Jumat, 24 Agustus 2018

Sejak Dimakamkan di Papua Tahun 1990, Sang Isteri Berkunjung Menapaki Sisa-Sisa Kenangan

Tanggal 13 Maret 1990, Mantan Gubernur Integrasi Irian Barat (sekarang Papua) tahun 1963-1964, Eliezer Jan Bonay meninggal dunia. Ia meninggalkan seorang isteri bernama Djuariah. Dari isteri ketiga ini, ia memiliki dua anak. Pertama, anak perempuan bernama Dian Sundariani Bonay (almarhumah) dan Riyanti Puspita Suriani Bonay.

Isteri ketiga Eliezer Jan Bonay ini dinikahi pada tanggal 1 Juli 1964 di Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Waktu itu Eliezer Jan Bonay sudah berstatus duda setelah menjadi mualaf.

Isteri pertama Eliezer Jan Bonay adalah Ana. Sudah meninggal dunia. Dari Ana diperoleh tiga anak. Pertama, Yuli Bonay, sekarang tinggal di Jayapura. Kedua, bernama Max Bonay, juga tinggal di Jayapura. Terakhir anak ketiga bernama Musa Bonay. Ia telah meninggal dunia.

Selanjutnya dari isteri kedua yang bernama Esther, juga sudah meninggal dunia, maka Eliezer Jan Bonay memiliki tujuh orang anak. Anak pertama bernama Heemskerche Bonay. Sekarang tinggal di Jayapura. Anak kedua bernama Dirk Bonay, sekarang tinggal di Jayapura. Anak ketiga bernama Akon Boney dan sudah meninggal dunia. Anak keempat, bernama Zacheus Bonay, sekarang tinggal di Serui. Anak kelima bernama Ruben Bonay, tinggal di Jayapura. Anak keenam yaitu Agus Bonay dan ketujuh, yaitu Afia Bonay. Kedua anak Eliezer Jan Bonay terakhir ini telah meninggal dunia.
Foto di atas sekali menunjukan kepada kita bahwa isteri ketiga, sekaligus isteri terakhir Eliezer Jan Bonay, yaitu Djuariah yang datang dari Bogor berziarah kembali ke makam suaminya itu di atas bukit Nundawipi, sebuah pulau kecil sebelah barat Kota Serui.
Di usianya yang ke-78 waktu itu, Djuariah sanggup mendaki bukit. Sekaligus menunjukan kesetiaan sejati seorang perempuan Sunda.
Kesetiaan yang ditunjukan isteri Eliezer Jan Bonay yang berasal dari orang Sunda, pernah juga ditunjukan Inggit kepada Bung Karno. Foto di bawah ini merupakan pertemuan ketika Bung Karno telah menjadi Presiden RI dengan mantan isterinya Inggit. Mengharukan, sekaligus membanggakan. Hingga akhir hayatnya, Inggit tetap memuja mantan suaminya itu. Cinta sejati dan penuh keikhlasan. 

Suatu ketika Inggit pernah ditanya tentang hal-hal bersifat pribadi tentang seorang Soekarno. Inggit pun selalu melindungi. "Ah...itu pamali untuk dibicarakan," ujarnya. Soekarno menggambarkan sosok Inggit dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia oleh Cindy Adams:" Inggit dan aku kawin di tahun 1923. Keluargaku tak pernah menyuarakan satu perkataan mencela ketika aku berpindah dari istriku yang masih gadis kepada istri lain yang selusin tahun lebih tua dari padaku...Inggit yang bermata besar dan memakai gelang di tangan itu tidak mempunyai masa lampau yang gemilang. Dia sama sekali tidak terpelajar, akan tetapi intelektualisme bagiku tidaklah penting dalam diri seorang perempuan. Yang kuhargai adalah kemanusiaannya. Perempuan itu sangat mencintaiku. Dia tidak memberikan pendapat-pendapat. Dia hanya memandang dan menungguku, dia mendorong dan memuja. Dia memberikan kepadaku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh ibuku. Dia memberiku kecintaan, kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar