarga, saya menyatakan terima kasih. Menko Kesra Surono, atas nama pemerintah dan Departemen Hankam, direncanakan melepas almarhum, bersama-sama Syaikh Ali Mochtar selaku wakil dari Rabithah Alam Islami.

Tiba-tiba ada telepon dari Sekretariat Negara bahwa Presiden Soeharto akan datang, dan meminta izin agar beliau melihat wajah Buya Hamka untuk terakhir kalinya. Kami semua terharu mendengar permintaan Kepala Negara itu. Tak lama kemudian lampu-lampu kamera televisi dan juru foto menerangi ruangan. Presiden berdiri di antara menteri-menteri lain yang sudah lebih dulu hadir, yaitu Menko Kesra Surono, Menteri Dalam Negeri H. Amir Machmud, Menteri Agama Alamsyah, Menteri Urusan Pemuda Abdul Gafur, dan Menteri Urusan Wanita Lasiyah Sutanto.

Presiden hanya sejenak membaca doa dan tertegun menatap jenazah dengan wajah murung. Sedikit ucapan beliau sampaikan pada keluarga agar tabah. Beliau keluar tanpa pengawalan resmi, sehingga orang ramai banyak yang tidak tahu Presiden berada di tengah mereka.

Telepon datang lagi, kali ini dari Wakil Presiden, memohon supaya jenazah jangan ditutup dahulu, apatah lagi beliau sudah dalam perjalanan menuju rumah duka. Kurang lebih pukul 14.00, Wakil Presiden bersama Ibu Nelly Adam Malik tiba. Di belakangnya turut Menteri Emil Salim, Menteri Harun Zein yang paginya juga tampak di rumah sakit bersama Menhamkam M. Yusuf. Wakil Presiden membuka Al-Quran kecil dan membaca surat Yaasin. Beberapa menit kemudian beliau meninggalkan ruangan.

Jenazah pun ditutup dan segera dimasukkan ke dalam usungan untuk dibawa ke masjid Al-Azhar. Untuk menshalatkan di rumah sudah tak mungkin lagi, karena ruangan telah penuh sesak. Pelayat-pelayat juga sulit untuk diatur.

Rupanya Masjid Al-Azhar pun telah penuh. Semua orang ingin turut menggotong jenazah. Mereka berebutan, bahkan ada yang kena sikut, terinjak-injak. Saudara Lukman Harun yang melihat situasi itu bakal menimbulkan histeri, sontak mengomandokan takbir. Allahu Akbar! Beramai-ramai para pelayat mengikuti pekik takbir. Sulit juga mengatur jamaah yang memadati bagian atas masjid, karena mereka mendesak ke muka.

Alhamdulillah, akhirnya shalat jenazah bisa juga dilangsungkan dengan Imam K.H. Hasan Basri, dan pembaca doa oleh KH Abdullah Syafi’i. Tanpa pidato-pidato lagi, kemudian jenazah dibawa ke Tanah Kusir.

Di sepanjang jalan masyarakat berdiri menyaksikan iring-iringan jenazah. Lalu lintas dari jalan Sisingamangaraja sampai Tanah Kusir terhenti, dan iring-iringan jenazah berjalan lambat.

Gubernur DKI Jakarta,  Tjokropranolo menanti dan memimpin penggalian kuburan. Sekitar pukul 16.00 jenazah dikebumikan putra-putra almarhum. Zaki (putra sulung almarhum), dan saya, dibantu oleh orang yang tak kami kenal, memasukkan jenazah ke liang lahad. Setelah ditimbuni dan dilepas dengan pidato dari Buya Malik Akhmad (murid almarhum yang tertua), Menteri Agama Alamsyah dan doa Kanda E.Z. Muttaqin, upacara pun berakhir. Akan tetapi, ribuan orang masih berdiri di pemakaman. Saat yang sama, awan hitam di langit. Semakin menunjukkan tanda-tanda bakal turunnya hujan lebat.

 _Pesan dari Sumbar_ 

Azwar Anas, Gubernur Sumatra Barat, yang tahu-tahu muncul di jalan Raden Patah tak lama setelah tibanya jenazah dari rumah sakit bertanya kepada saya. “Apakah Buya tidak berwasiat untuk dikubur di tanah kelahirannya di Padang atau Maninjau?”

Saya jawab bahwa saya dan kami semua tidak pernah mendengar wasiat itu. Dulu tatkala Ummi meninggal, dan dimakamkan di Taman Pekuburan Blok P Kebayoran, almarhum ingin dikuburkan di sebelah Ummi. Sampai di situ disediakan tanah pekuburan Ayah.

“Tapi karena pekuburan Blok P telah ditutup, Gubernur DKI Tjokropranolo menjanjikan lewat Faishal Tamim akan memindahkan kuburan Ummi ke Tanah Kusir di sebelah Ayah. Dan kami menerima saran Gubernur itu,” jelas saya pada Pak Azwar Anas.

Pak Azwar masih meminta kepada keluarga sebagai Kepala Pemerintah Sumatra Barat dan atas nama rakyat di sana.

Dengan menyatakan terima kasih, saya pun meyakinkan Pak Azwar bahwa jauh lebih baik kita segera saja membawanya ke Tanah Kusir, karena Pemerintah DKI dan masyarakat Jakarta pun adalah pencinta almarhum. Marilah kita sama-sama berdoa dan melanjutkan perjuangan beliau. Pak Azwar Anas, salah seorang yang saya tahu menganggap almarhum sebagai gurunya, tampak berlinang air mata.
Beberapa orang ibu-ibu dari jamaah pengajian Masjid Istiqlal tatkala di rumah sakit menemui saya. Mereka memohon kesediaan keluarga untuk menyemayamkan jenazah Buya beberapa waktu di masjid yang megah itu. Demi memberikan kesempatan pada umat untuk melepaskan kepergian almarhum untuk selama-lamanya.

Kepada ibu-ibu itu pun saya mohon pengertian bahwa yang terbaik kita lakukan ialah segera membawanya ke tempatnya yang terakhir menemui Allah yang memanggilnya. Ibu itu memahami jawaban saya meskipun mereka menitikkan airmata kecewa.

Ketika mendampingi Menteri Agama Alamsyah duduk di bagian belakang rumah, tiba-tiba datang seorang pemuda. Katanya, atas nama perantau Minang di Jakarta mereka memohon agar kuburan Buya bersebelahan dengan Bung Hatta. Pemuda itu sengaja mengajukan usul dengan suara dikeras-keraskan. Mungkin maksudnya agar didengar oleh Bapak-Bapak Menteri.

Lalu saya jawab dengan suara yang agak keras pula dengan mengulang ucapan Pak Natsir di rumah sakit, “Tidak usahlah macam-macam, kita tahu di mana tempat yang layak bagi almarhum Bung Hatta, dan kita pun tahu tempat yang layak bagi Buya Hamka.”

Pemuda itu mengundurkan diri, tapi saya tak lupa menjabat tangan pemuda itu dengan mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-besarnya.

ALMAMATER

ALMAMATER

Almamater (atau alma mater) adalah istilah dalam bahasa Latin yang secara arti harfiah bermakna "ibu susuan". Penggunaan istilah ini populer di kalangan akademik/pendidikan untuk menyebut perguruan tempat seseorang menyelesaikan suatu jenjang pendidikan.

Beberapa bulan yang lalu, saya mengajak putra Tokoh Pers Burhanudin Mohamad (B.M) Diah, Nurman Diah,  berkunjung ke almamater saya,  Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat, untuk bertemu dengan 
Prof. Dr. Susanto Zuhdi, S.Hum., M.Hum.  Ia adalah sejarawan Indonesia yang ahli dalam bidang sejarah maritim. Saat ini dia menjadi guru besar di Departemen Sejarah Universitas Indonesia dan mengajar di Program Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. 

Susanto Zuhdi, adalah juga Ketua Penguji Tesis S-2 saya,  berjudul: "Harian 'Merdeka' Sebuah 'Personal Journalism' B.M. Diah (1945-1996), " tahun 2006.

Beberapa waktu kemudian, saya juga bertemu dengan Prof. Dr. Maria Immaculatus Djoko Marihandono, S.S., M.Si. Djoko Marihandono, termasuk salah seorang team penguji tesis saya. Waktu itu ia baru bergelar seorang doktor.

Program Studi Ilmu Sejarah, adalah  Program Pascasarjana  Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, yang saya lalui sejak semester 2004 hingga lulus pada 16 Januari 2007.

Kembali ke jenjang karier Djoko Marihandono, saya boleh mengatakannya sangat cepat di lingkungan Universitas Indonesia. Ia adalah pengajar Program Studi Prancis, Departemen Sejarah FIB-UI. Selain mengajar di FIB, ia aktif meneliti. Beberapa hasil penelitian yang telah dibukukan antara lain: "Sultan Hamengku Buwono II," Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa" (didanai oleh DRPM UI), " Sejarah Perlawanan Masyarakat Simalungun Terhadap Kolonialisme," Perlawanan Sang Nahualu" (didanai Pemda Simalungun).

Buku lain adakah  " Pembangunan Jalan Raya Daendels" (didanai oleh Hibah Bersaing DIKTI), juga penelitiam lain yang sedang dilakukan antara lain: "Jawa di Bawah Napoleon Bonaparte" (ongoing research, didanai oleh DRPM UI). Selain meneliti, ia juga aktif menulis artikel di berbagai jurnal ilmiah nasional maupun internasional, dan menyajikan makalah di berbagai seminar di dalam maupun luar negeri. Selain mengajar dan meneliti, ia juga aktif membimbing mahasiswa S1, S2, dan S3.