Jumat, 27 Desember 2019

Ingat Gus Dur, Ingat Papua

Ingat Gus Dur, Ingat Papua

Oleh Dasman Djamaluddin

Hari ini, Sabtu, 28 Desember 2019, di kediaman Presiden Republik Indonesia ke-4, Dr (H.C) K.H. Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal sapaan dengan Gus Dur, di Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan, akan berlangsung Haul ke-10.

Pagi ini pula, saya ingin mengingat  tulisan saya yang pernah dimuat berbagai media tentang kunjungan Gus Dur di Papua. Adalah Thaha Al-Hamid, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (PDP) itu tidak
dapat menahan haru ketika berbicara mengenai sosok KH Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur. Dengan terbata-bata dan mata memerah, dia mengambil tisu di atas
meja dan menyeka air matanya. Thaha menganggap, Gus Dur sangat paham akan
jati diri orang asli Papua.

Saya juga sangat mengenal Thaha Al-Hamid. Selama bergaul dengan Thaha, ketika dia menjadi sekretaris saya di Lembaga
Hukum Mahasiswa Islam (LHMI/HMI) Cabang Jayapura, 1978-1979 dan 1979-1980,
saya menilai Thaha adalah orang yang berprinsip, berani dan tegar. Orangnya
sederhana, dan rendah hati. Oleh karena itu, ketika saya melihat Thaha
menitikkan air mata yang diliput oleh salah satu stasiun televisi nasional,
saya pun tersentak untuk menulis.

Thaha yang tegar itu larut dalam suasana ketika menceriterakan kunjungan Gus
Dur sebagai seorang Presiden RI ketika dia dan kawan-kawan di tahan. Pada
kunjungannya di tahun 2000, Gus Dur sempat mengunjungi para anggota Presidium Dewan Papua (PDP) di
tahanan yang saat itu ditahan atas tuduhan makar. Beliau minta ke Kepala
Kepolisian Daerah Papua yang waktu itu dijabat Pak Wenas.

Lalu Gus Dur katakan, " saya harus ketemu ke lima orang PDP, Theys dan
kawan-kawan."

Hubungan Gus Dur dengan Theys luar biasa sekali. Terus pada
kunjungannya di tahun 2006, Gus Dur juga sempat minta pemerintah Indonesia
agar almarhum Ketua PDP, Theys Hiyo Eluay dinobatkan sebagai pahlawan
nasional, ujar Thaha.

Theys, nama lengkapnya adalah Theys Hiyo Eluay. Dia tewas saat berusia 64
tahun, tepat pada Hari Pahlawan 10 November 2001, setelah menghadiri upacara
Hari Pahlawan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah (Pemda) Irian Jaya di
Jayapura. Sepulangnya menghadiri Hari Pahlawan itu menuju rumahnya di Jalan
bestirpos 5, Sentani Kota, yang berjarak sekitar 55 km, Theys tidak pernah
lagi pulang ke rumah. Setelah dicari-cari, akhirnya jenazah Theys ditemukan
tertelungkup di jok mobil miliknya, jenis Toyota Kijang bernomor polisi B
8997 TO dengan wajah babak belur dan luka dipelipis, dahi dan leher. Posisi
mobil nyaris masuk jurang. Mobil yang kaca depannya hancur itu, masih
tertahan pada sebatang pohon. Dari kondisi jenazah, muncul dugaan, Theys
dibunuh setelah diculik.

Sebagaimana sosok Thaha Al-Hamid yang taat beragama Islam, Theys sebenarnya
bukanlah tokoh oposisi. Theys adalah mantan anggota Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) tahun 1969. Dia sangat berjasa dalam mempertahankan masuknya
Irian Jaya ke wilayah Indonesia. Bahkan pernah juga menjadi anggota DPRD
Irian Jaya dari Golkar selama tiga periode. Tetapi entah apa yang
melatarbelakanginya , akhirnya Theys menyebut dirinya Pemimpin Besar Dewan
Papua Merdeka sekaligus menjadi Ketua Presidium Dewan Papua.

Kembali ke sosok Gus Dur, Thaha menganggap bukan hanya dirinya merasa cukup
dekat dengan Gus Dur, juga hampir seluruh orang Papua merasa dekat dengan
Gus Dur. Misalnya, Gus Dur juga sangat dekat dengan Ketua Dewan Adat Papua
dan tokoh-tokoh adat lainnya di Papua, termasuk Tom Beanal.

“Bahkan beberapa kali jika kami sudah jarang mengunjunginya, Gus Dur akan
tanya dan pasti kami datang mengunjungi beliau. Jadi silaturahmi kami dengan
beliau tetap jalan, walau sudah tak menjabat presiden,” ungkapnya.

Makna sosok Gus Dur, kata Thaha, terlalu luar biasa bagi Papua dan orang
Papua. “Kita tak hanya kehilangan seorang kiai, seorang bekas presiden, dan
seorang guru, tapi sebenarnya kita kehilangan kitab hidup. Sebuah kitab yang
terus memberikan nasihat,” tutur Thaha mengenang sosok Gus Dur.

 _Beberapa Alasan_

Menurut Thaha, ada beberapa alasan masyarakat di Papua tak pernah melupakan
sosok Gus Dur. Misalnya, pada 31 Desember 1999, tanpa perlu berpikir
panjang, Gus Dur yang saat itu sebagai Presiden Indonesia, mengganti nama
Irian Jaya menjadi Papua.

Tentang nama ini, seperti diketahui, pada tahun 1961, Komite Nasional Papua
yang pertama menetapkan nama PAPUA BARAT bagi Papua. Pada masa Pemerintahan
Sementera PBB (UNTEA), digunakan dua nama, WEST NEW GUINEA/WEST IRIAN.

Selanjutnya pada tanggal 1 Mei 1963, Republik Indonesia menggunakan nama
IRIAN BARAT. Setelah Proklamasi kemerdekaan tanggal 1 Juli 1971, Pemerintah
Revolusioner sementara Republik West Papua di Markas Victoria, menggunakan
nama WEST PAPUA.

Pada tahun 1973, Pemerintah Republik Indonesia di West Papua merubah nama
IRIAN BARAT menjadi IRIAN JAYA. Pada tahun 2000 nama Irian Jaya kembali
menjadi Papua hingga kini.

Menurut beberapa sumber, nama Papua, aslinya Papa-Ua, asal dari bahasa
Maluku Utara. Maksud sebenarnya bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang
raja yang memerintah disini sebagai seorang bapak, itulah sebabnya pulau dan
penduduknya disebut demikian.

Papa-Ua artinya anak piatu. Dari sekian nama yang sudah disebut, Komite
Nasional Papua pada tahun 1961, memilih dan menetapkan nama PAPUA., karena
rakyat disini kelak disebut bangsa Papua dan tanah airnya Papua Barat (West
Papua).

Alasan memilih nama Papua, karena sesuai dengan kenyataan bahwa penduduk
pulau Papua sejak nenek moyang tidak terdapat dinasti yang memerintah atau
raja disini sebagaimana yang ada dibagian bumi yang lain. Orang Papua
berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

Tidak ada yang dipertuan untuk disembah dan tidak ada yang diperbudak untuk
diperhamba. Raja-raja yang tumbuh seperti jamur di Indonesia, adalah akibat
pengaruh pedagang bangsa Hindu dan Arab di masa lampau.

Inilah sebabnya maka rakyat Papua anti kolonialisme, imperialisme dan
neo-kolonialisme. Nenek moyang mereka tidak pernah menyembah-nyembah kepada
orang lain, baik dalam lingkungan sendiri. Mereka lahir dan tumbuh diatas
tanah airnya sendiri sebagai orang merdeka.

Berbicara mengenai nama Irian, adalah satu nama yang mengandung arti
politik. Frans Kaisiepo, almarhum, orang yang pertama mengumumkan nama ini
pada konperensi di Malino-Ujung Pandang pada tahun 1945, antara lain
berkata: â Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti
historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik
Indonesia Anti Nederlandâ . (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal.
107-108).

Nama Irian diciptakan oleh seorang Indonesia asal Jawa bernama Soegoro,
bekas buangan Digul-Atas tetapi dibebaskan sehabis Perang Dunia kedua dan
pernah menjabat Direktur Sekolah Pendidikan administrasi pemerintahan di
Hollandia antara tahun 1945-1946.

Perubahan nama Irian Barat menjadi Irian Jaya, terjadi pada tahun 1973, juga
mengandung arti politik. Rejim Militer Indonesia tidak menginginkan adanya
pembagian Pulau Papua menjadi dua dan berambisi guna menguasai seluruhnya.
Pendirian ini berdasarkan pengalaman tetang adanya dua Vietnam-Selatan dan
Utara, tentang adanya dua Jerman-Barat dan Timur, dan tentang adanya dua
Korea-Selatan dan Utara. Irian Jaya, Irian yang dimenangkan. Jaya, victoria
atau kemenangan. Jika huruf “Y” dipotong kakinya, maka akan terbaca Irian
Java alias Irian Jawa. Sumbernya bisa dilihat di
http://digoel.wordpress.com/2008/01/06/tentang-nama-papua

Kemudian selama hidupnya, Gus Dur beberapa kali mengunjungi Papua, yakni
pada 1999, selanjutnya pada 2000 dan terakhir pada 2006. Inilah sekilas
catatan tentang Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar