Kamis, 03 Mei 2018

Kenapa Yogyakarta Mengenal Budaya Kekerasan ?

Ketika aksi demontrasi mahasiswa Yogyakartag terjadi pada Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2018, saya sedikit terkejut. Aksi kekerasan dan pembakaran di hari itu membubarkan bayangan saya, yang menganggap Yogyakarta selama ini sebagai kota pelajar, berbudaya tinggi dan masyarakatnya menganut adat istiadat kuat sebagaimana sering ditunjukan oleh Kraton Yogyakarta.
Bahkan lebih jauh dari itu, Sri Sultan HB X berdasarkan temuan polisi di dinding Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN), Yogyakarta, tertulis ancaman untuk membunuh gubernur dan sekaligus sultan di Kraton itu.

Ketika saya berkunjung ke Kraton Sultan HB X tahun 2012, situasi di Kraton sangat "adem," dan penuh keakraban. Saya banyak bertanya tentang situasi kraton pada waktu itu. Nah sekarang?
Lihat saja aksi pembakaran pos polisi dan coretan bernada mengancam yang ditujukan kepada Gubernur Daerah Istimewa Sri Sultan Hamengku Buwono X. Seluruh masyarakat hampir tidak percaya, meskipun mereka menyatakan telah disusupi orang-orang bertopeng yang membakar pos polisi.
Aksi yang dilakukan di Pertigaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,  Yogyakarta menurut pengakuan seorang mahasiswa, semula dirancang sebagai aksi damai tanpa merusak. Agenda yang mereka usung adalah menolak upah murah terhadap buruh. Isu Bandara New Yogyakarta International Airport atau NYIA memang sempat dibahas dalam persiapan aksi. Tapi, isu bandara bukan isu utama yang dibawa dalam demonstrasi itu.
Sebanyak 50 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan 1 Mei itu, ada sejumlah aktivis pers mahasiswa yang datang untuk menulis dan bersolidaritas turun ke jalan. Senin pukul 13.00, mereka berjalan menuju pertigaan kampus UIN Sunan Kalijaga.
Sekitar pukul 16.00, sejumlah orang yang berpakaian hitam dan bertopeng tiba-tiba membakar dan merusak pos polisi tak jauh dari pertigaan kampus UIN. Dia memastikan mereka bukan bagian dari Aliansi Gerakan 1 Mei.
Akibat aksi membakar pos polisi sejumlah orang yang tak dikenal itu,  dan puluhan aktivis pers dari sejumlah kampus di Yogyakarta itu menjadi sasaran amuk masyarakat sekitar dan sejumlah orang yang berpakaian preman. 
Bagaimanapun, sebagai penyidik, polisi mengabaikan penjelasannya. Bersama puluhan pegiat pers kampus ditangkap, diangkut ke kantor Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta. 
Juru Bicara Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta,  Ajun Komisaris Besar Polisi Yulianto pukul 13.00 melakukan jumpa pers ihwal penangkapan demonstran di pertigaan Kampus UIN Sunan Kalijaga. Dalam pesan whatssapp, Yulianto menyebut sejumlah orang, lebih dari tiga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaaan perusakan pos polisi itu.
Jika benar disusupi, itulah resiko perjuangan mahasiswa sejak lama. Tujuan suci akan mudah berbalik menjadi tujuan tidak terarah. Upaya memonitor aktifis mahasiswa jika sudah di lapangan sering sangat sulit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar