Senin, 04 Desember 2017
Mungkinkah Keluarga Cendana Pimpin Partai Golkar
Dua buah foto ini berasal dari teman saya, Suryanto Gultom yang menggambarkan kader Partai Golkar, Siti Hedijanti Harijadi atau lebih dikenal dengan Titiek Soeharto. Ia terlihat sedang berbincang-bincang serius dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Berarti bukan hanya Airlangga Hartarto dan Idrus Marham yang sudah mengaku berbicara dengan Presiden Jokowi.
Memang berbicara dengan Presiden Jokowi boleh dianggap hal biasa. Tetapi menjelang rencana diselenggarakannya Kongres Luar Biasa Partai Golkar bulan Desember 2017 ini, pembicaraan ketiga calon Ketua Umum Partai Golkar itu, bisa disebut hal luar biasa.
Titiek Soeharto adalah anak keempat dari enam anak Presiden Soeharto bersama Siti Hartinah atau sering dipanggil Tien Soeharto. Nama Titiek sering pula dianggap calon kuat menggantikan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang sekarang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lebih jauh dari itu, Titiek adalah mantan isteri Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menurut Fadli Zon, Prabowo akan dipastikannya menjadi Presiden RI tahun 2019 menggantikan Presiden sekarang ini, Joko Widodo.
Kasus Ketua Umum Partai Golkar sekarang ini, Setya Novanto yang sudah memakai baju tahanan KPK memang menarik untuk diikuti.
Saya mengikuti perkembangan ini sejak 4 Mei 2017, yaitu sejak Ketua Umum Partai Golkar itu tersandung kasus e-KTP. Intinya hanya satu, penuh drama, yang mengajarkan kepada kita kepada nasihat orang tua zaman dahulu, "nak jujur ya, jangan berdusta."
Kita tidak mengatakan, drama ini penuh dusta. Tetapi kalau kita menyaksikan informasi yang berkembang setelah Setya Novanto mengalami kecelakaan, berpindah dari rumah sakit dan akhirnya memakai baju tahanan KPK, ada infotmasi sebenarnya yang sedang disembunyikan. Ia tidak bisa bangun, berbicara sebentar, tidur lagi.
Terdengar lagi informasi, ia diinfus dengan jarum anak-anak. Bahkan yang lebih mengagetkan, ada yang mengatakan, Ketua DPR RI ini akan mengidap penyakit lupa dan harus berobat ke luar negeri.
Konsekuensinya jika berobat ke luar negeri, maka KPK harus mencabut larangan pergi ke luar negeri. Kita sebagai masyarakat tidak mengetahui betul apa yang sedang terjadi waktu itu. Kita hanya menyaksikan dari jauh, dan mendengar informasi dari data akurat.
Ternyata, setelah kita menyaksikan perkembangan terakhir setelah ditahan KPK dan memakai baju tahanan KPK, Setya Novanto bisa berjalan pelan-pelan dan berbicara terputus-putus. Ia tidak terserang penyakit lupa ingatan dan team dokter pun mengatakan bahwa ia tidak separah yang dibayangkan hingga lupa ingatan dan sebagainya.
Sejak itu, kasus ini berkembang ke DPR RI. Terjadilah apa yang disebut penggalangan hak angket di DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Ternyata penggalangan dukungan ini memunculkan protes dari MAKI (Masyarakat Anti Korupsi) yang melaporkan Fahri Hamzah ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait dugaan pelanggaran etika dalam persetujuan hak angket KPK di Sidang Paripurna DPR baru-baru ini.Hasilnya hingga hari ini belum ada kejelasan, semoga nanti ada kejelasannya karena rakyat ingin tahu. Boleh jadi sudah ada informasi, tetapi saya yang tidak mengetahuinya.
Akhir-akhir ini Partai Golkar selalu menjadi sorotan. Saya mencatat, Golkar semasa berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun dan meninggalnya beliau, mengalami berbagai cobaan dan rintangan. Selama 32 tahun Golkar (dulu enggan disebut partai) mengalami kejayaan luar biasa.
Di masa Soeharto, seorang presiden memegang tiga wewenang sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI, juga Kepala Eksekutif dan sangat kontroversial, dia juga adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Sementara kedua partai politik, masing-masing Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), seakan-akan terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tetapi terjadi juga perubahan drastis di tubuh Golkar. Perubahan itu dihitung sejak Soeharto lengser dari jabatan Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998. Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Golkar dihujat, dicaci-maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan.
Keinginan membubarkan Golkar bukan hanya datang dari sebagian masyarakat, tetapi juga dari penyelenggara negara waktu itu, yaitu sebut saja KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika ia mengeluarkan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juni 2001, Gus Dur memaklumatkan di poin ketiganya untuk membekukan Partai Golkar dengan dalih untuk menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru. Padahal, dalam pemilihan umum, Juni 1999, Partai Golkar berhasil meraih kemenangan kedua di bawah PDIP. Akhirnya, sejarah membuktikan bahwa keinginan untuk membekukan Golkar ditolak MA.
Sebenarnya, pada waktu itu juga, Golkar telah memasuki era baru. Golkar telah mengubah citranya menjadi Golkar "baru" yang dideklarasikan pada tanggal 7 Maret 1999 yang antara lain menyatakan Golkar akan mempelopori tegaknya kehidupan politik yang demokratis dan terbuka, Golkar akan memperjuangkan aspirasi kepentingan rakyat sehingga menjadi kebijakan politik yang bersifat publik, Golkar telah menyatakan diri sebagai partai yang mengakar dan responsif serta senantiasa peka dan tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat.
Lebih penting dari itu, Golkar telah berupaya mengambil tindakan tegas terhadap KKN dan Golkar telah melakukan koreksi yang terencana, melembaga, dan berkesinambungan terhadap penyimpangan yang terjadi di masa lalu. Sudah tentu dua poin ini perlu sekali digarisbawahi.
Selasa, 11 April 2017
Wayang Kulit Indonesia Dipamerkan
WAYANG KULIT INDONESIA DIPAMERKAN
PADA FESTIVAL WAYANG KULIT INTERNASIONAL
Arjuna, Srikandi, Krisna, Nakula dan Sadewa adalah sedikit dari tokoh-tokoh wayang koleksi KBRI Budapest yang dipamerkan pada International Shadow Puppets Festivals “Karakulit 2017“di Müvészetek és Irodalom Haza, kota Pécs, Hongaria pada 10 April 2017.
Pameran yang diprakarsai oleh MarkusZinhaz secara resmi dibuka oleh Duta Besar RI untuk Hongaria, Y.M Wening Esthyprobo Fatandari tersebut akan dilaksanakan selama 1 (satu) bulan bersama sama dengan koleksi wayang dari China, Turki, India dan Hongaria yang dipamerkan di berbagai museum di kota Pécs.
‘Wayang kulit atau Shadows Puppets sudah dipertunjukkan di Indonesia sejak abad ke-9’ ungkap Dubes Wening dalam pidato pembukaannya di depan pecinta wayang di Pécs ‘hal ini dapat dilihat dari prasasti Galigi Mawayang yang diperkirakan ditulis pada tahun 930 M, dimana pada saat itu cerita wayang yang sering dipertunjukan adalah tokoh Bima yang menggambarkan ksatria tangguh. Sejak saat itu, wayang menjadi sebuah seni pertunjukan yang menjadi nafas budaya seiring dengan berkembangnya jaman.
‘Dan dengan bangga kami sampaikan bahwa sama halnya seperti Batik, pada 7 November 2003, Wayang Kulit juga telah diakui sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau warisan mahakarya dunia dari Indonesia oleh UNESCO’ pengakuan ini mempertebal rasa kebanggaan Indonesia pungkasnya.
Pameran wayang Internasional di kota Pecs kali ini merupakan pameran wayang pertama yang diadakan oleh MarkusZinhaz, sebuah yayasan non-profit yang beranggotakan penggemar wayang dari seluruh dunia. Sebelumnya MarkusZinhaz telah menyelenggarakan beberapa kali festival boneka internasional di kota Pécs. Khusus untuk pameran koleksi Indonesia, MarkusZinhaz juga meminjam berbagai koleksi wayang Dus Polett, seorang pedalang Warga Negara Hongaria yang jatuh cinta kepada wayang saat menempuh program Darmasiswa, beasiswa pendidikan budaya dua semester di Indonesia.
TTT Budaya KBRI Budapest turut memeriahkan acara pembukaan Pameran Wayang Internasional ini dengan mempersembahakn tarian tradisional Jawa yang selaras dengan nafas pameran serta menyuguhkan kudapan khas Indonesia. (PF.Pensobud KBRI Budapest/Ns
PADA FESTIVAL WAYANG KULIT INTERNASIONAL
Arjuna, Srikandi, Krisna, Nakula dan Sadewa adalah sedikit dari tokoh-tokoh wayang koleksi KBRI Budapest yang dipamerkan pada International Shadow Puppets Festivals “Karakulit 2017“di Müvészetek és Irodalom Haza, kota Pécs, Hongaria pada 10 April 2017.
Pameran yang diprakarsai oleh MarkusZinhaz secara resmi dibuka oleh Duta Besar RI untuk Hongaria, Y.M Wening Esthyprobo Fatandari tersebut akan dilaksanakan selama 1 (satu) bulan bersama sama dengan koleksi wayang dari China, Turki, India dan Hongaria yang dipamerkan di berbagai museum di kota Pécs.
‘Wayang kulit atau Shadows Puppets sudah dipertunjukkan di Indonesia sejak abad ke-9’ ungkap Dubes Wening dalam pidato pembukaannya di depan pecinta wayang di Pécs ‘hal ini dapat dilihat dari prasasti Galigi Mawayang yang diperkirakan ditulis pada tahun 930 M, dimana pada saat itu cerita wayang yang sering dipertunjukan adalah tokoh Bima yang menggambarkan ksatria tangguh. Sejak saat itu, wayang menjadi sebuah seni pertunjukan yang menjadi nafas budaya seiring dengan berkembangnya jaman.
‘Dan dengan bangga kami sampaikan bahwa sama halnya seperti Batik, pada 7 November 2003, Wayang Kulit juga telah diakui sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau warisan mahakarya dunia dari Indonesia oleh UNESCO’ pengakuan ini mempertebal rasa kebanggaan Indonesia pungkasnya.
Pameran wayang Internasional di kota Pecs kali ini merupakan pameran wayang pertama yang diadakan oleh MarkusZinhaz, sebuah yayasan non-profit yang beranggotakan penggemar wayang dari seluruh dunia. Sebelumnya MarkusZinhaz telah menyelenggarakan beberapa kali festival boneka internasional di kota Pécs. Khusus untuk pameran koleksi Indonesia, MarkusZinhaz juga meminjam berbagai koleksi wayang Dus Polett, seorang pedalang Warga Negara Hongaria yang jatuh cinta kepada wayang saat menempuh program Darmasiswa, beasiswa pendidikan budaya dua semester di Indonesia.
TTT Budaya KBRI Budapest turut memeriahkan acara pembukaan Pameran Wayang Internasional ini dengan mempersembahakn tarian tradisional Jawa yang selaras dengan nafas pameran serta menyuguhkan kudapan khas Indonesia. (PF.Pensobud KBRI Budapest/Ns
Sabtu, 11 Maret 2017
Bu Nas tentang Abdul Kadir Besar dan Pak Nas
Banyak di antara kita hanya melihat hubungan antara Pak Harto dengan Pak Nasution melalui foto di atas ini.Sangat akrab. Ini foto ketika Pak Harto dan Pak Nas dikukuhkan sebagai Jenderal Besar.Seorang lagi yaitu Jenderal Soedirman yang telah wafat.Jadi ada tiga jenderal dalam sejarah Indonesia memperoleh gelar Jenderal Besar.
Pernah Pak Susilo Bambang Yudhoyono diusulkan jadi Jenderal Besar, tetapi beliau menolak.
Foto di atas itu, hubungan erat antara dua orang jenderal tersebut.Tetapi tahukah kita, hubungan antara Pak Harto dengan Pak Nas, mantan Ketua MPRS dan Sekjen MPRS Abdul Kadir Besar?
Ini penuturan isteri Pak Nasution, Yohana Sunarti Nasution di Majalah "Tempo," 28 Juli 2002 halaman 64 dan 69 berjudul: "Setumpuk Buku 30 Tahun yang Lalu, " dan " Kami Dijauhi Seperti Penderita Lepra," tulisan Andari Karani :
" Abdul Kadir Besar, sejumlah pemgurus MPRS, dan pengelola Percetakan Siliwangi malah sempat diinterogasi.Tudingannya seram, membocorkan rahasia negara.Pak Nas dicekal dari tahun 1972 sampai 1993.Sejak itu, penjagaan dan fasilitas ditarik. Bahkan air PAM di rumah dicabut.Setiap hari intelijen mengamati kami.Semua yang dekat-dekat Pak Nas akan dibikin susah, sehingga orang takut datang. Yang setia datang adalah Surono dan Wiyogo Atmodarminto.Soepardjo Roestam juga pernah datang, tapi cuma sebentar, lalu pergi. Yang lain menjauh. Seolah-olah kami ini menderita lepra.Sewaktu Adam Malik meninggal, Bapak datang. Tiba-tiba ada tentara yang menarik Bapak dan menyuruh mundur dengan cara yang tidak sopan.Kurang ajar sekali mereka," ujar isteri Pak Nasution, Yohana Sunarti Nasution.
Selanjutnya Bu Nas mengatakan :
"Pak Nas bilang sudah memaafkan Pak Harto.Cuma ada satu orang yang
tidak mau dia maafkan.Tapi saya tak akan bilang siapa.Bapak bilang TNI sudah meninggalkan tugas seharusnya.TNI harusnya dekat dengan rakyat., bukan ikut memeras rakyat.Mengapa sekarang jadi begini? TNI sekarang masuk ke segala peran. Orang jadi mempermasalahkan Pak
Nas sebagai penggagas dwi fungsi.Pada hal dwifungsi yang dilakukan Pak Harto bukan yang dimaksud Pak Nas. Prinsip TNI punya hak juga di negeri ini.Tapi jangan di semua bidang."
Pernah Pak Susilo Bambang Yudhoyono diusulkan jadi Jenderal Besar, tetapi beliau menolak.
Foto di atas itu, hubungan erat antara dua orang jenderal tersebut.Tetapi tahukah kita, hubungan antara Pak Harto dengan Pak Nas, mantan Ketua MPRS dan Sekjen MPRS Abdul Kadir Besar?
Ini penuturan isteri Pak Nasution, Yohana Sunarti Nasution di Majalah "Tempo," 28 Juli 2002 halaman 64 dan 69 berjudul: "Setumpuk Buku 30 Tahun yang Lalu, " dan " Kami Dijauhi Seperti Penderita Lepra," tulisan Andari Karani :
" Abdul Kadir Besar, sejumlah pemgurus MPRS, dan pengelola Percetakan Siliwangi malah sempat diinterogasi.Tudingannya seram, membocorkan rahasia negara.Pak Nas dicekal dari tahun 1972 sampai 1993.Sejak itu, penjagaan dan fasilitas ditarik. Bahkan air PAM di rumah dicabut.Setiap hari intelijen mengamati kami.Semua yang dekat-dekat Pak Nas akan dibikin susah, sehingga orang takut datang. Yang setia datang adalah Surono dan Wiyogo Atmodarminto.Soepardjo Roestam juga pernah datang, tapi cuma sebentar, lalu pergi. Yang lain menjauh. Seolah-olah kami ini menderita lepra.Sewaktu Adam Malik meninggal, Bapak datang. Tiba-tiba ada tentara yang menarik Bapak dan menyuruh mundur dengan cara yang tidak sopan.Kurang ajar sekali mereka," ujar isteri Pak Nasution, Yohana Sunarti Nasution.
Selanjutnya Bu Nas mengatakan :
"Pak Nas bilang sudah memaafkan Pak Harto.Cuma ada satu orang yang
tidak mau dia maafkan.Tapi saya tak akan bilang siapa.Bapak bilang TNI sudah meninggalkan tugas seharusnya.TNI harusnya dekat dengan rakyat., bukan ikut memeras rakyat.Mengapa sekarang jadi begini? TNI sekarang masuk ke segala peran. Orang jadi mempermasalahkan Pak
Nas sebagai penggagas dwi fungsi.Pada hal dwifungsi yang dilakukan Pak Harto bukan yang dimaksud Pak Nas. Prinsip TNI punya hak juga di negeri ini.Tapi jangan di semua bidang."
Minggu, 05 Maret 2017
Bantahan: "Saya Bukan Wartawan Senior Majalah Gatra"
Pada hari ini, hari Minggu, tanggal 5 Maret 2017 saya membaca artikel di BLOGdetik.Atau disebut pula dengan mayalestarigf.blogdetik.com/2013/08/20.Berarti artikel itu bertanggal 20 Agustus 2013.Lama sekali, empat tahun, tetapi baru saya baca pada hari ini, Minggu, 5 Maret 2017.
Judul dan isinya menarik.Judulnya: "Sejarah Singkat Pers di Masa Orde Baru dan Reformasi." Hanya ketika menyebut nama saya: "Dasman Djamaluddin, wartawan senior Majalah Gatra dalam sebuah pembicaraan online dengan saya menyatakan...," maka kalimat ini keliru.Saya tidak pernah menjadi wartawan Majalah Gatra.Ditulisan selanjutnya disebut bahwa saya adalah Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK.Ini yang benar.Saya menjadi Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK, salah satu media "Merdeka Group," pimpinan Bapak BM Diah.
Saya menjadi Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK mulai 1 Juni 1985 s/d 1 April 1988.Sekali lagi bukan wartawan senior Majalah Gatra.
Kutipan Lengkap dari BLOGdetik :
Judul dan isinya menarik.Judulnya: "Sejarah Singkat Pers di Masa Orde Baru dan Reformasi." Hanya ketika menyebut nama saya: "Dasman Djamaluddin, wartawan senior Majalah Gatra dalam sebuah pembicaraan online dengan saya menyatakan...," maka kalimat ini keliru.Saya tidak pernah menjadi wartawan Majalah Gatra.Ditulisan selanjutnya disebut bahwa saya adalah Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK.Ini yang benar.Saya menjadi Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK, salah satu media "Merdeka Group," pimpinan Bapak BM Diah.
Saya menjadi Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK mulai 1 Juni 1985 s/d 1 April 1988.Sekali lagi bukan wartawan senior Majalah Gatra.
Kutipan Lengkap dari BLOGdetik :
Sejarah Singkat Pers di Masa Orde Baru dan Reformasi
Ada dua masa penting dalam dunia pers Indonesia. Pertama masa Orde Baru dan kedua masa reformasi. Kedua masa ini memiliki perbedaan yang begitu besar dan nyata. Di masa orde baru, pers diikat oleh aturan-aturan ketat sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Dalam Undang-undang ini pers memiliki lima kewajiban, diantaranya, mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen, sertamembina persatuan dan kekuatan-kekuatan progresif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme/diktator.
Secara tak tertulis, penguasa juga menginginkan pers tidak menurunkan pemberitaan negatif terkait kekuasaaan. Dengan demikian, media-media yang dalam pandangan penguasa tidak bisa memenuhi keinginan di atas, akan dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-nya (SIUPP). Peristiwa pembredelan yang menimpa Majalah Tempo, Editor dan DeTik pada 21 Juni 1994, merupakan bentuk dari represifitas penguasa terhadap media yang dianggap berseberangan.
Logika Self Censorship
Dasman Djamaluddin, wartawan senior Majalah Gatra dalam sebuah pembicaraan online dengan saya menyatakan bahwa sejarah pers di masa Orde Baru tidak bisa melepaskan diri dari sejarah pers sebelumnya. Inilah kerangka besar Sejarah Pers di Indonesia. Warisan pers di masa Orde Lama masih terasa ketika Orde Baru lahir. Di masa itu ada istilah pers perjuangan dan sangat akrab dengan istilah personal journalism, yaitu jurnalisme yang secara signifikan tampil di muka khalayak dengan suara dan sikap seirama dengan pikiran, pandangan dan idealisme pemimpin redaksinya. Jadi ke arah mana surat kabarnya dibawa, tergantung pemimpin redaksinya. Bahkan lebih ekstrimnya lagi, surat kabar itu sudah identik dengan pemimpin redaksinya. Misalnya Harian Merdeka identik dengan B.M.Diah. Harian Pedoman identik dengan Rosihan Anwar dan Harian Indonesia Raya identik dengan Mochtar Lubis.
Mengutip Dr.Martin Schneider, ahli komunikasi dari Belanda, Dasman menyebutkan tiga kriteria suratkabar. Pertama, koran yang mempunyai ikatan organisatoris dengan organisasi politik. Kedua, koran yang tidak memiliki hubungan organisatoris dengan organisasi politik, tetapi kebijakan editorialnya mengarah kepada organisasi politik. Ketiga, koran yang independen. Itu artinya, apapun kriteria sebuah koran, ia akan selalu terkait dengan politik.
Pada masa Orde Baru, kekuatan militer sangat dominan di Indonesia. Pemerintahan pun bersifat sangat militeristik. Untuk mengendalikan situasi, pemerintah kadang menggunakan tangan besi. Pers, dalam hal ini, jika tak ingin ditampar tangan besi pemerintah, harusmenurunkan berita yang sesuai dengan keinginan pemerintah. Di sini kemudian berlaku self censorship. Menurut kamus online Cambridge, self censorship adalah pengendalian perkataan dan perbuatan untuk menghindarkan kemungkinan menganggu atau menyinggung pihak lain, hal ini dilakukan tanpa ada pemberitahuan resmi sebelumnya, bahwa kontrol itu diperlukan. Tindakan self sensorship ini mengindikasikan, ketatnya kontrol berita oleh penguasa, memaksa koran untuk melakukan penyensoran sendiri terhadap berita-berita yang diperkirakan bisa menyinggung kekuasaan.
Hal ini diakui sendiri oleh Dasman Djamaluddin yang pernah menjabat Redaktur Pelaksana Majalah TOPIK (Kelompok Harian Merdeka). Pada masanya, majalahnya terpaksa memilah-milah berita yang sesuai dengan kemauan pemerintah. Bila terjadi pelanggaran langsung ditegur melalui telepon kadang surat.
Ini mengindikasikan bahwa persdalam logika penguasa, merupakan salah satu alat untuk mengendalikan keamanan dan kenyamanan. Pers tidak dipandang sebagai alat bagi rakyat untuk menyampaikan opini, corong untuk menyampaikan segala yang dipandang tidak baik, agar bisa diperbaiki oleh penguasa. Karena itulah pemerintah masa itu, melalui Departemen Penerangan mesti mengendalikan pers, agar tidak tersesat mengacaukan stabilitas kekuasaan.
Namun, wartawan-wartawan cerdik umumnya punya strategi jitu. Sebagaimana yang diungkapkapkan Dasman Djamaluddin, untuk mengkritik pemerintah, ia akan menulis berita-berita luar negeri yang memiliki persamaan dengan yang terjadi di dalam negeri. Mengkritik ke negeri orang, sekaligus berdampak ke dalam negeri.
Hal seperti ini umumnya tak dirasakan wartawan-wartawan yang khusus meliput pembangunan desa semisal Drs. Amiruddin yang masa itu menjadi wartawan Koran Masuk Desa (KMD) Harian Haluan. Berita-berita KMD sangat direspon positif karena banyak memberitakan kemajuan pembangunan di berbagai desa. Suatu hal yang memang diinginkan oleh pemerintah Orde baru.
Reformasi
Perubahan politik di masa reformasi, menghasilkan perubahan pula pada dunia pers. Pada masa reformasi, UU No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang represif dicabut dan digantikan dengan UU No. 40 Tahun 1999. Undang-undang yang baru lebih bersahabat pada dengan pers. Namun, ternyata ini memiliki efek. Euforia kebebasan pers, membuat beberapa media menyiarkan berita yang lebih bersifat sensasional, dan pada level etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri. Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers, juga muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (Firdaus Putra A, Jejak Pers di Masa Orba dan Reformasi)
Selasa, 07 Februari 2017
Sejarah: OPR di Sumatera Barat disusupi PKI
PKI maupun Ormasnya, melakukan infiltrasi kedalam organisasi OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat). Bagaimana pengalaman saya menghadapi OPR, Bpk.Dasman Djamaluddin menulis:
Pasukan Ahmad Yani Disusupi PKI?
Written by Dasman Djamaluddin
Friday, 29 June 2012
Faktanya, kehadiran PKI disambut hangat rakyat Indonesia sehingga dapat bertumbuh dengan subur....
Ahmad Husein mengatakan kepada saya, komunis itu paham anti tuhan. Nada itu sangat tegas dikatakannya. Ketegasan itu bukan tanpa alasan, karena Ahmad Husein sejak di HIS maupun MULO Taman Siswa sudah dikaderkan oleh Kepanduan Hizbul Wathan, yang dibentuk Muhammadiyah, sehingga bolehlah disebut sebagai orang yang taat beragama.
Memang, sepak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatera Barat sangat memprihatinkan, sehingga Ahmad Husein jadi ikut membenci PKI.
Untuk menggambarkan situasi Sumatera Barat di masa itu, saya pernah berjumpa dengan Jacky Mardono Tjokrodiredjo, mantan Kapolres Padang Pariaman, di masa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
"Banyak sekali preman dan perampokan-perampokan," ujar Jacky. "Anda tahu siapa yang melakukan?" tanyanya kepada saya. "Itulah OPR, Organisasi Perlawanan Rakyat!" Ia sendiri yang menjawab. Menurutnya lagi, pada waktu penumpasan PRRI, maka telah dibentuk OPR atau Organisasi Perlawanan Rakyat. Pada masa proloog G30S, walau resminya OPR telah dibubarkan, ex anggota OPR masih bebas menggunakan seragam militer.
Pada tahun 1965, terdengar kabar bahwa ex anggota OPR yang fisiknya memenuhi syarat, akan dididik menjadi anggota TNI-AD. Syarat pendidikan dikesampingkan, yang penting kondisi fisik.
Kepindahan saya dari Polres Pasaman ke Polres Padang Pariaman, tidak dapat dikatakan sebagai mutasi rutin. Pada waktu itu, pada umumnya mutasi untuk jabatan Kapolres, dilaksanakan setelah seseorang menjabat minimal 2 tahun di suatu wilayah. Saya baru menjabat 9 bulan sebagai Kapolres Pasaman, sudah terkena mutasi. Pertimbangannya, Polres Padang Pariaman adalah Polres yang tertinggi angka perampokannya dengan menggunakan senjata api," tutur Jacky.
Ditambahkan Jacky, perampokan yang terjadi sering diiringi dengan pembunuhan dan perkosaan. Pelaku perampokan disinyalir adalah ex anggota OPR. Setiap Polres akan melakukan penindakan, selalu memperoleh hambatan dari oknum-oknum militer. Menurut oknum-oknum tersebut, tuduhan bahwa yang melakukan perampokan adalah ex anggota OPR merupakan fitnah. Yang memfitnah adalah anggota Polres ex PRRI. Mereka balas dendam kepada ex OPR yang aktif menumpas PRRI. Sebagian anggota OPR adalah anggota Ormas PKI.
Secara pribadi, saya belum bisa mempertanggung-jawabkan data ini. Apakah benar pasukan A. Yani yang disuruh menggempur Kota Padang dan Bukittinggi di masa PRRI itu, sebagian besarnya menggunakan oknum PKI? Kenapa? Atau karena kekurangan pasukan? Jika ternyata pernyataan Jacky benar, sejarah baru bisa ditemukan.
Perlu diketahui, bahwa PKI muncul kembali menjadi kekuatan setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X, yang merupakan peraturan tertulis pertama yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, tentang anjuran pendirian partai-partai untuk memperkuat perjuangan bangsa.
Lahirnya maklumat ini menimbulkan perdebatan yang panjang seputar UUD 1945, mengapa Sistem Pemerintahan Presidensiil sekonyong-konyong berubah menjadi Sistem Parlementer? Mengapa harus Wakil Presiden yang menandatanganinya? Bahkan salah seorang peneliti berkebangsaan Belanda, Lambert Giebels, mengatakan bahwa tindakan Wakil Presiden Muhammad Hatta merupakan kudeta diam-diam, dan menjelaskan kekecewaan Soekarno atas sikap Hatta, dimana Soekarno, menurut Lambert Giebels, setelah peristiwa itu menghibur diri di Pelabuhan Ratu.
Dalam Pemilihan Umum Pertama di Indonesia, 29 September 1955, PKI memperoleh suara 16,3 persen, berhasil menduduki posisi keempat dalam jumlah pengumpulan suara untuk Parlemen (DPR). Posisi teratas PNI dengan jumlah suara 22,1 persen, berikutnya Masyumi, 20,9 persen dan NU, 18,4 persen.
Juga perlu dicatat, pada masa Demokrasi Parlementer, di Sidang Konstituante, 10 November 1956, sebuah perdebatan ideologi terjadi di mana PKI merupakan suara terbesar kedua yang mendukung Pancasila setelah PNI. Tanpa adanya PKI, maka dua ideologi lainnya, Islam dan Sosial-Ekonomi akan menang. Tetapi, sidang konstituante ini sudah dua setengah tahun berjalan dan tidak mampu mewujudkan rumusan Undang-Undang Dasar Baru.
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno mengajukan usul agar kembali ke UUD 1945. Begitu kembali dari perjalanan ke Jepang, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengambil tindakan penuh resiko, yaitu dengan mengeluarkan sebuah Dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Setelah ini, PKI semakin leluasa memengaruhi Bung Karno, apalagi tanpa Bung Hatta. Bung Karno ingin agar PKI masuk ke dalam pemerintahan. Ini menjadi kekuatiran Ahmad Husein yang kemudian menjadi kenyataan.
"Yah, saya tahu itu, terhadap kepada PKI, ada beberapa saudara-saudara atau pihak berkeberatan... apakah kita dapat terus menerus mengabaikan satu golongan yang di dalam Pemilihan Umum mempunyai suara enam juta?" ujar Bung Karno tentang PKI.(Foto:dewanbanteng.blogspot.com)
http://dasmandj.blogspot.co.id/2015/09/tulisan-dari-tnol.html
Tentang Sdr.Dasman Djamaluddin, silahkan klik: https://id.wikipedia.org/wiki/Dasman_Djamaluddin
Kamis, 02 Februari 2017
Wajah Peradilan Kita Setelah Antasari Azhar Bicara di Televisi
Menyaksikan wawancara Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saya yang pernah belajar Ilmu Hukum ikut prihatin. Ternyata dari ungkapan Pak Antasari, hukum itu tidak lepas dari kepentingan politik.
Kenapa demikian? Ketika saya dulu belajar Ilmu Hukum, saya dijejali berbagai dogma agar selalu bertindak sesuai hukum yang berlaku.Hakim itu adalah seakan-akan wakil Tuhan di muka bumi ini.Keputusannya tidak boleh diintervensi.
Tetapi setelah kita mendengar ada hakim yang ditangkap KPK termasuk ketuanya, kenapa korupsi masih saja merajalela khususnya di Indonesia? Bukankah seorang ahli hukum itu telah dibekali ilmu-ilmu hukum, termasuk ilmu hukum agama? Di mana kita harus memposisikan nilai-nilai moral di tangan seorang hakim yang diidentikkan sebagai wakil Tuhan di muka bumi?
Kita sudah tentu menyambut baik keinginan Pak Antasari akan mengungkap kebenaran, siapa sebenarnya pembunuh Nasrudin Zulkarnaen, agar nantinya ia bisa bercerita kepada anak cucunya bahwa ia tidak bersalah.Yang membunuh itu adalah .....Mudah-mudahan.
Foto: indowarta.com dan liputan6.com
Kenapa demikian? Ketika saya dulu belajar Ilmu Hukum, saya dijejali berbagai dogma agar selalu bertindak sesuai hukum yang berlaku.Hakim itu adalah seakan-akan wakil Tuhan di muka bumi ini.Keputusannya tidak boleh diintervensi.
Tetapi setelah kita mendengar ada hakim yang ditangkap KPK termasuk ketuanya, kenapa korupsi masih saja merajalela khususnya di Indonesia? Bukankah seorang ahli hukum itu telah dibekali ilmu-ilmu hukum, termasuk ilmu hukum agama? Di mana kita harus memposisikan nilai-nilai moral di tangan seorang hakim yang diidentikkan sebagai wakil Tuhan di muka bumi?
Kita sudah tentu menyambut baik keinginan Pak Antasari akan mengungkap kebenaran, siapa sebenarnya pembunuh Nasrudin Zulkarnaen, agar nantinya ia bisa bercerita kepada anak cucunya bahwa ia tidak bersalah.Yang membunuh itu adalah .....Mudah-mudahan.
Foto: indowarta.com dan liputan6.com
Sabtu, 21 Januari 2017
Tentang Pemindahan Makam Tan Malaka ke Sumatera Barat
Ini adalah makam Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sepintas banyak yang bertanya, kenapa Pahlawan Nasional asal Sumatera Barat ini dimakamkan di daerah Jawa Timur?
Tan Malaka asli berasal dari Sumatera Barat. Lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tanggal 2 Juni 1897. Dua buah bukunya yang terkenal "Madilog," dan "Gerpolek (Gerilya-Politik dan Ekonomi)." Buat saya, gagasannya ingin agar bangsa Indonesia merdeka 100 persen sangatlah menarik.Sudah tentu gagasan ini dicanangkannya setelah terlibat langsung untuk merebut kemerdekaan dari penjajah dengan mengorbankan harta dan nyawa.Untuk itu perlu dipertegas, agar bangsa Indonesia merdeka 100 persen. Untuk itulah, mereka ingin di berbagai bidang, politik, ekonomi dan bidang lainnya merdeka dan berdaulat 100 persen.
Tan Malaka adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pendiri Partai Murba.Pada waktu Tan Malaka meninggal dunia, ia tidak menyaksikan pembubaran PKI tahun 1966, karena sudah meninggal dunia karena ditembak pasukan Indonesia sendiri pada 21 Februari 1949 di usia 51 tahun di Kediri. Informasi ini terungkap dari pernyataan Sejarawan Belanda Harry A Poeze.Setelah Indonesia merdeka, Wakil Presiden Mumammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X (huruf eks, bukan angka 10 ejaan Romawi).Semua partai diizinkan berdiri, termasuk PKI. Dalam Pemilu 1955, PKI termasuk ke dalam empat partai besar pemenang Pemilu. Seandainya Tan Malaka masih hidup saat itu, sudah tentu ia bergembira. Boleh jadi juga jika masih hidup, usianya sudah 68 tahun di tahun 1966, di mana ia juga akan ditahan TNI pada akhirnya, karena setelah Supersemar dikeluarkan, sehari sesudahnya PKI resmi dibubarkan dan siapa pun yang berkaitan dengan PKI ditahan dan ada di antaranya dihukum atau jika membahayakan ditembak mati.
Tanggal 21 Februari 2018 nanti genap 69 tahun kepergian Tan Malaka. Saya mendengar informasi, masyarakat Minangkabau menginginkan agar tepat hari meninggalnya bulan itu, jenazahnya akan dipindahkan dari Kediri ke Sumatera Barat. Sementara warga Kediri menolak rencana itu.Menurut saya sudah saatnya pula Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) ikut membantu menangani hal ini.
Tan Malaka asli berasal dari Sumatera Barat. Lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tanggal 2 Juni 1897. Dua buah bukunya yang terkenal "Madilog," dan "Gerpolek (Gerilya-Politik dan Ekonomi)." Buat saya, gagasannya ingin agar bangsa Indonesia merdeka 100 persen sangatlah menarik.Sudah tentu gagasan ini dicanangkannya setelah terlibat langsung untuk merebut kemerdekaan dari penjajah dengan mengorbankan harta dan nyawa.Untuk itu perlu dipertegas, agar bangsa Indonesia merdeka 100 persen. Untuk itulah, mereka ingin di berbagai bidang, politik, ekonomi dan bidang lainnya merdeka dan berdaulat 100 persen.
Tan Malaka adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pendiri Partai Murba.Pada waktu Tan Malaka meninggal dunia, ia tidak menyaksikan pembubaran PKI tahun 1966, karena sudah meninggal dunia karena ditembak pasukan Indonesia sendiri pada 21 Februari 1949 di usia 51 tahun di Kediri. Informasi ini terungkap dari pernyataan Sejarawan Belanda Harry A Poeze.Setelah Indonesia merdeka, Wakil Presiden Mumammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X (huruf eks, bukan angka 10 ejaan Romawi).Semua partai diizinkan berdiri, termasuk PKI. Dalam Pemilu 1955, PKI termasuk ke dalam empat partai besar pemenang Pemilu. Seandainya Tan Malaka masih hidup saat itu, sudah tentu ia bergembira. Boleh jadi juga jika masih hidup, usianya sudah 68 tahun di tahun 1966, di mana ia juga akan ditahan TNI pada akhirnya, karena setelah Supersemar dikeluarkan, sehari sesudahnya PKI resmi dibubarkan dan siapa pun yang berkaitan dengan PKI ditahan dan ada di antaranya dihukum atau jika membahayakan ditembak mati.
Tanggal 21 Februari 2018 nanti genap 69 tahun kepergian Tan Malaka. Saya mendengar informasi, masyarakat Minangkabau menginginkan agar tepat hari meninggalnya bulan itu, jenazahnya akan dipindahkan dari Kediri ke Sumatera Barat. Sementara warga Kediri menolak rencana itu.Menurut saya sudah saatnya pula Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) ikut membantu menangani hal ini.
Senin, 09 Januari 2017
Jelang Hari Pers Nasional (HPN) 2017 Terbit Buku Wartawati Harian "Pedoman"
Foto yang saya ambil dari blog Adibsusilasuraj di atas mengingatkan kita kepada sebuah organisasi insan pers Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang lahir pada 9 Februari 1946.Mengapa tidak? Kedua tokoh pers ini, yaitu Burhanudin Mohamad Diah (BM Diah) dan Rosihan Anwar pernah terjadi konflik memperebutkan Ketua Umum PWI. Akhirnya pemerintah turun tangan dan mengakui kepengurusan PWI pimpinan BM Diah.Lengkap pertarungan itu dapat dibaca di buku "Butir-Butir Padi B.M.Diah " yang saya tulis.
Kedua tokoh pers Indonesia ini sudah tiada. Menjelang Hari Pers Nasional, 2017 yang rencananya akan diselenggarakan di Kota Ambon, Provinsi Maluku, maka baru-baru ini terbit buku wartawati harian "Pedoman," ibu Dewi Asiah Rais Abin berjudul "Hidayat, Father, Friend and A Gentlemen," diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia.Menariknya di buku ini, ketika Pak Hidayat meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tidak ada media yang memberitakan meski inspektur upacara adalah Menteri Pertahanan RI Juwono Soedarsono.Pertanyaan wartawan senior alm.Rosihan Anwar di buku ini, mudah-mudahan terjawab di Hari Pers Nasional 2017 kali ini. Bagaimanapun peranan Pak Hidayat dalam membentuk Pemerintah Darurat RI sangat penting, sebagaimana tulisan saya sebagai hasil perjalanan ke pusat Pemerintahan Darurat RI di Sumatera Barat baru-baru ini.
Kedua tokoh pers Indonesia ini sudah tiada. Menjelang Hari Pers Nasional, 2017 yang rencananya akan diselenggarakan di Kota Ambon, Provinsi Maluku, maka baru-baru ini terbit buku wartawati harian "Pedoman," ibu Dewi Asiah Rais Abin berjudul "Hidayat, Father, Friend and A Gentlemen," diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia.Menariknya di buku ini, ketika Pak Hidayat meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tidak ada media yang memberitakan meski inspektur upacara adalah Menteri Pertahanan RI Juwono Soedarsono.Pertanyaan wartawan senior alm.Rosihan Anwar di buku ini, mudah-mudahan terjawab di Hari Pers Nasional 2017 kali ini. Bagaimanapun peranan Pak Hidayat dalam membentuk Pemerintah Darurat RI sangat penting, sebagaimana tulisan saya sebagai hasil perjalanan ke pusat Pemerintahan Darurat RI di Sumatera Barat baru-baru ini.
Kamis, 05 Januari 2017
Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin di Usia 91 Tahun
Di foto ini juga terlihat Kapolri Jenderal Polisi Dr H Tito Karnavian,MA,PhD bersama Kadiv Humas Irjen Pol Drs Boy Rafi Amar menjenguk mantan Kapolri Awaloedin Djamin.
Tepat hari ini, 26 September 2018 merupakan hari lahir atau ulang tahunnya ke-91. Ia lahir di Padang, 26 September 1927. Sehabis menyelesaikan pendidikan setingkat SMA di Padang, ia melanjutkan studinya di Universitas Indonesia. Putra pertama Marah Djamin ini lantas masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang diselesaikannya pada tahun 1955.
Ketika menjabat sebagai Kapolri, ia melakukan berbagai pembaruan untuk meningkatkan citra dan wibawa Polri di mata masyarakat. Ia juga melakukan kebijakan terpadu yang dikenal dengan "Program Pembenahan dan Peningkatan Citra Diri."
Pada waktu menjadi Kapolri itu, Awaloedin Djamin telah meletakan dasar bagi organisasi Kepolisian modern. Tiga kebijakannya semasa menjadi Kapolri yang patut dicatat dalam sejarah adalah pembenahan organisasi, pendidikan kepolisian dan kerjasama luar negeri.
Awaloedin Djamin sangat rendah hati. Ia banyak menerima penghargaan dan tanda jasa dari dalam maupun luar negeri. Ia juga polisi yang mencintai buku.
Buat saya, perkenalan pertama dengan Pak Awaloedin Djamin adalah ketika beliau hadir di acara peluncuran buku yang saya tulis "Rais Abin Panglima Pasukan PBB di Timur Tengah" di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. Pak Rais Abin sekarang berpangkat Letnan Jenderal TNI (Purn) dan di usianya ke 92 masih memimpin Legiun Veteran RI.