Jelang Tahun Baru 2020, AS Serang Irak dan Iran Anggap Itu Bentuk Dukungan kepada ISIS
Oleh Dasman Djamaluddin
Pemerintah Irak mengancam akan meninjau hubungannya dengan Amerika Serikat setelah Washington melancarkan serangan udara mematikan terhadap kelompok bersenjata pro-Iran yang terintegrasi dalam pasukan Irak.
"Pasukan Amerika bertindak berdasarkan prioritas politik mereka, bukan prioritas rakyat Irak," ungkap pernyataan resmi pemerintah Irak yang dikutip dari Kantor Berita Prancis, AFP, Senin, 30 Desember 2019.
Perlindungan Irak, pangkalan militer dan pasukannya di negara itu adalah satu-satunya tanggung jawab pasukan keamanan Irak. Juga dijelaskan bahwa pemogokan semacam di Irak yang juga sedang berlangsung dianggap Irak melanggar kedaulatan Irak dan bertentangan dengan aturan keterlibatan koalisi (yang dipimpin AS) yang hadir di Irak untuk memerangi jihadis.
Serangan yang dilakukan AS memaksa Irak untuk meninjau kembali hubungannya dan keamanannya, kerangka kerja politik dan hukum untuk melindungi kedaulatannya.
Serangan hari Minggu malam itu menunjukkan pesawat AS menghantam beberapa pangkalan milik brigade Hizbullah, salah satu faksi paling radikal dari Hashsh al-Shaabi, pasukan keamanan yang didukung Iran yang terikat dengan negara Irak.
Serangan, yang menewaskan sedikitnya 25 pejuang menurut Hash, terjadi pada saat Irak terjebak dalam ketegangan yang meningkat antara sekutunya Teheran dan Washington.
Pada waktu bersamaan Iran, tetangga Irak yang sekarang telah menjalin hubungan baik, mengecam serangan AS itu dan menuduh Negara Paman Sam tersebut tengah melindungi gerilyawan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Dalam hal ini, benar ucapan Iran tersebut. Tulisan saya yang diterbitkan Kompasiana, 12 April 2017 dan diperbarui, 7 Maret 2019, menekankan bahwa benar bahwa ISIS itu ciptaan
AS dan Israel.
Saya menekankan dan mengutip "Veteran Today," bahwa pemimpin ISIS Abu Bakar Al Baghdadi, adalah orang Yahudi. Disebutkan nama aslinya Emir Daash alias Simon Elliot alias Elliot Shimon.Lahir dari orang tua Yahudi dan direkrut serta dilatih Mossad, agen rahasia Israel.
Buat saya, yang sering mengamati perkembangan di luar negeri dan setelah berkunjung ke Irak dua kali, tahun 1992 dan 2014, paham betul dengan situasi ini. Sebenarnya apa yang dikatakan Donald Trump dalam kampanye calon Presiden AS, empat tahun lalu, bahwa Obama yang membentuk ISIS, itu adalah benar. Saya tidak tahu mengapa rahasia intelijen AS ini dipaparkan ke muka publik. Kalau pun, Trump membantahnya setelah menjadi presiden, kemudian info ini sudah terlanjur diumumkan.
Kemudian, info ini dikuatkan dengan ditemukannya kertas selebaran di medan pertempuran di Irak. Isinya jika pesawat tempur AS terlihat di udara, jangan ditembak. Berarti dengan data tersebut kita mengetahui bahwa ISIS itu diciptakan oleh AS dan Israel.
Jika kita bicara AS dan Israel tidak ada bedanya. Dua negara itu adalah sekutu. Masih ingat harian "Kompas," menurunkan berita khusus tentang pilot AURI dilatih di Israel. Kemudian dibuat skenario, seakan-akan dilatih di AS ? Sebelum pilot kita pulang dari Israel, mereka dibawa dulu ke AS. Mereka membeli oleh-oleh di AS. Dipesankan kepada mereka, jika ditanya latihannya, bukan di Israel, tetapi di AS.
Selasa, 31 Desember 2019
Jumat, 27 Desember 2019
Ingat Gus Dur, Ingat Papua
Ingat Gus Dur, Ingat Papua
Oleh Dasman Djamaluddin
Hari ini, Sabtu, 28 Desember 2019, di kediaman Presiden Republik Indonesia ke-4, Dr (H.C) K.H. Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal sapaan dengan Gus Dur, di Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan, akan berlangsung Haul ke-10.
Pagi ini pula, saya ingin mengingat tulisan saya yang pernah dimuat berbagai media tentang kunjungan Gus Dur di Papua. Adalah Thaha Al-Hamid, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (PDP) itu tidak
dapat menahan haru ketika berbicara mengenai sosok KH Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur. Dengan terbata-bata dan mata memerah, dia mengambil tisu di atas
meja dan menyeka air matanya. Thaha menganggap, Gus Dur sangat paham akan
jati diri orang asli Papua.
Saya juga sangat mengenal Thaha Al-Hamid. Selama bergaul dengan Thaha, ketika dia menjadi sekretaris saya di Lembaga
Hukum Mahasiswa Islam (LHMI/HMI) Cabang Jayapura, 1978-1979 dan 1979-1980,
saya menilai Thaha adalah orang yang berprinsip, berani dan tegar. Orangnya
sederhana, dan rendah hati. Oleh karena itu, ketika saya melihat Thaha
menitikkan air mata yang diliput oleh salah satu stasiun televisi nasional,
saya pun tersentak untuk menulis.
Thaha yang tegar itu larut dalam suasana ketika menceriterakan kunjungan Gus
Dur sebagai seorang Presiden RI ketika dia dan kawan-kawan di tahan. Pada
kunjungannya di tahun 2000, Gus Dur sempat mengunjungi para anggota Presidium Dewan Papua (PDP) di
tahanan yang saat itu ditahan atas tuduhan makar. Beliau minta ke Kepala
Kepolisian Daerah Papua yang waktu itu dijabat Pak Wenas.
Lalu Gus Dur katakan, " saya harus ketemu ke lima orang PDP, Theys dan
kawan-kawan."
Hubungan Gus Dur dengan Theys luar biasa sekali. Terus pada
kunjungannya di tahun 2006, Gus Dur juga sempat minta pemerintah Indonesia
agar almarhum Ketua PDP, Theys Hiyo Eluay dinobatkan sebagai pahlawan
nasional, ujar Thaha.
Theys, nama lengkapnya adalah Theys Hiyo Eluay. Dia tewas saat berusia 64
tahun, tepat pada Hari Pahlawan 10 November 2001, setelah menghadiri upacara
Hari Pahlawan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah (Pemda) Irian Jaya di
Jayapura. Sepulangnya menghadiri Hari Pahlawan itu menuju rumahnya di Jalan
bestirpos 5, Sentani Kota, yang berjarak sekitar 55 km, Theys tidak pernah
lagi pulang ke rumah. Setelah dicari-cari, akhirnya jenazah Theys ditemukan
tertelungkup di jok mobil miliknya, jenis Toyota Kijang bernomor polisi B
8997 TO dengan wajah babak belur dan luka dipelipis, dahi dan leher. Posisi
mobil nyaris masuk jurang. Mobil yang kaca depannya hancur itu, masih
tertahan pada sebatang pohon. Dari kondisi jenazah, muncul dugaan, Theys
dibunuh setelah diculik.
Sebagaimana sosok Thaha Al-Hamid yang taat beragama Islam, Theys sebenarnya
bukanlah tokoh oposisi. Theys adalah mantan anggota Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) tahun 1969. Dia sangat berjasa dalam mempertahankan masuknya
Irian Jaya ke wilayah Indonesia. Bahkan pernah juga menjadi anggota DPRD
Irian Jaya dari Golkar selama tiga periode. Tetapi entah apa yang
melatarbelakanginya , akhirnya Theys menyebut dirinya Pemimpin Besar Dewan
Papua Merdeka sekaligus menjadi Ketua Presidium Dewan Papua.
Kembali ke sosok Gus Dur, Thaha menganggap bukan hanya dirinya merasa cukup
dekat dengan Gus Dur, juga hampir seluruh orang Papua merasa dekat dengan
Gus Dur. Misalnya, Gus Dur juga sangat dekat dengan Ketua Dewan Adat Papua
dan tokoh-tokoh adat lainnya di Papua, termasuk Tom Beanal.
“Bahkan beberapa kali jika kami sudah jarang mengunjunginya, Gus Dur akan
tanya dan pasti kami datang mengunjungi beliau. Jadi silaturahmi kami dengan
beliau tetap jalan, walau sudah tak menjabat presiden,” ungkapnya.
Makna sosok Gus Dur, kata Thaha, terlalu luar biasa bagi Papua dan orang
Papua. “Kita tak hanya kehilangan seorang kiai, seorang bekas presiden, dan
seorang guru, tapi sebenarnya kita kehilangan kitab hidup. Sebuah kitab yang
terus memberikan nasihat,” tutur Thaha mengenang sosok Gus Dur.
_Beberapa Alasan_
Menurut Thaha, ada beberapa alasan masyarakat di Papua tak pernah melupakan
sosok Gus Dur. Misalnya, pada 31 Desember 1999, tanpa perlu berpikir
panjang, Gus Dur yang saat itu sebagai Presiden Indonesia, mengganti nama
Irian Jaya menjadi Papua.
Tentang nama ini, seperti diketahui, pada tahun 1961, Komite Nasional Papua
yang pertama menetapkan nama PAPUA BARAT bagi Papua. Pada masa Pemerintahan
Sementera PBB (UNTEA), digunakan dua nama, WEST NEW GUINEA/WEST IRIAN.
Selanjutnya pada tanggal 1 Mei 1963, Republik Indonesia menggunakan nama
IRIAN BARAT. Setelah Proklamasi kemerdekaan tanggal 1 Juli 1971, Pemerintah
Revolusioner sementara Republik West Papua di Markas Victoria, menggunakan
nama WEST PAPUA.
Pada tahun 1973, Pemerintah Republik Indonesia di West Papua merubah nama
IRIAN BARAT menjadi IRIAN JAYA. Pada tahun 2000 nama Irian Jaya kembali
menjadi Papua hingga kini.
Menurut beberapa sumber, nama Papua, aslinya Papa-Ua, asal dari bahasa
Maluku Utara. Maksud sebenarnya bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang
raja yang memerintah disini sebagai seorang bapak, itulah sebabnya pulau dan
penduduknya disebut demikian.
Papa-Ua artinya anak piatu. Dari sekian nama yang sudah disebut, Komite
Nasional Papua pada tahun 1961, memilih dan menetapkan nama PAPUA., karena
rakyat disini kelak disebut bangsa Papua dan tanah airnya Papua Barat (West
Papua).
Alasan memilih nama Papua, karena sesuai dengan kenyataan bahwa penduduk
pulau Papua sejak nenek moyang tidak terdapat dinasti yang memerintah atau
raja disini sebagaimana yang ada dibagian bumi yang lain. Orang Papua
berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Tidak ada yang dipertuan untuk disembah dan tidak ada yang diperbudak untuk
diperhamba. Raja-raja yang tumbuh seperti jamur di Indonesia, adalah akibat
pengaruh pedagang bangsa Hindu dan Arab di masa lampau.
Inilah sebabnya maka rakyat Papua anti kolonialisme, imperialisme dan
neo-kolonialisme. Nenek moyang mereka tidak pernah menyembah-nyembah kepada
orang lain, baik dalam lingkungan sendiri. Mereka lahir dan tumbuh diatas
tanah airnya sendiri sebagai orang merdeka.
Berbicara mengenai nama Irian, adalah satu nama yang mengandung arti
politik. Frans Kaisiepo, almarhum, orang yang pertama mengumumkan nama ini
pada konperensi di Malino-Ujung Pandang pada tahun 1945, antara lain
berkata: â Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti
historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik
Indonesia Anti Nederlandâ . (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal.
107-108).
Nama Irian diciptakan oleh seorang Indonesia asal Jawa bernama Soegoro,
bekas buangan Digul-Atas tetapi dibebaskan sehabis Perang Dunia kedua dan
pernah menjabat Direktur Sekolah Pendidikan administrasi pemerintahan di
Hollandia antara tahun 1945-1946.
Perubahan nama Irian Barat menjadi Irian Jaya, terjadi pada tahun 1973, juga
mengandung arti politik. Rejim Militer Indonesia tidak menginginkan adanya
pembagian Pulau Papua menjadi dua dan berambisi guna menguasai seluruhnya.
Pendirian ini berdasarkan pengalaman tetang adanya dua Vietnam-Selatan dan
Utara, tentang adanya dua Jerman-Barat dan Timur, dan tentang adanya dua
Korea-Selatan dan Utara. Irian Jaya, Irian yang dimenangkan. Jaya, victoria
atau kemenangan. Jika huruf “Y” dipotong kakinya, maka akan terbaca Irian
Java alias Irian Jawa. Sumbernya bisa dilihat di
http://digoel.wordpress.com/2008/01/06/tentang-nama-papua
Kemudian selama hidupnya, Gus Dur beberapa kali mengunjungi Papua, yakni
pada 1999, selanjutnya pada 2000 dan terakhir pada 2006. Inilah sekilas
catatan tentang Papua.
Oleh Dasman Djamaluddin
Hari ini, Sabtu, 28 Desember 2019, di kediaman Presiden Republik Indonesia ke-4, Dr (H.C) K.H. Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal sapaan dengan Gus Dur, di Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan, akan berlangsung Haul ke-10.
Pagi ini pula, saya ingin mengingat tulisan saya yang pernah dimuat berbagai media tentang kunjungan Gus Dur di Papua. Adalah Thaha Al-Hamid, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (PDP) itu tidak
dapat menahan haru ketika berbicara mengenai sosok KH Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur. Dengan terbata-bata dan mata memerah, dia mengambil tisu di atas
meja dan menyeka air matanya. Thaha menganggap, Gus Dur sangat paham akan
jati diri orang asli Papua.
Saya juga sangat mengenal Thaha Al-Hamid. Selama bergaul dengan Thaha, ketika dia menjadi sekretaris saya di Lembaga
Hukum Mahasiswa Islam (LHMI/HMI) Cabang Jayapura, 1978-1979 dan 1979-1980,
saya menilai Thaha adalah orang yang berprinsip, berani dan tegar. Orangnya
sederhana, dan rendah hati. Oleh karena itu, ketika saya melihat Thaha
menitikkan air mata yang diliput oleh salah satu stasiun televisi nasional,
saya pun tersentak untuk menulis.
Thaha yang tegar itu larut dalam suasana ketika menceriterakan kunjungan Gus
Dur sebagai seorang Presiden RI ketika dia dan kawan-kawan di tahan. Pada
kunjungannya di tahun 2000, Gus Dur sempat mengunjungi para anggota Presidium Dewan Papua (PDP) di
tahanan yang saat itu ditahan atas tuduhan makar. Beliau minta ke Kepala
Kepolisian Daerah Papua yang waktu itu dijabat Pak Wenas.
Lalu Gus Dur katakan, " saya harus ketemu ke lima orang PDP, Theys dan
kawan-kawan."
Hubungan Gus Dur dengan Theys luar biasa sekali. Terus pada
kunjungannya di tahun 2006, Gus Dur juga sempat minta pemerintah Indonesia
agar almarhum Ketua PDP, Theys Hiyo Eluay dinobatkan sebagai pahlawan
nasional, ujar Thaha.
Theys, nama lengkapnya adalah Theys Hiyo Eluay. Dia tewas saat berusia 64
tahun, tepat pada Hari Pahlawan 10 November 2001, setelah menghadiri upacara
Hari Pahlawan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah (Pemda) Irian Jaya di
Jayapura. Sepulangnya menghadiri Hari Pahlawan itu menuju rumahnya di Jalan
bestirpos 5, Sentani Kota, yang berjarak sekitar 55 km, Theys tidak pernah
lagi pulang ke rumah. Setelah dicari-cari, akhirnya jenazah Theys ditemukan
tertelungkup di jok mobil miliknya, jenis Toyota Kijang bernomor polisi B
8997 TO dengan wajah babak belur dan luka dipelipis, dahi dan leher. Posisi
mobil nyaris masuk jurang. Mobil yang kaca depannya hancur itu, masih
tertahan pada sebatang pohon. Dari kondisi jenazah, muncul dugaan, Theys
dibunuh setelah diculik.
Sebagaimana sosok Thaha Al-Hamid yang taat beragama Islam, Theys sebenarnya
bukanlah tokoh oposisi. Theys adalah mantan anggota Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) tahun 1969. Dia sangat berjasa dalam mempertahankan masuknya
Irian Jaya ke wilayah Indonesia. Bahkan pernah juga menjadi anggota DPRD
Irian Jaya dari Golkar selama tiga periode. Tetapi entah apa yang
melatarbelakanginya , akhirnya Theys menyebut dirinya Pemimpin Besar Dewan
Papua Merdeka sekaligus menjadi Ketua Presidium Dewan Papua.
Kembali ke sosok Gus Dur, Thaha menganggap bukan hanya dirinya merasa cukup
dekat dengan Gus Dur, juga hampir seluruh orang Papua merasa dekat dengan
Gus Dur. Misalnya, Gus Dur juga sangat dekat dengan Ketua Dewan Adat Papua
dan tokoh-tokoh adat lainnya di Papua, termasuk Tom Beanal.
“Bahkan beberapa kali jika kami sudah jarang mengunjunginya, Gus Dur akan
tanya dan pasti kami datang mengunjungi beliau. Jadi silaturahmi kami dengan
beliau tetap jalan, walau sudah tak menjabat presiden,” ungkapnya.
Makna sosok Gus Dur, kata Thaha, terlalu luar biasa bagi Papua dan orang
Papua. “Kita tak hanya kehilangan seorang kiai, seorang bekas presiden, dan
seorang guru, tapi sebenarnya kita kehilangan kitab hidup. Sebuah kitab yang
terus memberikan nasihat,” tutur Thaha mengenang sosok Gus Dur.
_Beberapa Alasan_
Menurut Thaha, ada beberapa alasan masyarakat di Papua tak pernah melupakan
sosok Gus Dur. Misalnya, pada 31 Desember 1999, tanpa perlu berpikir
panjang, Gus Dur yang saat itu sebagai Presiden Indonesia, mengganti nama
Irian Jaya menjadi Papua.
Tentang nama ini, seperti diketahui, pada tahun 1961, Komite Nasional Papua
yang pertama menetapkan nama PAPUA BARAT bagi Papua. Pada masa Pemerintahan
Sementera PBB (UNTEA), digunakan dua nama, WEST NEW GUINEA/WEST IRIAN.
Selanjutnya pada tanggal 1 Mei 1963, Republik Indonesia menggunakan nama
IRIAN BARAT. Setelah Proklamasi kemerdekaan tanggal 1 Juli 1971, Pemerintah
Revolusioner sementara Republik West Papua di Markas Victoria, menggunakan
nama WEST PAPUA.
Pada tahun 1973, Pemerintah Republik Indonesia di West Papua merubah nama
IRIAN BARAT menjadi IRIAN JAYA. Pada tahun 2000 nama Irian Jaya kembali
menjadi Papua hingga kini.
Menurut beberapa sumber, nama Papua, aslinya Papa-Ua, asal dari bahasa
Maluku Utara. Maksud sebenarnya bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang
raja yang memerintah disini sebagai seorang bapak, itulah sebabnya pulau dan
penduduknya disebut demikian.
Papa-Ua artinya anak piatu. Dari sekian nama yang sudah disebut, Komite
Nasional Papua pada tahun 1961, memilih dan menetapkan nama PAPUA., karena
rakyat disini kelak disebut bangsa Papua dan tanah airnya Papua Barat (West
Papua).
Alasan memilih nama Papua, karena sesuai dengan kenyataan bahwa penduduk
pulau Papua sejak nenek moyang tidak terdapat dinasti yang memerintah atau
raja disini sebagaimana yang ada dibagian bumi yang lain. Orang Papua
berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Tidak ada yang dipertuan untuk disembah dan tidak ada yang diperbudak untuk
diperhamba. Raja-raja yang tumbuh seperti jamur di Indonesia, adalah akibat
pengaruh pedagang bangsa Hindu dan Arab di masa lampau.
Inilah sebabnya maka rakyat Papua anti kolonialisme, imperialisme dan
neo-kolonialisme. Nenek moyang mereka tidak pernah menyembah-nyembah kepada
orang lain, baik dalam lingkungan sendiri. Mereka lahir dan tumbuh diatas
tanah airnya sendiri sebagai orang merdeka.
Berbicara mengenai nama Irian, adalah satu nama yang mengandung arti
politik. Frans Kaisiepo, almarhum, orang yang pertama mengumumkan nama ini
pada konperensi di Malino-Ujung Pandang pada tahun 1945, antara lain
berkata: â Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti
historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik
Indonesia Anti Nederlandâ . (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal.
107-108).
Nama Irian diciptakan oleh seorang Indonesia asal Jawa bernama Soegoro,
bekas buangan Digul-Atas tetapi dibebaskan sehabis Perang Dunia kedua dan
pernah menjabat Direktur Sekolah Pendidikan administrasi pemerintahan di
Hollandia antara tahun 1945-1946.
Perubahan nama Irian Barat menjadi Irian Jaya, terjadi pada tahun 1973, juga
mengandung arti politik. Rejim Militer Indonesia tidak menginginkan adanya
pembagian Pulau Papua menjadi dua dan berambisi guna menguasai seluruhnya.
Pendirian ini berdasarkan pengalaman tetang adanya dua Vietnam-Selatan dan
Utara, tentang adanya dua Jerman-Barat dan Timur, dan tentang adanya dua
Korea-Selatan dan Utara. Irian Jaya, Irian yang dimenangkan. Jaya, victoria
atau kemenangan. Jika huruf “Y” dipotong kakinya, maka akan terbaca Irian
Java alias Irian Jawa. Sumbernya bisa dilihat di
http://digoel.wordpress.com/2008/01/06/tentang-nama-papua
Kemudian selama hidupnya, Gus Dur beberapa kali mengunjungi Papua, yakni
pada 1999, selanjutnya pada 2000 dan terakhir pada 2006. Inilah sekilas
catatan tentang Papua.
Rabu, 18 Desember 2019
Kiriman Buku dari Putera Jenderal yang Saya Kenal
Inilah putera bungsu atau putera ke-4 Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat, yaitu Bambang Wasono Basoeki Rachmat yang baru saja mengirimkan buku biografi ayahnya kepada saya.
Sudah tentu saya senang, karena hubungan silaturrahmi antara saya dan keluarga besar Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat tetap terus terjalin.
Pertama kali saya berhubungan erat dengan keluarga Jenderal Anumerta Basoeki Rachmat, ya, ketika menulis biografi buku "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar."
Jenderal Basoeki telah meninggal dunia pada 10 Januari 1969. Melalui keluarga, lahirlah sebuah buku berjudul: "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (Jakarta: Grasindo,1998 dan 2008). Diterbitkan dua kali oleh Penerbit Grasindo.
Kemudian, Jenderal kedua, saya berkenalan lagi dengan seorang Jenderal, Letnan Jenderal TNI (Marinir) Safzen Noerdin.
Saya hadir ketika diundang di Graha Marinir, Jakarta pada Rabu malam, 30 Maret 2016. Graha Marinir itu dipenuhi para petinggi TNI, khususnya dari Angkatan Laut RI. Kehadiran mereka waktu itu, sudah tentu berkaitan dengan undangan Pak Safzen yang pada waktu itu juga menjadi Dubes RI untuk Irak dari tahun 2012-2015. Ia waktu itu meluncurkan buku tentang pengalamannya selama bertugas di sana.
Pak Safzen memang tidak pernah melupakan saya dan undangan dikirim melalui Hand Phone.
M.Diah : Saya senang bertemu dengan Tuan Sekretaris Jenderal. Ini suatu kehormatan besar bagi saya. Betul sekali sudah selama 50 tahun saya aktif dalam dunia jurnalistik.
Mikhail Sergeyev Gorbachev : Itulah pengalaman yang besar. Dan pengalaman bukan sesuatu beban yang tak diperlukan, apalagi kalau dipergunakan secara benar. Misalnya kami sekarang melaksanakan tugas-tugas baru dalam negeri kami. Dan pada tahap perkembangannya ini, kami terus memperkaya diri atas dasar pengalaman serta pelajaran sejarah.
B.M.Diah: Kami sangat memperhatikan pidato-pidato Tuan serta proses-proses yang sedang terjadi di Uni Republik Sosialis Soviet.
Mikhail Sergeyev Gorbachev: Terimakasih. Apakah kata-kata perestroika dan glasnost sudah sampai ke Indonesia ? Dapatkah kata-kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?
B.M.Diah: Kata-kata itu dikenal baik di negara kami dan tidak perlu diterjemahkan.
Mikhail Sergeyev Gorbachev : Sambil menyerahkan kepada Tuan jawaban-jawaban tertulis atas pertanyaan – pertanyaan, saya ingin mendahuluinya dengan catatan-catatan yang tidak besar, tetapi, menurut pendapat saya, esensial. Saya berterimakasih kepada Tuan, dan Redaksi surat kabar Tuan, atas diperhatikannya Hari Ulang Tahun pidato saya di Vladivostok. Pimpinan Soviet memberi arti penting kepada apa yang telah dikatakan di Vladivostok. Waktu itu kami berusaha menguraikan politik kami terhadap kawasan yang didiami oleh ratusan juta manusia. Dalam pada itu kami mengharapkan pengertian yang sewajarnya atas politik kami.
Pertanyaan-pertanyaan yang Tuan kemukakan, saya memandang sebagai bukti bahwa dalam masyarakat Indonesia ada perhatian pada politik kami, pada penilaian-penilaian kami akan keadaan di kawasan Asia Pasifik, pada pemikiran-pemikiran kami mengenai masa depan kawasan ini dalam konteks politik dunia.
Catatan-catatan saya adalah sebagai berikut:
Kami berusaha memandang dunia modern dari posisi yang benar-benar ilmiah dan realistis. Analisa yang dibuat ini membawa kami pada suatu pandangan dunia yang baru, pada politik yang baru, yang kami proklamasikan pada kongres partai kami.
Analisa ini membantu kami melihat realitas-realitas yang menjadi karakteristik untuk dunia masa kini. Dan dunia sekarang ini berbeda serius dengan dunia 30-40 tahun yang lalu.
Pertama-tama, peradaban manusia menjadi terancam karena persediaan-persediaan senjata nuklir yang luar biasa banyak jumlahnya, ini suatu realitas yang tidak dapat diabaikan. Sebaliknya, penilaian yang benar terhadap realitas tersebut membantu kita menarik kesimpulan bahwa hari ini masalah-masalah dunia tidak dapat diselesaikan melalui jalan-jalan militer, karena jalan ini dapat mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat diramalkan. Itu berarti bahwa perlu ada koreksi dalam pandangan-pandangan pada dunia ini serta dalam politik negara-negara.
Sudah tentu saya senang, karena hubungan silaturrahmi antara saya dan keluarga besar Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat tetap terus terjalin.
Pertama kali saya berhubungan erat dengan keluarga Jenderal Anumerta Basoeki Rachmat, ya, ketika menulis biografi buku "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar."
Jenderal Basoeki telah meninggal dunia pada 10 Januari 1969. Melalui keluarga, lahirlah sebuah buku berjudul: "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (Jakarta: Grasindo,1998 dan 2008). Diterbitkan dua kali oleh Penerbit Grasindo.
Kemudian, Jenderal kedua, saya berkenalan lagi dengan seorang Jenderal, Letnan Jenderal TNI (Marinir) Safzen Noerdin.
Saya hadir ketika diundang di Graha Marinir, Jakarta pada Rabu malam, 30 Maret 2016. Graha Marinir itu dipenuhi para petinggi TNI, khususnya dari Angkatan Laut RI. Kehadiran mereka waktu itu, sudah tentu berkaitan dengan undangan Pak Safzen yang pada waktu itu juga menjadi Dubes RI untuk Irak dari tahun 2012-2015. Ia waktu itu meluncurkan buku tentang pengalamannya selama bertugas di sana.
Pak Safzen memang tidak pernah melupakan saya dan undangan dikirim melalui Hand Phone.
Buku berjudul "Hari-Hari Rawan di Irak" itu diterbitkan oleh Penerbit Rajawali Consultant, Maret 2016 , dan diluncurkan di Graha Marinir Jakarta, pada malam hari itu.
Safzen yang juga mantan Komandan Korps Marinir TNI AL menuliskan pengalamannya selama menjadi Duta Besar Indonesia di Irak. Dari laporan terakhir di Irak yang ditayangkan berbentuk buku dan juga dari film singkat di ruangan itu, benar bahwa situasi di Irak sangat rawan.
Sangatlah wajar, jika para istri dan anak-anak para staf Kedutaan Besar RI di Irak, termasuk duta besarnya tidak diizinkan bersama mereka di Irak, sebagai antisipasi jika terjadi keadaan darurat, sesegera mungkin bisa hijrah ke negara tetangga tanpa beban psikologis.
Dari laporan tersebut tergambar bahwa hampir setiap hari bom mobil meledak. Bahkan untuk itu Dubes kita di Irak memiliki dua mobil anti peluru di Kedutaan Besar Indonesia di Irak sebagai antisipasi jika Dubes atau stafnya pergi ke luar dari kedutaan besar yang dipagari tembok beton setebal 40-50 cm, kalau Allah mengizinkan, bisa selamat.
Mengapa saya juga tahu? Ya, sebagaimana saya tuturkan di atas, saya juga pernah diundang Pak Safzen Noerdin ke Irak pada September 2014. Hubungan erat saya dengan Pak Safzen di mulai ketika beliau belum menjadi duta besar.
Selanjutnya Jenderal yang saya kenal adalah Letnan Jenderal (Purn) Rais Abin. Dari perkenalan itu terbit buku: "Catatan Rais Abin, Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah, 1976-1979 (Jakarta: Penerbit Kompas,2012)." Kata Sambutan (Sekapur Sirih) ditulis sendiri oleh Pak Jacob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas.
Buat saya, ke Irak pada 2014, di masa Dubes Indonesia, Safzen Norton menambah wawasan saya, karena pada Desember 1992, saya juga mengunjungi Irak atas undangan Kementerian Penerangan Irak. Itu pun atas jasa Pak Burhanudin Mohamad (B.M) Diah setelah beliau senang dengan penerbitan buku biografinya yang saya tulis : "Butir Butir Padi B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992).
Saya ke Irak waktu itu melalui Rusia karena keterkaitan Pak Diah yang pernah mewawancara Pemimpin Tertinggi Uni Soviet, Mikhail Gorbachev. Tiga malam di rumah keluarga Svet Zakharov, di Moskow, saya betul-betul diperlakukan dengan baik dan ramah. Hal ini tidak terlepas dari jalinan akrab Svet Zakharov dengan Harian "Merdeka," apalagi saya ke sana atas rekomendasi B.M.Diah sebagai penanggung-jawab Grup Merdeka ( Harian Merdeka, Majalah Keluarga, Majalah Topik dan Indonesian Observer).
Di hari-hari yang senggang di Moskow, saya banyak membaca laporan pertemuan B.M.Diah dengan Mikhail Gorbachev di Kremlin pada 21 Juli 1987. Sejak memegang pucuk pimpinan di Uni Soviet lebih dua tahun berselang, Mikhail Gorbachev , Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, banyak menarik perhatian dunia. Itu berkat tindakan-tindakan yang cukup mengejutkan, yang tak jarang jauh di luar ramalan pengemat politik sekalipun.
Saya tidak berhenti membaca laporan tersebut. Ikuti dialog B.M.Diah ketika bertemu Gorbachev:
Saya tidak berhenti membaca laporan tersebut. Ikuti dialog B.M.Diah ketika bertemu Gorbachev:
{"Dengan ramah dan senyum persahabatan, ia (Gorbachev) memulai membuka kesempatan bagi B.M.Diah mewawancarainya. Wawancara B.M.Diah ini sekaligus untuk memperingati satu tahun pidato Gorbachev di Vladivostok yang merupakan angin baru pandangan Uni Soviet bagi kawasan Asia-Pasifik.
Mikhail Sergeyev Gorbachev: Saya senang ketemu dengan Tuan Diah. Saya mendengar banyak mengenai kegiatan Tuan. Tuan sudah beberapa puluh tahun aktif dalam bidang jurnalistik, bukan ?
Mikhail Sergeyev Gorbachev : Itulah pengalaman yang besar. Dan pengalaman bukan sesuatu beban yang tak diperlukan, apalagi kalau dipergunakan secara benar. Misalnya kami sekarang melaksanakan tugas-tugas baru dalam negeri kami. Dan pada tahap perkembangannya ini, kami terus memperkaya diri atas dasar pengalaman serta pelajaran sejarah.
B.M.Diah: Kami sangat memperhatikan pidato-pidato Tuan serta proses-proses yang sedang terjadi di Uni Republik Sosialis Soviet.
Mikhail Sergeyev Gorbachev: Terimakasih. Apakah kata-kata perestroika dan glasnost sudah sampai ke Indonesia ? Dapatkah kata-kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?
B.M.Diah: Kata-kata itu dikenal baik di negara kami dan tidak perlu diterjemahkan.
Mikhail Sergeyev Gorbachev : Sambil menyerahkan kepada Tuan jawaban-jawaban tertulis atas pertanyaan – pertanyaan, saya ingin mendahuluinya dengan catatan-catatan yang tidak besar, tetapi, menurut pendapat saya, esensial. Saya berterimakasih kepada Tuan, dan Redaksi surat kabar Tuan, atas diperhatikannya Hari Ulang Tahun pidato saya di Vladivostok. Pimpinan Soviet memberi arti penting kepada apa yang telah dikatakan di Vladivostok. Waktu itu kami berusaha menguraikan politik kami terhadap kawasan yang didiami oleh ratusan juta manusia. Dalam pada itu kami mengharapkan pengertian yang sewajarnya atas politik kami.
Pertanyaan-pertanyaan yang Tuan kemukakan, saya memandang sebagai bukti bahwa dalam masyarakat Indonesia ada perhatian pada politik kami, pada penilaian-penilaian kami akan keadaan di kawasan Asia Pasifik, pada pemikiran-pemikiran kami mengenai masa depan kawasan ini dalam konteks politik dunia.
Catatan-catatan saya adalah sebagai berikut:
Kami berusaha memandang dunia modern dari posisi yang benar-benar ilmiah dan realistis. Analisa yang dibuat ini membawa kami pada suatu pandangan dunia yang baru, pada politik yang baru, yang kami proklamasikan pada kongres partai kami.
Analisa ini membantu kami melihat realitas-realitas yang menjadi karakteristik untuk dunia masa kini. Dan dunia sekarang ini berbeda serius dengan dunia 30-40 tahun yang lalu.
Pertama-tama, peradaban manusia menjadi terancam karena persediaan-persediaan senjata nuklir yang luar biasa banyak jumlahnya, ini suatu realitas yang tidak dapat diabaikan. Sebaliknya, penilaian yang benar terhadap realitas tersebut membantu kita menarik kesimpulan bahwa hari ini masalah-masalah dunia tidak dapat diselesaikan melalui jalan-jalan militer, karena jalan ini dapat mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat diramalkan. Itu berarti bahwa perlu ada koreksi dalam pandangan-pandangan pada dunia ini serta dalam politik negara-negara.
Masalah-masalah yang terdapat di dunia ini menuntut penyatuan usaha-usaha semua negara. Dan pada umumnya, kalau kita melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknik, maka kemajuan semakin membikin kita saling mendekatkan kita serta mendekatkan kita secara lebih erat dari pada kapan pun juga. Kita semakin banyak saling tergantung, kita semakin banyak saling membutuhkan."}
Wawancara B.M.Diah dengan Mikhail Gorbachev dapat dilihat lengkap dalam bukunya: Mahkota bagi Seorang Wartawan. Menurut B.M.Diah, wawancara ini merupakan tugas puncak yang ia peroleh. “Kami betul-betul senang dengan pertemuan ini, Tuan Sekretaris Jenderal. Bagi saya pribadi, ini adalah mahkota dari kegiatan jurnalistik saya selama 50 tahun,” ujar B.M.Diah kepada Mikhail Gorbachev .
Kembali ke diri saya, perjalanan saya ke Irak tahun 1992 sudah di bukukan berjudul: "Saddam Hussein Menghalau Tantangan," dicetak oleh PT.Penebar Swadaya, 1998 bekerja sama dengan Kedutaan Besar Irak di Jakarta. Buku ini sudah dibaca Presiden Irak Saddam Hussein saat itu. Untuk itu saya memperoleh penghargaan dari Kantor Sekretaris Presiden Republik Irak di Baghdad. Di Baghdad, Irak, saya mendengar langsung situasi di Irak waktu itu dari Menteri Perindustrian dan Perlogaman Irak, Amir al-Saadi. Ia juga seorang Jenderal.
Kamis, 12 Desember 2019
Memperingari 88 Tahun Nugroho Notosusanto di FIB UI
Saya di undang oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahun Budaya (FIB) Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) di Kampus FIB UI Depok, Kamis, 12 Desember 2019.
Jika berbicara tentang peluncuran hasil penelitian "Orang Buton," yang telah dibukukan, saya tidak banyak berkomentar, karena itu merupakan sebuah hasil penelitian. Banyak juga yang berharap bukan saja "Orang Buton," yang diteliti, tetapi orang Papua penting juga diagendakan FIB UI agar diteliti.
Saran ini benar. Sejak 1975 hingga 1980 saya kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih, Abepura, Papua, jumlah penelitian tentang Orang Papua," jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.
Juga ketika acara itu sekaligus memperingati 90 Tahun Prof. AB. Lapian. Tetapi ketika acara tersebut juga memperingati 88 Tahun Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, saya mungkin sedikit memberi catatan.
Saya langsung mengambil sebuah buku di rak buku saya yang ditulis B.M.Diah berjudul: "Meluruskan Sejarah (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987)."
Di dalam BAB I, buku setebal 268 halaman itu, B.M.Diah menulis kritikan tentang buku " Sejarah Nasional Indonesia," karya Dr.Nugroho Notosusanto, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan Dr. Marwati Djoened. B.M. Diah menulis kritikannya dari halaman 1 hingga 20. Antara lain "Sejarawan Indonesia Masih Dipengaruhi Sejarawan Barat" dan "Sejarawan Indonesia 1976 Menghukum Sukarno."
Sebagai Alumnus Program Studi Ilmu Sejarah, Program Pascasarjana FIB UI, saya lebih banyak tidak berkomentar dalam acara itu. Hal ini dikarenakan akan menimbulkan polemik di belakang hari, apalagi saya adalah mantan wartawan Harian "Merdeka," pimpinan B.M.Diah dan pada saat bersamaan, saya menulis judul tesis di FIB UI, "Harian Merdeka Sebuah 'Personal Journalism' B.M.Diah (1945-1996)," di mana Prof. Dr. Susanto Zuhdi, adalah Ketua Penguji saya.
Jika berbicara tentang peluncuran hasil penelitian "Orang Buton," yang telah dibukukan, saya tidak banyak berkomentar, karena itu merupakan sebuah hasil penelitian. Banyak juga yang berharap bukan saja "Orang Buton," yang diteliti, tetapi orang Papua penting juga diagendakan FIB UI agar diteliti.
Saran ini benar. Sejak 1975 hingga 1980 saya kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih, Abepura, Papua, jumlah penelitian tentang Orang Papua," jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.
Juga ketika acara itu sekaligus memperingati 90 Tahun Prof. AB. Lapian. Tetapi ketika acara tersebut juga memperingati 88 Tahun Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, saya mungkin sedikit memberi catatan.
Saya langsung mengambil sebuah buku di rak buku saya yang ditulis B.M.Diah berjudul: "Meluruskan Sejarah (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987)."
Di dalam BAB I, buku setebal 268 halaman itu, B.M.Diah menulis kritikan tentang buku " Sejarah Nasional Indonesia," karya Dr.Nugroho Notosusanto, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan Dr. Marwati Djoened. B.M. Diah menulis kritikannya dari halaman 1 hingga 20. Antara lain "Sejarawan Indonesia Masih Dipengaruhi Sejarawan Barat" dan "Sejarawan Indonesia 1976 Menghukum Sukarno."
Sebagai Alumnus Program Studi Ilmu Sejarah, Program Pascasarjana FIB UI, saya lebih banyak tidak berkomentar dalam acara itu. Hal ini dikarenakan akan menimbulkan polemik di belakang hari, apalagi saya adalah mantan wartawan Harian "Merdeka," pimpinan B.M.Diah dan pada saat bersamaan, saya menulis judul tesis di FIB UI, "Harian Merdeka Sebuah 'Personal Journalism' B.M.Diah (1945-1996)," di mana Prof. Dr. Susanto Zuhdi, adalah Ketua Penguji saya.
Minggu, 08 Desember 2019
Mengenang Ibu Sriwoelan Basoeki Rachmat
Mengenang Ibu Sriwoelan Basoeki Rachmat
Oleh Dasman Djamaluddin
Tanggal 4 Desember 2019, enam tahun yang lalu, tepatnya 4 Desember 2013, Jalan Besuki 11, Menteng, dilanda duka mendalam.
Ibu Sriwoelan Basoeki Rachmat telah meninggalkan kita semua. Bayangan saya langsung tertuju ke Jalan Besuki 11. Waktu itu tanggal 7 November 1996, saya dipercaya keluarga besar Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat menulis biografi almarhum. Hampir setiap seminggu sekali saya bertemu keluarga besar Jenderal Basoeki Rachmat, terutama isteri almarhum, Ibu Sriwoelan Basoeki Rachmat sekeluarga dan para ajudannya. Sudah tentu menyisakan sebuah kenangan yang tidak dapat dilupakan.
Sebagaimana penuturan saya di Kompasiana, 14 September 2019, hasil perbincangan dan dialog di Jalan Besuki 11, itu menghasilkan sebuah buku biografi.
Buku yang saya tulis itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1998. Diterbitkan oleh PT. Grasindo (Gramedia Widia Sarana), Jakarta. Kemudian diterbitkan lagi pada tahun 2008, juga oleh penerbit yang sama.
Mengapa saya harus mengungkapnya kembali? Hal itu karena ada sesuatu hal mengganjal, yaitu sebelumnyab tertundanya buku ini terbit, yaitu menunggu Kata Pengantar dari Presiden Soeharto.
Kata Pengantar dari Presiden Soeharto itu tidak muncul juga. Sebenarnya Presiden Soeharto berkenan menulis "Kata Pengantar" buku setebal 184 halaman itu. Kenapa begitu ?
Karena yang pertama mengajukan dan meminta "Kata Pengantar" tersebut adalah istri Jenderal TNI (Anumerta) Basoeki Rachmat yaitu Nyonya Sriwoelan yang sekarang juga sudah almarhum.
Kedua, persahabatan kedua tokoh tersebut, masing-masing Jenderal TNI Soeharto dan Basoeki Rachmat sangat akrab. Di dalam pikiran saya atau keluarga Jenderal TNI (Anumerta) Basoeki Rachmat, tidak mungkin Presiden Soeharto menolak menulis "Kata Pengantar" di dalam buku tersebut. Tetapi memang itulah yang terjadi, "tidak ada jawaban dari Presiden Soeharto.
Buku itu terbit juga pada tahun 1998 dan sudah tentu tanpa "Kata Pengantar" dari Presiden Soeharto. Bagaimana pun pertanyaan tersebut muncul kembali, apa sebabnya ya? Kalau dikatakan sebuah keakraban, Presiden Soeharto sangat mengagumi Jenderal Basoeki Rachmat. Bahkan pada waktu Jenderal Basoeki Rachmat meninggal dunia hari Jumat, 10 Januari 1969, Presiden Soeharto terkejut dan langsung ke rumah Jenderal Basoeki Rachmat di Jalan Besuki No. 11.
Suatu kehormatan untuk almarhum Jenderal TNI Basoeki Rachmat adalah kenaikan pangkat almarhum dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal. Juga pada hari itu selain dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, maka pada tanggal beliau mangkat langsung diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Jarang hal tersebut terjadi.
Menurut perkiraan saya, yang menjadi masalah adalah di judul buku yaitu kata Supersemarnya (Surat Perintah 11 Maret), meski Supersemar yang dipaparkan dalam buku sesuai dengan alur sejarah. Selanjutnya pernyataan dari ajudan Jenderal Basoeki Rachmat, Stany Soebakir di dalam buku itu bahwa ketika hari sudah larut malam dan di dalam mobil jenis Toyota "Kanvas" bernomor polisi B 1968 S menuju Jakarta melalui Cibinong, "Saya masih ingat, tempat ditandtanganinya naskah itu di Bogor, bukan Jakarta. Karena Bung Karno sudah menganggap, Bogor sebagai pusat pemerintahan," ujar Stany Subakir.
Perkiraan saya sudah tentu di kalimat ini. Jika Presiden Soeharto membuat "Kata Pengantar," maka ia harus memaparkan Supersemar itu ditandatangani di Bogor sesuai pernyataan ajudan Jenderal TNI Basoeki Rachmat.
Memang benar setelah Presiden Soeharto meninggal dunia, masalah Supersemar asli selalu dipertanyakan. Megawati, Jusuf Kalla dan Kepala Arsip Nasional pernah mengucapkan kalimat akan berusaha mencari Supersemar asli, tetapi tidak terwujud hingga hari ini. Jika kita ke Arsip Nasional, yang kita temui bukan Supersemar asli sebagaimana kata ajudan Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat, yaitu Stany Soebakir bahwa Supersemar itu ditandatangani Presiden Soekarno beralamat di Bogor, bukan Jakarta.
Oleh Dasman Djamaluddin
Tanggal 4 Desember 2019, enam tahun yang lalu, tepatnya 4 Desember 2013, Jalan Besuki 11, Menteng, dilanda duka mendalam.
Ibu Sriwoelan Basoeki Rachmat telah meninggalkan kita semua. Bayangan saya langsung tertuju ke Jalan Besuki 11. Waktu itu tanggal 7 November 1996, saya dipercaya keluarga besar Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat menulis biografi almarhum. Hampir setiap seminggu sekali saya bertemu keluarga besar Jenderal Basoeki Rachmat, terutama isteri almarhum, Ibu Sriwoelan Basoeki Rachmat sekeluarga dan para ajudannya. Sudah tentu menyisakan sebuah kenangan yang tidak dapat dilupakan.
Sebagaimana penuturan saya di Kompasiana, 14 September 2019, hasil perbincangan dan dialog di Jalan Besuki 11, itu menghasilkan sebuah buku biografi.
Buku yang saya tulis itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1998. Diterbitkan oleh PT. Grasindo (Gramedia Widia Sarana), Jakarta. Kemudian diterbitkan lagi pada tahun 2008, juga oleh penerbit yang sama.
Mengapa saya harus mengungkapnya kembali? Hal itu karena ada sesuatu hal mengganjal, yaitu sebelumnyab tertundanya buku ini terbit, yaitu menunggu Kata Pengantar dari Presiden Soeharto.
Kata Pengantar dari Presiden Soeharto itu tidak muncul juga. Sebenarnya Presiden Soeharto berkenan menulis "Kata Pengantar" buku setebal 184 halaman itu. Kenapa begitu ?
Karena yang pertama mengajukan dan meminta "Kata Pengantar" tersebut adalah istri Jenderal TNI (Anumerta) Basoeki Rachmat yaitu Nyonya Sriwoelan yang sekarang juga sudah almarhum.
Kedua, persahabatan kedua tokoh tersebut, masing-masing Jenderal TNI Soeharto dan Basoeki Rachmat sangat akrab. Di dalam pikiran saya atau keluarga Jenderal TNI (Anumerta) Basoeki Rachmat, tidak mungkin Presiden Soeharto menolak menulis "Kata Pengantar" di dalam buku tersebut. Tetapi memang itulah yang terjadi, "tidak ada jawaban dari Presiden Soeharto.
Buku itu terbit juga pada tahun 1998 dan sudah tentu tanpa "Kata Pengantar" dari Presiden Soeharto. Bagaimana pun pertanyaan tersebut muncul kembali, apa sebabnya ya? Kalau dikatakan sebuah keakraban, Presiden Soeharto sangat mengagumi Jenderal Basoeki Rachmat. Bahkan pada waktu Jenderal Basoeki Rachmat meninggal dunia hari Jumat, 10 Januari 1969, Presiden Soeharto terkejut dan langsung ke rumah Jenderal Basoeki Rachmat di Jalan Besuki No. 11.
Suatu kehormatan untuk almarhum Jenderal TNI Basoeki Rachmat adalah kenaikan pangkat almarhum dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal. Juga pada hari itu selain dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, maka pada tanggal beliau mangkat langsung diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Jarang hal tersebut terjadi.
Menurut perkiraan saya, yang menjadi masalah adalah di judul buku yaitu kata Supersemarnya (Surat Perintah 11 Maret), meski Supersemar yang dipaparkan dalam buku sesuai dengan alur sejarah. Selanjutnya pernyataan dari ajudan Jenderal Basoeki Rachmat, Stany Soebakir di dalam buku itu bahwa ketika hari sudah larut malam dan di dalam mobil jenis Toyota "Kanvas" bernomor polisi B 1968 S menuju Jakarta melalui Cibinong, "Saya masih ingat, tempat ditandtanganinya naskah itu di Bogor, bukan Jakarta. Karena Bung Karno sudah menganggap, Bogor sebagai pusat pemerintahan," ujar Stany Subakir.
Perkiraan saya sudah tentu di kalimat ini. Jika Presiden Soeharto membuat "Kata Pengantar," maka ia harus memaparkan Supersemar itu ditandatangani di Bogor sesuai pernyataan ajudan Jenderal TNI Basoeki Rachmat.
Memang benar setelah Presiden Soeharto meninggal dunia, masalah Supersemar asli selalu dipertanyakan. Megawati, Jusuf Kalla dan Kepala Arsip Nasional pernah mengucapkan kalimat akan berusaha mencari Supersemar asli, tetapi tidak terwujud hingga hari ini. Jika kita ke Arsip Nasional, yang kita temui bukan Supersemar asli sebagaimana kata ajudan Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat, yaitu Stany Soebakir bahwa Supersemar itu ditandatangani Presiden Soekarno beralamat di Bogor, bukan Jakarta.
Senin, 02 Desember 2019
Tribute of Arswendo Atmowiloto dan Kenangan Bersamanya
”TRIBUTE TO ARSWENDO: HARTA PALING BERHARGA ITU" DAN SEBUAH KENANGAN
Dikutip dari "Kompas," Seniman peran Sandy Nayoan membawakan monolog dengan memerankan sosok Arswendo Atmowiloto dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu 30 November 2019. Kegiatan yang digelar para seniman dan keluarga besar mendiang Arswendo Atmowiloto itu menjadi salah satu upaya mereka untuk membuat Arswendo bersama karyanya tetap lekat di hati masyarakat.
Senentara, artis Maudy Koesnaedi memberikan testimoni tentang sosok Arswendo Atmowiloto dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu 30 November 2019.
Begitu juga cucu mendiang Arswendo Atmowiloto, Christina Kania Kinasih, membacakan puisi dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu.
Demikian juga, Romo Muji Sutrisno bercerita tentang buku karya Arswendo Atmowiloto yang berjudul "Barabas," dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
Kegiatan yang digelar para seniman dan keluarga besar mendiang Arswendo Atmowiloto itu menjadi salah satu upaya mereka untuk membuat Arswendo bersama karyanya tetap lekat di hati masyarakat.
Para seniman dan keluarga besar mendiang Arswendo Atmowiloto bernyanyi bersama dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Kegiatan tersebut menjadi salah satu upaya untuk membuat Arswendo bersama karyanya tetap lekat di hati masyarakat.
Sementara itu, saya pernah menulis di "Kompasiana," khususnya di hari meninggal dunianya :
"Arswendo Atmowiloto meninggal dunia pada Jumat, 19 Juli 2019, pukul 17.50 WIB di usia 70 setelah berjuang melawan kanker prostat. Kabar ini dikonfirmasi oleh sumber yang dekat dengan keluarga.
Sebelumnya Arswendo sempat dilarikan ke rumah sakit karena kondisi kesehatannya yang menurun.
Arswendo Atmowiloto merupakan seniman dan budayawan legendaris di Indonesia. Bermula berprofesi sebagai wartawan, kepiawaian Arswendo menciptakan banyak karya tulis menjadikan dirinya sebagai sosok penting dalam sejarah literasi Indonesia.
Kenangan buat saya adalah kehadiran budayawan Arswendo Atmowiloto dan Slamet Rahardjo Djarot di acara Seminar Nasional "Makna Kemerdekaan: Dulu, Kini, dan yang Akan Datang," yang diselenggarakan Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Museum Nasional Jakarta, Selasa, 3 Desember 2013.
Waktu itu, sebagai seorang moderator di sesi kedua, sudah tentu saya sangat menghargai kehadiran dua budayawan tersebut. Minimal bisa mencerahkan pemikiran-pemikiran mengenai makna kemerdekaan itu sendiri terutama mengenai hasil-hasil karya mereka yang kalau boleh saya katakan melampaui batas-batas kemampuan rata-rata putra bangsa.
"Inilah sebetulnya makna kemerdekaan buat anak bangsa, karena mereka tidak berteori tapi berkarya," ujar saya mengawali pembicaraan sebagai moderator. Juga sebagaimana diharapkan para pembicara di sesi pertama, bahwa hendaknya untuk memaknai sebuah kemerdekaan kita harus jujur, dan konsekuen, maka dengan profesi kedua nara sumber ini membuktikan hal itu.
Sebagai pembicara pertama, Arswendo Atmowiloto megulas makalahnya berjudul "Nasionalisme Nasi Goreng". Sekilas terasa aneh didengar, tetapi setelah diulas barulah kita bisa memahami bahwa "nasi goreng" itu menunjukan ciri khas masakan asli Indonesia. Arswendo ingin menggarisbawahi bahwa jati diri kita sebagai bangsa sudah pudar.
"Sayangnya nasi goreng tidak dikenali dalam bahasa komputer, sehingga setiap kali menuliskan goreng, otomatis berganti dengan goring. Seakan kata nasi goreng adalah salah dan perlu dikoreksi." Tetapi meskipun demikian, lanjut Arswendo, nasib nasi goreng tidak seburuk durian, terasi, kretek atau jamu kuat.
"Di negerinya sendiri durian tak leluasa disajikan di hotel, atau bahkan dalam kamar, atau sebagai tentengan ketika naik pesawat terbang. Terasi dianggap kotor, diganti bumbu masak plastikan. Kretek, juga rokok dianggap jelek, jorok, dan berbahaya, sementara jamu kuat dianggap illegal," ujar Arswendo.
Memakai bahasa sehari-hari yang mudah dicerna dan dipahami, Arswendo ingin mengungkapkan, kenapa bangsa ini tidak mencintai produksi dalam negeri? Inilah tragedi nasionalisme, tegas Arswendo.
"Bagaimana bisa hanya untuk menentukan kecantikan seorang gadis, harus diukur dan dibandingkan antara lingkar dada, pinggang, dan pantat," kembali Arswendo mengingatkan, seharusnya untuk menentukan seorang gadis cantik bukan dari ukuran itu.
Jadi, Arswendo ingin menegaskan, ketergantungan kita kepada budaya asing dalam menilai sesuatu, sementara budaya asli bangsa ditinggalkan. Sebetulnya dari pemikiran Arswendo, dengan mencontohkan "Nasionalisme Nasi Goreng", sudah tepat bahwa bangsa ini mencintai budayanya sendiri.
"Wujud budaya tidak lahir untuk meniadakan wujud yang lain, juga tidak memusuhi. Nasi goreng lahir tidak untuk meniadakan atau memusuhi nasi liwet, nasi uduk, rendang, atau gudeg, atau apa pun. Kita boleh menikmati nasi goreng tanpa merasa bersalah, atau disalahkan," jelas Arswendo menyimpulkan.
Kehadiran Arswendo memacu generasi muda, atau guru-guru sejarah, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang hadir di acara seminar itu agar lebih kreatif untuk memaknai kemerdekaan.
Arswendo tidak berteori, tetapi dia adalah novelis produktif. Arswendo itu nama aslinya Sarwendo, tetapi karena tidak populer diubahnya dengan Arswendo dan di belakang namanya ditambah nama ayah, Atmowiloto, sehingga terwujudlah namanya sebagaimana sekarang Arswendo Atmowiloto. Lahir di Surakarta, 26 November 1948.
Berbicara mengenai karya, mungkin sudah tidak bisa dihitung, baik berupa tulisan bersambung dan novel. Menurut saya kalau kita tinjau dari novel-novel yang ditulisnya, Arswendo boleh dianggap sebagai sejarawan. Novelnya yang lahir berisi jiwa-jiwa kepahlawan atau sejarah, di antaranya, "Serangan Fajar," "Air Langga," Senopati Pamungkas", dan "Penghianatan G.30.S/PKI".
"Sebagaimana ungkap Dr. Kuntowijoyo, Sejarawan UGM, sebuah biografi adalah sejarah, maka saya juga boleh mengatakan bahwa Arswendo layak juga diakui sebagai sejarawan. Apalagi beliau selalu menulis, karena bagaimana pun kunci dari sejarawan itu menulis. Jika tidak menulis lagi, maka kesejarawanannya diragukan," ujar saya sebagai moderator di awal pembukaan seminar.
Selamat jalan Arswendo. Meski engkau telah tiada, tetapi namamu akan dikenang oleh budayawan Indonesia."
Dikutip dari "Kompas," Seniman peran Sandy Nayoan membawakan monolog dengan memerankan sosok Arswendo Atmowiloto dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu 30 November 2019. Kegiatan yang digelar para seniman dan keluarga besar mendiang Arswendo Atmowiloto itu menjadi salah satu upaya mereka untuk membuat Arswendo bersama karyanya tetap lekat di hati masyarakat.
Senentara, artis Maudy Koesnaedi memberikan testimoni tentang sosok Arswendo Atmowiloto dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu 30 November 2019.
Begitu juga cucu mendiang Arswendo Atmowiloto, Christina Kania Kinasih, membacakan puisi dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu.
Demikian juga, Romo Muji Sutrisno bercerita tentang buku karya Arswendo Atmowiloto yang berjudul "Barabas," dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
Kegiatan yang digelar para seniman dan keluarga besar mendiang Arswendo Atmowiloto itu menjadi salah satu upaya mereka untuk membuat Arswendo bersama karyanya tetap lekat di hati masyarakat.
Para seniman dan keluarga besar mendiang Arswendo Atmowiloto bernyanyi bersama dalam acara ”Tribute to Arswendo: Harta Paling Berharga” di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Kegiatan tersebut menjadi salah satu upaya untuk membuat Arswendo bersama karyanya tetap lekat di hati masyarakat.
Sementara itu, saya pernah menulis di "Kompasiana," khususnya di hari meninggal dunianya :
"Arswendo Atmowiloto meninggal dunia pada Jumat, 19 Juli 2019, pukul 17.50 WIB di usia 70 setelah berjuang melawan kanker prostat. Kabar ini dikonfirmasi oleh sumber yang dekat dengan keluarga.
Sebelumnya Arswendo sempat dilarikan ke rumah sakit karena kondisi kesehatannya yang menurun.
Arswendo Atmowiloto merupakan seniman dan budayawan legendaris di Indonesia. Bermula berprofesi sebagai wartawan, kepiawaian Arswendo menciptakan banyak karya tulis menjadikan dirinya sebagai sosok penting dalam sejarah literasi Indonesia.
Kenangan buat saya adalah kehadiran budayawan Arswendo Atmowiloto dan Slamet Rahardjo Djarot di acara Seminar Nasional "Makna Kemerdekaan: Dulu, Kini, dan yang Akan Datang," yang diselenggarakan Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Museum Nasional Jakarta, Selasa, 3 Desember 2013.
Waktu itu, sebagai seorang moderator di sesi kedua, sudah tentu saya sangat menghargai kehadiran dua budayawan tersebut. Minimal bisa mencerahkan pemikiran-pemikiran mengenai makna kemerdekaan itu sendiri terutama mengenai hasil-hasil karya mereka yang kalau boleh saya katakan melampaui batas-batas kemampuan rata-rata putra bangsa.
"Inilah sebetulnya makna kemerdekaan buat anak bangsa, karena mereka tidak berteori tapi berkarya," ujar saya mengawali pembicaraan sebagai moderator. Juga sebagaimana diharapkan para pembicara di sesi pertama, bahwa hendaknya untuk memaknai sebuah kemerdekaan kita harus jujur, dan konsekuen, maka dengan profesi kedua nara sumber ini membuktikan hal itu.
Sebagai pembicara pertama, Arswendo Atmowiloto megulas makalahnya berjudul "Nasionalisme Nasi Goreng". Sekilas terasa aneh didengar, tetapi setelah diulas barulah kita bisa memahami bahwa "nasi goreng" itu menunjukan ciri khas masakan asli Indonesia. Arswendo ingin menggarisbawahi bahwa jati diri kita sebagai bangsa sudah pudar.
"Sayangnya nasi goreng tidak dikenali dalam bahasa komputer, sehingga setiap kali menuliskan goreng, otomatis berganti dengan goring. Seakan kata nasi goreng adalah salah dan perlu dikoreksi." Tetapi meskipun demikian, lanjut Arswendo, nasib nasi goreng tidak seburuk durian, terasi, kretek atau jamu kuat.
"Di negerinya sendiri durian tak leluasa disajikan di hotel, atau bahkan dalam kamar, atau sebagai tentengan ketika naik pesawat terbang. Terasi dianggap kotor, diganti bumbu masak plastikan. Kretek, juga rokok dianggap jelek, jorok, dan berbahaya, sementara jamu kuat dianggap illegal," ujar Arswendo.
Memakai bahasa sehari-hari yang mudah dicerna dan dipahami, Arswendo ingin mengungkapkan, kenapa bangsa ini tidak mencintai produksi dalam negeri? Inilah tragedi nasionalisme, tegas Arswendo.
"Bagaimana bisa hanya untuk menentukan kecantikan seorang gadis, harus diukur dan dibandingkan antara lingkar dada, pinggang, dan pantat," kembali Arswendo mengingatkan, seharusnya untuk menentukan seorang gadis cantik bukan dari ukuran itu.
Jadi, Arswendo ingin menegaskan, ketergantungan kita kepada budaya asing dalam menilai sesuatu, sementara budaya asli bangsa ditinggalkan. Sebetulnya dari pemikiran Arswendo, dengan mencontohkan "Nasionalisme Nasi Goreng", sudah tepat bahwa bangsa ini mencintai budayanya sendiri.
"Wujud budaya tidak lahir untuk meniadakan wujud yang lain, juga tidak memusuhi. Nasi goreng lahir tidak untuk meniadakan atau memusuhi nasi liwet, nasi uduk, rendang, atau gudeg, atau apa pun. Kita boleh menikmati nasi goreng tanpa merasa bersalah, atau disalahkan," jelas Arswendo menyimpulkan.
Kehadiran Arswendo memacu generasi muda, atau guru-guru sejarah, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang hadir di acara seminar itu agar lebih kreatif untuk memaknai kemerdekaan.
Arswendo tidak berteori, tetapi dia adalah novelis produktif. Arswendo itu nama aslinya Sarwendo, tetapi karena tidak populer diubahnya dengan Arswendo dan di belakang namanya ditambah nama ayah, Atmowiloto, sehingga terwujudlah namanya sebagaimana sekarang Arswendo Atmowiloto. Lahir di Surakarta, 26 November 1948.
Berbicara mengenai karya, mungkin sudah tidak bisa dihitung, baik berupa tulisan bersambung dan novel. Menurut saya kalau kita tinjau dari novel-novel yang ditulisnya, Arswendo boleh dianggap sebagai sejarawan. Novelnya yang lahir berisi jiwa-jiwa kepahlawan atau sejarah, di antaranya, "Serangan Fajar," "Air Langga," Senopati Pamungkas", dan "Penghianatan G.30.S/PKI".
"Sebagaimana ungkap Dr. Kuntowijoyo, Sejarawan UGM, sebuah biografi adalah sejarah, maka saya juga boleh mengatakan bahwa Arswendo layak juga diakui sebagai sejarawan. Apalagi beliau selalu menulis, karena bagaimana pun kunci dari sejarawan itu menulis. Jika tidak menulis lagi, maka kesejarawanannya diragukan," ujar saya sebagai moderator di awal pembukaan seminar.
Selamat jalan Arswendo. Meski engkau telah tiada, tetapi namamu akan dikenang oleh budayawan Indonesia."
Langganan:
Postingan (Atom)