Kamis, 16 Mei 2019

Hari Nakba 15 Mai 2019 Awal Penderitaan Bangsa Palestina


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membagi wilayah Palestina dengan tidak adil. Mengapa tidak adil?  Penduduk Yahudi yang waktu itu masih sedikit sekali, karena dulunya tidak memiliki tanah air, setelah dibantu merdeka oleh Amerika Serikat , Uni Soviet (sekarang Rusia) dan negara lainnya, berdirilah negara Israel di wilayah Palestina, bahkan diberi bagian oleh PBB lebih besar. Inilah yang dikatakan tidak adil itu. 
Sejak ini yang menjadi pengungsi adalah penduduk Palestina hingga hari ini. Jumlah pasti para pengungsi sampai hari ini masih menjadi bahan perdebatan, namun diperkirakan 80 persen warga Arab di wilayah yang kelak menjadi Israel (50 persen dari seluruh warga Arab di Mandat Palestina) terusir. Istilah "nakba" itu sendiri juga merujuk pada periode perang itu sendiri dan kejadian-kejadian yang menimpa warga Palestina dari bulan Desember 1947 hingga Januari 1949.
Latar belakang terjadinya eksodus juga menjadi titik ketidaksepakatan yang mendasar antara warga Arab dan Israel. Faktor-faktor itu antara lain adalah majunya laskar-laskar militer Yahudi, penyerangan dan agresi militer terhadap desa-desa Arab dan ketakutan akan terjadinya pembunuhan massal lain setelah pembunuhan massal Deir Yassin yang menciptakan kepanikan di antara warga sipil; perintah evakuasi atas warga Arab; perintah pengusiran dari otoritas Israel; eksodus sukarela oleh warga kelas atas yang lebih makmur, kegoyahan pucuk kepemimpinan Palestina, dan ketidakrelaan untuk hidup di bawah kendali Israel.
Setelah itu, serangkaian hukum diterapkan oleh pemerintah Israel untuk mencegah warga Arab pulang ke tanah dan rumah mereka, atau mengklaim harta benda yang mereka tinggalkan. Mereka dan keturunan mereka menjadi kaum pengungsi. Peristiwa ini disebut-sebut oleh para sejarawan sebagai suatu tindakan pembersihan etnis, walaupun sebagian lain meragukan istilah ini.
Kejelasan status para pengungsi dan terutama apakah Israel akan memberikan mereka harta benda yang diklaim sebagai bagian dari hak untuk pulang, adalah salah satu isu utama yang terus diperdebatkan dalam konflik Israel-Palestina yang tengah berlangsung. Peristiwa pada tahun 1948 diperingati oleh rakyat Palestina pada tanggal 15 Mei dengan nama Hari Nakba.

Lihatlah wilayah Palestina sekarang. Sudah sebagian besar diambil oleh Israel.  Itulah nasib bangsa Palestina yang sekarang terbalik menjadi pengungsi ke berbagai negara. Saya pernah menulis di halaman ini tentang nasib pengungsi Palestina yang melarikan diri ke Libanon. Sudah tiga generasi ia hidup di kamp pengungsian Libanon.
Waktu itu, saya membaca tulisan wartawan "Al Jazeera INews," Farah Najjar.  Cerita mengharukan dari Kamp Pengungsian Palestina  di Libanon, yang jika kita lihat di peta, wilayah ini berbatasan dengan Israel dan Palestina, juga dengan Suriah. 
Sudah tentu cerita ini diungkap masih ada kaitan dengan 71 tahun bangsa Palestina terusir dari wilayahnya sendiri oleh kaum zionis Yahudi yang memerdekakan dirinya tahun 1948. Sebaliknya inilah yang dialami bangsa Palestina, "terusir," dari tanah airnya sendiri yang populer dengan istilah "Nakba."
Terusirnya warga Palestina dari wilayahnya sejak tahun 1947-1949 sekitar 78 persen penduduk Palestina yang ada waktu itu. Sekitar 530 rumah warga Palestina dihancurkan pasukan Israel. Waktu itu lebih dari 100.000 bangsa Palestina mengungsi ke berbagai negara tetangganya, termasuk ke Libanon, sebuah wilayah perbatasan yang cepat dijangkau.
Zahiya Dgheim, perempuan tua yang sekarang berusia 90 tahun itu, meski terlihat sehat dan kini memiliki anak cucu itu, hidup bersama suaminya memilih Libanon sebagai tempat pengungsian. Ia memilih satu di antara beberapa tempat pengungsian yang disediakan oleh pemerintah Lebanon, yaitu di Burj Barajneb, kamp pengungsi yang terletak di sebelah selatan ibukota Lebanon, Beirut. Sekarang sudah tiga generasi ia hidup di pengungsian Palestina.
Indonesia sejak awal selalu mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka. Sejak Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno hingga Presiden Joko Widodo. Duta Besar Palestina untuk Indonesia sudah bermarkas di Jakarta semasa pemerintahan Presiden Soeharto.
Kedutaan Besar Palestina di Jakarta itu di dalam Hukum Internasional baru sebatas "de facto," belum secara "de jure." Biasanya sebuah negara memiliki kedutaan di sebuah negara harus sudah diakui negara lain secara "de facto" dan "de jure." Palestina belum secara "de jure."
Pengalaman menarik yang saya alami mengenai asal usul adanya Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, itu terjadi di masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Saya sebagai Redaktur Pelaksana Majalah "Topik," (Grup Merdeka pimpinan Burhanudin Mohamad Diah/ B.M.Diah) sering diundang ke Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Waktu itu Menteri Luar Negeri RI Mochtar Kusumaatmadja mengatakan prosesnya sangat rumit dan pelik. Yasser Arafat yang berkunjung kepada Presiden Soeharto mendesak agar di Jakarta berdiri Kedutaan Besar Palestina. Itu pun disertai tangan Yasser Arafat sambil menegang pistol kecilnya di pinggang. Sebuah cerita keberanian seorang Yasser Arafat yang juga waktu itu disebut Presiden Palestina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar