Membaca judul di atas seperti terkesan bahwa kita sudah mengetahuinya. Kita memiliki identitas sendiri dan berprilaku sesuai dengan apa yang kita kehendaki.
Itu benar. Tetapi judul itu lebih menekankan kepada diri kita agar tidak menjadi pribadi ke mana arah mata angin berputar.
"If you would go high, use your own legs. Do not let yourselves be carried up, do not sit on the backs and heads of others."
Kalau kau ingin menjulang tinggi, gunakan kakimu sendiri. Jangan biarkan dirimu dijunjung orang; jangan kau duduk di atas punggung dan kepala orang-orang lain.
Kalimat ini saya kutip dari buku: "Berkenalan dengan Eksistensialisme," tulisan Prof. Dr. Fuad Hassan, diterbitkan Pustaka Jaya, Cetakan ketiga, 1983, halaman 51.
Buku ini bacaan saya ketika kuliah di Fakultas Sastra, Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, Tahun Akademik, 1986/1987. Waktu ini seangkatan dengan Rocky Gerung dan Gadis Arivia.
Ungkapan Friedrich Wihelm Nietzsche, filosof asal Prusia ini menjelaskan kepada kita, bahwa pembonceng dalam gerak mencapai ketinggian adalah pemalsu-pemalsu serta penipu-penipu, lebih-lebih terhadap dirinya sendiri.
Kenapa demikian ? Karena mereka ini tidak akan mampu menikmati ketinggian yang telah dicapainya, karena mereka tahu karena ketinggian yang telah dicapainya itu bukanlah ikhtiarnya sendiri dan oleh karenanya semu belaka; sekali waktu-pada waktunya-orang-orang demikian itu akan terpelanting dari ketinggian-ketinggian yang tidak dicapai atas kemampuannya sendiri itu. Mereka diibaratkan oleh Nietzshe sebagai orang-orang lumpuh yang menunggang kuda untuk mencapai tujuannya; mereka memacu kudanya agar secepat mungkin sampai ke tempat tujuan. Baiklah, kata Nietzshe,
"But your lame foot is sitting on the horse too. When you reach your goal, when your jump off your horse-on your very height ..
you will stumble."
Tetapi kakinya yang lumpuh itu ada di atas kuda. Kalau telah kau capai tempat tujuan, ketika kau melompat dari kudamu-dari ketinggian kamu itu...engkau akan terpelanting.
Jumat, 31 Agustus 2018
Jumat, 24 Agustus 2018
Sejak Dimakamkan di Papua Tahun 1990, Sang Isteri Berkunjung Menapaki Sisa-Sisa Kenangan
Tanggal 13 Maret 1990, Mantan Gubernur Integrasi Irian Barat (sekarang Papua) tahun 1963-1964, Eliezer Jan Bonay meninggal dunia. Ia meninggalkan seorang isteri bernama Djuariah. Dari isteri ketiga ini, ia memiliki dua anak. Pertama, anak perempuan bernama Dian Sundariani Bonay (almarhumah) dan Riyanti Puspita Suriani Bonay.
Isteri ketiga Eliezer Jan Bonay ini dinikahi pada tanggal 1 Juli 1964 di Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Waktu itu Eliezer Jan Bonay sudah berstatus duda setelah menjadi mualaf.
Isteri pertama Eliezer Jan Bonay adalah Ana. Sudah meninggal dunia. Dari Ana diperoleh tiga anak. Pertama, Yuli Bonay, sekarang tinggal di Jayapura. Kedua, bernama Max Bonay, juga tinggal di Jayapura. Terakhir anak ketiga bernama Musa Bonay. Ia telah meninggal dunia.
Selanjutnya dari isteri kedua yang bernama Esther, juga sudah meninggal dunia, maka Eliezer Jan Bonay memiliki tujuh orang anak. Anak pertama bernama Heemskerche Bonay. Sekarang tinggal di Jayapura. Anak kedua bernama Dirk Bonay, sekarang tinggal di Jayapura. Anak ketiga bernama Akon Boney dan sudah meninggal dunia. Anak keempat, bernama Zacheus Bonay, sekarang tinggal di Serui. Anak kelima bernama Ruben Bonay, tinggal di Jayapura. Anak keenam yaitu Agus Bonay dan ketujuh, yaitu Afia Bonay. Kedua anak Eliezer Jan Bonay terakhir ini telah meninggal dunia.
Foto di atas sekali menunjukan kepada kita bahwa isteri ketiga, sekaligus isteri terakhir Eliezer Jan Bonay, yaitu Djuariah yang datang dari Bogor berziarah kembali ke makam suaminya itu di atas bukit Nundawipi, sebuah pulau kecil sebelah barat Kota Serui.
Di usianya yang ke-78 waktu itu, Djuariah sanggup mendaki bukit. Sekaligus menunjukan kesetiaan sejati seorang perempuan Sunda.
Kesetiaan yang ditunjukan isteri Eliezer Jan Bonay yang berasal dari orang Sunda, pernah juga ditunjukan Inggit kepada Bung Karno. Foto di bawah ini merupakan pertemuan ketika Bung Karno telah menjadi Presiden RI dengan mantan isterinya Inggit. Mengharukan, sekaligus membanggakan. Hingga akhir hayatnya, Inggit tetap memuja mantan suaminya itu. Cinta sejati dan penuh keikhlasan.
Suatu ketika Inggit pernah ditanya tentang hal-hal bersifat pribadi tentang seorang Soekarno. Inggit pun selalu melindungi. "Ah...itu pamali untuk dibicarakan," ujarnya. Soekarno menggambarkan sosok Inggit dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia oleh Cindy Adams:" Inggit dan aku kawin di tahun 1923. Keluargaku tak pernah menyuarakan satu perkataan mencela ketika aku berpindah dari istriku yang masih gadis kepada istri lain yang selusin tahun lebih tua dari padaku...Inggit yang bermata besar dan memakai gelang di tangan itu tidak mempunyai masa lampau yang gemilang. Dia sama sekali tidak terpelajar, akan tetapi intelektualisme bagiku tidaklah penting dalam diri seorang perempuan. Yang kuhargai adalah kemanusiaannya. Perempuan itu sangat mencintaiku. Dia tidak memberikan pendapat-pendapat. Dia hanya memandang dan menungguku, dia mendorong dan memuja. Dia memberikan kepadaku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh ibuku. Dia memberiku kecintaan, kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri."
Isteri ketiga Eliezer Jan Bonay ini dinikahi pada tanggal 1 Juli 1964 di Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Waktu itu Eliezer Jan Bonay sudah berstatus duda setelah menjadi mualaf.
Isteri pertama Eliezer Jan Bonay adalah Ana. Sudah meninggal dunia. Dari Ana diperoleh tiga anak. Pertama, Yuli Bonay, sekarang tinggal di Jayapura. Kedua, bernama Max Bonay, juga tinggal di Jayapura. Terakhir anak ketiga bernama Musa Bonay. Ia telah meninggal dunia.
Selanjutnya dari isteri kedua yang bernama Esther, juga sudah meninggal dunia, maka Eliezer Jan Bonay memiliki tujuh orang anak. Anak pertama bernama Heemskerche Bonay. Sekarang tinggal di Jayapura. Anak kedua bernama Dirk Bonay, sekarang tinggal di Jayapura. Anak ketiga bernama Akon Boney dan sudah meninggal dunia. Anak keempat, bernama Zacheus Bonay, sekarang tinggal di Serui. Anak kelima bernama Ruben Bonay, tinggal di Jayapura. Anak keenam yaitu Agus Bonay dan ketujuh, yaitu Afia Bonay. Kedua anak Eliezer Jan Bonay terakhir ini telah meninggal dunia.
Foto di atas sekali menunjukan kepada kita bahwa isteri ketiga, sekaligus isteri terakhir Eliezer Jan Bonay, yaitu Djuariah yang datang dari Bogor berziarah kembali ke makam suaminya itu di atas bukit Nundawipi, sebuah pulau kecil sebelah barat Kota Serui.
Di usianya yang ke-78 waktu itu, Djuariah sanggup mendaki bukit. Sekaligus menunjukan kesetiaan sejati seorang perempuan Sunda.
Kesetiaan yang ditunjukan isteri Eliezer Jan Bonay yang berasal dari orang Sunda, pernah juga ditunjukan Inggit kepada Bung Karno. Foto di bawah ini merupakan pertemuan ketika Bung Karno telah menjadi Presiden RI dengan mantan isterinya Inggit. Mengharukan, sekaligus membanggakan. Hingga akhir hayatnya, Inggit tetap memuja mantan suaminya itu. Cinta sejati dan penuh keikhlasan.
Suatu ketika Inggit pernah ditanya tentang hal-hal bersifat pribadi tentang seorang Soekarno. Inggit pun selalu melindungi. "Ah...itu pamali untuk dibicarakan," ujarnya. Soekarno menggambarkan sosok Inggit dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia oleh Cindy Adams:" Inggit dan aku kawin di tahun 1923. Keluargaku tak pernah menyuarakan satu perkataan mencela ketika aku berpindah dari istriku yang masih gadis kepada istri lain yang selusin tahun lebih tua dari padaku...Inggit yang bermata besar dan memakai gelang di tangan itu tidak mempunyai masa lampau yang gemilang. Dia sama sekali tidak terpelajar, akan tetapi intelektualisme bagiku tidaklah penting dalam diri seorang perempuan. Yang kuhargai adalah kemanusiaannya. Perempuan itu sangat mencintaiku. Dia tidak memberikan pendapat-pendapat. Dia hanya memandang dan menungguku, dia mendorong dan memuja. Dia memberikan kepadaku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh ibuku. Dia memberiku kecintaan, kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri."
Kamis, 09 Agustus 2018
Hari Veteran Nasional 10 Agustus 2018
Hari Veteran Nasional ini selalu diperingati untuk mengingatkan kembali peristiwa 10 Agustus 1949. Pada hari itu disepakati persetujuan gencatan senjata antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintahan Kerajaan Belanda yang berlaku tanggal dan hari itu, pukul 24.00. Namun, pertempuran TNI melawan tentara Kerajaan Belanda belum berakhir di hari itu, karena "Serangan Oemum" merebut kembali kota Solo yang dimulai sejak tanggal 10 Agustus 1949. Pukul 24.00 WIB semua pihak yang terlibat pertempuran menghentikannya.
Gencatan senjata antara TNI dengan tentara Kerajaan Belanda telah mengakhiri perjuangan panjang menegakan dan menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kokohnya. Hari bersejarah tanggal 10 Agustus 1949 itu kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Veteran Nasional (Foto dari berbagai sumber).
Langganan:
Postingan (Atom)