Senin, 30 Maret 2020

PROSA LIRIS DARI EKA BUDIANTA UNTUK SANG JENDERAL




*Prosa Liris dari Eka Budianta untuk Sang Jenderal*

 _Oleh Dasman Djamaluddin_

Dua hari yang lalu, saya memperoleh kiriman beberapa buku dari Damayanti Winoto. Di antara buku-buku tersebut, salah satunya buku otobiografi Jenderal D. Ashari berjudul: "D. Ashari antara Tugas & Hobby II " (Jakarta: Yayasan Wiratama 45,  2003).

Ketika membaca buku setebal 275 halaman tersebut, pandangan saya tertuju ke prosa liris atau puisi seorang penulis bernama Eka Budianta di halaman 22 dan 23 berjudul: " Jenderal & Kupu-Kupu."
Mengutip dari " Eksiklopedia Sastra Indonesia, " Eka Budianta mempunyai nama lengkap ialah Christophorus Apolinaris Eka Buianta Martoredjo. Ia lahir di Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur, 1 Februari 1956. Ia anak kedua dari sembilan bersaudara. Ayahnya seorang petani dan ibunya guru SD. Dia penganut Katholik.

Istrinya, Melani Budianta, dosen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta mempunyai tiga orang anak.

Pendidikan dasarnya diselesaikan di kampungnya sendiri, di Desa Ngimbang. Ia melanjutkan ke SMP, lalu ke SMA Katholik di Dempo, Malang. Setelah lulus SMA (1974), ia meneruskan pendidikannya ke Jakarta. Mula-mula ia masuk Akademi Teater LPKJ, tetapi tidak selesai, lalu masuk Jurusan Kajian Kesusastraan Asia Timur, kemudian beralih ke Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1975—1979, tidak selesai).

Terakhir, Eka Budianta  mengikuti pendidikan jurnalistik di Los Angeles Trade-Technical College, Amerika Serikat (1980—1981). Ia pernah menjadi wartawan "Tempo" (1980—1983); koresponden koran Jepang "Yomiuri Shimbun" (1984—1986); asisten pada kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIC); BBC London, UNESCO, penerbit Puspa Swara, dan lain-lain.

Dia mulai menulis ketika di SMA (1972). Pada tahun 1972 ia telah menerbitkan sebuah buku kumpulan puisinya yang berjudul Bunga Desember. Tulisannya tersebar di berbagai surat kabar dan majalah, seperti "Sinar Harapan," Kompas," Berita Buana, Pelita, Merdeka, dan Kumandang (Jawa), serta Basis, Horison, Salemba, Tempo, dan Mastika(Malaysia). Dia menulis dalam bahasa Jawa, Indonesia, dan Inggris.

Cerpennya juga terbit di berbagai majalah. Juga puisinya yang diterbitkan dalam majalah. Bukunya yang telah terbit, antara lain, adalah (1) Bang-Bang Tut (kumpulan puisi, 1976); (2) Ada (kumpulan puisi, 1976); (3) Bel (kumpulan puisi, 1977); (4) Rel (kumpulan puisi, 1977); (5) Sabda Bersahut Sabda (antologi puisi bersama Azmi Yusoff, 1978); (6) Cerita di Kebun Kopi (kumpulan puisi, 1981); (7) Sejuta Milyar Satu (kumpulan puisi, mendapat pujian Dewan Kesenian Jakarta 1984); (8) Lautan Cinta(kumpulan puisi, 1988); (9) Rumahku Dunia (kumpulan puisi, 1993); (10) Menggebrak Dunia Mengarang(bacaan umum, 1992); (11) Dari Negeri Poci(antologi puisi, 1993); (12) Mengembalikan Kepercayaan Rakyat(esai, 1992); dan (13) Api Rindu(kumpulan cerpen, 1987).

Sejumlah puisinya dan karya beberapa sastrawan terkemuka yang lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Walking Westward in the Morning (antologi puisi dan prosa, 1990). Bersama F. Rahardi mereka mendirikan Yayasan Pustaka Sastra, yang mengkhususkan diri pada penerbitan karya sastra. Fajar Sastraadalah buku kumpulan puisi dwibahasanya yang dipadukan dengan foto-foto Boediharjo, diterbitkan oleh Pustaka Sastra 1997.

Ketika saya tanya, kapan kenal dengan Jenderal D. Ashari ? Ia menjawab: " Kami kenal alm Pak Ashari sejak 1980 di Los Angeles. Paling sering ketemu di Dana Mitra Lingkungan. Pernah ayah dan ibu saya diajak mengunjungi taman reptil dan serangga di TMII. Sungguh sedih kalau ingat pemakamannya di Tonjong, Bogor. Mobil jenasah terpisah cukup lama dengan mobil keluarga dan pendoanya."

Eka Budianta melanjutkan komentarnya: "Yang paling mengesankan, Pak Ashari bisa memanggil ikan dengan memasukkan tangan ke dalam air. Saya pernah diajari. Tapi tidak boleh disalah-gunakan."

 Letnan Jendral (Purn) TNI D. Ashari, mantan Menteri Perindustrian Tekstil Kabinet Dwikora 1964-1966 telah meninggal di rumahnya, Jalan Padang Nomor 17, Manggarai, Jakarta Selatan, pada Jum'at, 2 April 2010 sore, pukul 18.35 WIB. Pria kelahiran Semarang, 3 November 1922 itu meninggalkan dua orang anak dari pernikahannya dengan Sri Hartati –yang meninggal pada 2006 lalu.

Ketika membantu Majalah LVRI "Veteran," saya pernah memuat berita tentang almarhum Jenderal D. Ashari yang menerima Medali World Veterans Federation (WVF), Selasa, 14 Desember 2010 di Gedung Graha Purna Yudha LVRI. Waktu itu, Ketua Umum LVRI, Letnan Jenderal TNI (Purn) Rais Abin, memimpin upacara penyerahan kepada kedua anak Jenderal D. Ashari.

Pada waktu itu, saya ikut menyaksikan dari jauh upacara penyerahan medali tersebut. Bagaimana pun juga, nama Jenderal D. Ashari, saya peroleh dari lingkungan para veteran ketika sedang menyusun buku: "Catatan Rais Abin, Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah 1976-1979 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012).

Senin, 23 Maret 2020

Buku: " Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit " Itu Akhirnya Sampai Juga ke Kediaman Saya*

*Buku: " Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit " Itu Akhirnya Sampai Juga ke Kediaman Saya*

 _Oleh Dasman Djamaluddin_

Hari Senin, 23 Maret 2020, penulis buku: " Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit (Jakarta: Penerbit Kata, 2006),  yaitu Atmadji Sumarkidjo,  mengirimkan buku tersebut ke kediaman saya. Sebelumnya memang saya minta. Sudah tentu saya merasa senang, karena bisa melengkapi buku yang saya tulis: " Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (Jakarta: PT. Gramedia Widiasaraba, 1998 dan 2008). Dua kali diterbitkan.

Isi buku yang banyak bercerita tentang Jenderal M. Jusuf setebal 458 halaman ini banyak bercerita tentang beberapa pengalamannya selama masa pemerintahan Presiden Soeharto tersebut.

Nama Jenderal M. Jusuf dan dua jenderal lainnya, Basoeki Rachmat dan Amirmachmud selalu didiskusikan jika memperingati lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 itu. Bagaimanapun ketiga jenderal tersebut yang diutus Soeharto ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno akan selalu dibicarakan jika kita berdiskusi jika  memperingati Supersemar setiap tahunnya.

Ketika saya diminta menjadi pembicara dalam acara Seminar Nasional dan Diskusi Interaktif  " Implikasi Wafatnya Soeharto terhadap Kebenaran Sejarah Supersemar," di Fakultas Hukum Universitas YARSI, Selasa, 25 Maret 2008, saya duduk satu meja bersama penulis buku M. Jusuf yaitu Atmadji Sumarkidjo tersebut. Di sinilah awal berkenalan saya dengan penulis buku M. Jusuf.

Buku Jenderal M. Jusuf ini memang memuat tentang perjalanannya ke Istana Bogor menemui Presiden Soekarno bersama dua jenderal lainnya, yaitu Basoeki Rachmat dan Amirmachmud. Lebih penting dari itu memuat pula Supersemar asli sebanyak dua lembar di halaman 184 dan dilampiran. Hanya menjadi pertanyaan saya, nama Soekarno yang selalu ia tulis demikian, tetapi di halaman ini tertulis Sukarno. Selain itu, ditandatanganinya di Jakarta bukan seperti yang diungkapkan ajudan Jenderal Basoeki Rachmat ketika rapat di Jalan Besuki 11, Menteng, Jakarta.

Di halaman 73 dan 74 buku yang saya tulis "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar, " ajudan Jenderal Basoeki Rachmat mengatakan ditandranganinya Supersemar itu bukan di Jakarta, tetapi di Bogor.

"Pak Bas dijemput pakai mobil oleh ajudannya bernama Stany Subakir. Ada dua mobil yang mengantarkan mereka ke Jakarta. Mobil mereka melalui jalur Bogor, Cibinong, Jakarta. ' Saya masih ingat, tempat ditandatanganinya naskah itu di Bogor, bukan di Jakarta," demikian ujar Stany Subakir mengenai naskah itu.

Waktu diselenggarakan Diskusi Interaktif Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila  "Menelaah Sejarah Supersemar,"  Selasa, 10 Maret 2020 di Ruang Rapat Kemahasiswaan Universitas Pancasila,  hal tersebut kembali saya tegaskan.

Pertanyaan saya, jika sudah ditemukan Supersemar asli tidaklah mungkin M. Jusuf Kalla di harian "Media Indonesia" Sabtu, 11 Maret 2006, mengatakan: " Naskah  asli Supersemar yang tidak diketahui keberadaannya ... saat ini berada di tangan mantan Presiden Soeharto, " ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla waktu itu.

Juga Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan hal yang sama. "Supersemar asli boleh jadi berada di Jalan Cendana, " ujar Asvi Warman Adam di sumber yang sama.

Empat versi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), pun semuanya palsu atau tidak orisinal. 

Hal itu ditegaskan mantan Kepala ANRI M Asichin ketika menjadi pembicara dalam Workshop Pengujian Autentikasi Arsip yang diselenggarakan ANRI di Jakarta.  Ia menegaskan itu kembali ketika diwawancarai wartawan usai menjadi pembicara di lokakarya itu. 

Asichin menjelaskan, empat versi Supersemar itu berasal dari tiga instansi, yakni Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan dari Akademi Kebangsaan. 

Dari Puspen TNI AD dan Akademi Kebangsaan masing-masing satu versi satu lembar. Sedangkan dari Setneg ada dua versi, yakni Setneg versi satu lembar dan Setneg versi dua lembar. 

 "Dari bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (Labfor) Mabes Polri, semuanya dinyatakan belum ada yang orisinal, belum ada yang autentik," kata Asichin.

 "Jadi, dari segi histori, perlu dicari terus di mana Supersemar yang asli itu berada. Dan, tim penelusur harus terus dijalankan," kata Asichin yang kini akan menjadi dosen di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP).

Supersemar dikeluarkan Presiden Soekarno tanggal 12 Maret 1966. Satu pendapat menyebutkan Supersemar merupakan surat kuasa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Namun, pendapat lain tidak begitu, yakni hanya menyebutkan perintah kepada Soeharto mengamankan keluarga besar Soekarno.

Asichin dalam wawancara dengan wartawan kembali menegaskan bahwa empat versi Supersemar yang ada di ANRI semuanya tidak ada yang asli.    "Kita sudah uji forensik di Mabes Polri. Hasilnya menyatakan dokumen-dokumen itu hasil produk cetak, baik berupa tulisannya maupun lambang garuda, termasuk tanda tangannya bukan merupakan tarikan langsung. Semuanya merupakan produk cetak. Jadi, sampai sekarang dokumen Supersemar yang asli belum ketemu, katanya.

Ketika ditanyakan lebih mendetail apakah keempat versi Supersemar itu sengaja dipalsukan, Asichin tidak mau menyebutkan hal itu sebagai pemalsuan.    "Saya tidak menyebutkan itu pemalsuan. Pertanyaannya, apakah Supersemar itu dihilangkan atau hilang, saya tidak tahu persis. Tapi, itu semuanya palsu atau tidak asli," katanya. 

Sangat disayangkan, saya gagal bertemu Jenderal M. Jusuf. Pernah suatu ketika, beliau mau menerima saya di kediamannya. Tetapi ketika saya sudah di jalan, ajudannya telpon, pertemuan batal karena dipanggil Presiden Soeharto ke Istana.

Selasa, 17 Maret 2020

PENGAKUAN RUSHDY HOESEIN BERTEMU SUPRIYADI

*Pengakuan Rushdy Hoesein Bertemu Supriyadi*

 _Oleh Dasman Djamaluddin_

Saya mengenal Rushdy Hoesein sudah lama. Kami sering bertemu di berbagai seminar. Hari ini, Selasa, 17 Maret 2020, saya menemukan fotonya di Face Book bersama seorang lelaki bernama Soeprijadi.

Menurut pengakuan Rushdy Hoesein, ia sudah tiga kali bertemu orang yang mengaku Soeprijadi atau ejaannya juga sering ditulis Supriyadi. Tetapi saat ini sedikit percaya bahwa itu adalah Supriyadi saat ditemui lelaki berusia 90 tahun tersebut. Tidak disinggung juga hal-hal lain, seperti ia mengaku sebagai pengibar bendera pusaka tanggal 17 Agustus 1945.
Tetapi dalam pikiran saya muncul pertanyaan, setelah membaca tulisan Rushdy Hoesein tersebut, saya teringat tulisan saya di Kompasiana, bahwa saya memang telah berketetapan hati lebih condong mempercayai Abdul Latif Hendraningrat sebagai pengibar bendera pusaka pada tanggal 17 Agustus 1945. Tulisan saya itu :

Buku "Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan," Jilid II, yang diterbitkan Markas Besar Legiun Veteran RI (LVRI), saya temukan menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2017.
Buku itu merupakan cetakan kedua, diterbitkan pada tahun 2000. Mata saya tertuju ke halaman 12 tentang riwayat hidup Abdul Latief Hendraningrat. Di sini tertulis, ia adalah penanggung jawab keamanan upacara Proklamasi Kemerdekaan RI, pengibar bendera Sang Merah Putih untuk pertama kalinya secara resmi berkibar di bumi Indonesia Merdeka.

Kemudian di halaman 17, Abdul Latief menulis, bahwa ketika upacara pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih dimulai, ia melihat baki dengan bendera (yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati) disodorkan pada dirinya. Tidak ada orang yang ditugaskan untuk mengerek bendera.

Abdul Latief Hendraningrat mengaku tidak ada persiapan untuk itu. Juga tidak seorang pun berpikir sampai kesitu. Tanpa ragu-ragu, Abdul Latief mengaku, ia menerima bendera itu dan dengan bantuan seorang pemuda bercelana pendek yang kemudian diketahui bernama Suhud, ia mengikatkan pada tali yang kasar dan mengerek atau mengibarkannya di sebuah tiang bambu yang sederhana dan bersamaan itu nyanyian Indonesia Raya oleh para hadirin mengiringi berkibarnya bendera tersebut.

Itulah pengakuan Abdul Latief Hendraningrat di dalam buku yang saya sebutkan di atas. Saya berkesimpulan, pada tanggal 17 Agustus 2017 ini, saya memperoleh informasi istimewa secara langsung dari sumber buku yang saya sebutkan.
Berarti, saya sudah mulai meyakini bahwa Abdul Latief Hendraningrat dan Suhud adalah pengibar bendera Sang Saka Merah Putih pada 17 Agustus 1945. Seandainya saya tidak memperoleh buku ini? Saya akan tetap netral.

Kenapa saya sebelumnya netral? Karena pada hari Sabtu sore, sekitar pukul 17 WIB  tanggal 3 September 2011, saya pernah ke rumah Ilyas Karim yang mengaku juga, ia dan Singgih, adalah pengibar bendera merah putih itu.

Berikutnya seorang teman saya sewaktu di SMA Negeri Blora, Jawa Tengah, Suwito Hadiatmodjo pada tanggal 3 Oktober 2011 mengirimkan buku tulisan Baskara T Wardaya berjudul "Mencari Supriyadi."  Buku ini juga mengatakan Supriyadi yang mengibarkan bendera pusaka tanggal 17 Agustus 1945 itu.
Pilihan saya kepada Abdul Latief Hendraningrat yang bukunya telah diluncurkan pada 15 Oktober 2011 di Gedung Joang '45, Jalan Menteng Raya 31, Jakarta di mana saya menjadi moderatornya dan JJ Rizal serta Rushdy Hoesein sebagai pembicaranya, waktu itu saya masih netral.

Bagaimanapun suatu ketika saya akan dikritik, tetapi itulah sejarah. Selama bukti otentik lain belum diajukan, maka yang berlaku adalah bukti otentik yang saya temukan bahwa Abdul Latief Hendraningrat dan Suhud adalah pengibar bendera Sang Merah Putih Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Kembali kecerita Ilyas Karim, yang juga riwayatnya ditulis di Majalah Legiun Veteran RI "Veteran," Vol. I. No. 2 . Desember 2010, kita temukan di halaman 52 dan 53.

Seperti saya sebutkan di atas, saya pada hari Sabtu sore sekitar pukul 17 WIB, tanggal 3 September 2011, tergerak hati saya untuk menemui Ilyas Karim yang mengaku salah seorang pengibar bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1945 di rumahnya waktu itu di Jalan Rajawati Barat Kalibata no.7 Jakarta Selatan.

Semua orang sudah tentu tahu, bahwa rumahnya tidak seperti dibayangkan, hanya sebuah rumah sederhana di pinggiran rel kereta api, di mana disitulah tinggal seorang Pejuang 45 berpangkat Letnan Kolonel (Purn).

Saya menelusuri jalan itu dan menemui Ilyas Karim sedang duduk di beranda rumahnya. Baru pertama kali saya bertatap muka dengan beliau. Usianya waktu itu sudah tidak muda lagi, 84 tahun akunya. Lahir di Batu Sangkar, Sumatera Barat, 31 Desember 1927. Meskipun demikian, tubuhnya masih sehat dan daya ingatnya masih kuat. "Sebegitu pentingkah orang ini?," tanya saya dalam hati. Rupanya Ilyas Karim sedang dilanda hujatan karena mengaku sebagai orang yang berpakaian putih-putih pada waktu mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945.

Bahkan aku Ilyas Karim, ia yang mengibarkan bendera itu bersama chudancho Singgih. Hal ini sudah tentu bertolak belakang dengan pendapat beberapa orang atau sumber yang mengatakan kedua orang itu adalah chudanco Abdul Latief Hendradiningrat dan Soehoed dari Barisan Pelopor. Lha mana yang benar?

Ketika saya berkunjung itu saya tidak melihat siapa yang benar. Tetapi buat saya, Ilyas Karim adalah sumber pertama yang masih hidup. Di dalam penelitian, kita selalu memakai sumber pertama dan kedua. Biasanya sumber pertama lebih kuat dari pada sumber kedua.

Tetapi kali ini entahlah. Bagaimana pun memang harus melalui proses. Sehingga dalam ilmu penelitian tidak ada istilah meluruskan. Jika istilah ini dipakai maka selesailah proses penelitia itu karena ada pengklaiman pembenaran oleh seseorang.

Di dalam proses penelitian yang terjadi adalah penemuan-penemuan sumber yang baru. Bisa saja yang dikatakan benar hari ini akan digugurkan oleh penemuan baru berikutnya dan berikutnya. Jadi tidak ada istilah pelurusan.

Ilyas Karim adalah Pejuang 45. Sejak tahun 1936, ia sekeluarga pindah ke Jakarta. Ayahnya pernah menjabat Demang (Camat) Matraman Jakarta, namun di Zaman Jepang, ayahnya ditangkap, dibawa ke Tegal dan dibunuh Jepang di sana.

 Sebelum bulan Agustus 1945, Ilyas Karim bergabung dengan Angkatan Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Jalan Menteng 31 Jakarta. Masuk TNI-AD dan pensiun dengqn pangkat Letnan Kolonel. Pernah ditugaskan sebagai Pasukan Perdamaian di Lebanon dan Vietnam.

Ilyas Karim sewaktu saya temui itu adalah juga Ketua Umum Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia (YAPSI) yang bermarkas di Komplek Kodam Jaya Jatiwaringin. Melihat perjuangannya selama ini saya belum menyimpulkan apakah yang dikatakan Ilyas Karim benar atau salah.

Saya hanya melihat dari sisi sumber pertama yang masih hidup. Sejarahlah nanti yang bisa membuktikan siapa pengibar bendera Merah Putih sebenarnya. Pun munculnya Supriyadi, Supriyadi baru, suatu ketika jika datanya lebih akurat, otentik dan dapat benar-benar dipercaya, maka informasi paling akhir bisa mementahkan informasi sebelumnya.

Perdebatan ini muncul karena foto dari acara Proklamasi 17 Agustus 1945 tersebut tidak sempat diberi "caption," atau nama-nama yang hadir pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut.


Kamis, 05 Maret 2020

BERKENALAN DENGAN GEMALA HATTA JELANG 40 TAHUN HARI WAFAT BUNG HATTA

*Berkenalan dengan Gemala Hatta Jelang 40 Tahun Hari Wafat Bung Hatta*

 _Catatan Dasman Djamaluddin_
Sejak kenal melalui internet dengan putri kedua Bung Hatta, yaitu Dr. Dra. Gemala Rabi'ah Hatta, MRA., M.Kes,  saya sering berkomunikasi. Semalam, Rabu, 4 Maret 2020,  ia mengirimkan foto sedang melakukan teleconference,  wawancara jarak jauh.

Buat saya, sudah tentu mengingatkan jelang 40 tahun wafatnya sang ayah, Bung Hatta pada hari Sabtu, 14 Maret 2020.

Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980  dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta.  Kenapa Bung Hatta tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata ?

LaporanTribunJakarta.com menungkap bahwa Mohammad Hatta atau Bung Hatta menolak di makamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP).

Padahal, dengan jasanya yang amat besar bagi bangsa ini, tentu sudah sangat pantas bila pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat‎ itu dimakamkan di TMP.

Namun rupanya, bukan tanpa sebab ‎Bung Hatta menolak dimakamkan di TMP.

Penjaga Makam Bung Hatta, Syahrul, seperti dikutip dari TribunJakarta. com  menjelaskan alasan Bung Hatta minta dimakamkan di TPU ketimbang di TMP.

Dijelaskannya, alasan pertama karena Bung Hatta ingin dikebumikan di tempat Indonesia merdeka, yakni di Jakarta.

Syahrul melanjutkan, alasan kedua karena Bung Hatta ingin dimakamkan di tanah rakyat.

"Karena Bung Hatta ingin terus dekat dengan rakyat," tuturnya yang telah menjaga makam Bung Hatta sejak 1987 itu.

Bahkan, Bung Hatta sendiri pernah berujar agar dirinya minta dimakamkan di TPU Tanah Kusir.

"Pada 10 Februari 1975 Bung Hatta pernah mengamanatkan minta dimakamkan di Jakarta, tepatnya di TPU Tanah Kusir," ujar Syahrul

Hal lainnya karena Presiden Indonesia Soeharto mendukung bila Bung Hatta ‎dimakamkan di Jakarta.

"Keinginan Pak Harto agar Bung Hatta sebagai bapak bangsa dimakamkan sendiri (di Tanah Kusir) agar terus dikenang oleh seluruh bangsa," jelasnya.

Syahrul mengatakan Soeharto sangat memperhatikan tempat peristirahatan terakhir Bapak Koperasi itu.

Hal itu terlihat dari keputusan Soeharto yang membangun dan meresmikan area kompleks makam Bung Hatta seluas 300 meter pada 12 Agustus 1982.

Syahrul memaparkan bahwa alasan Soeharto meresmikan kompleks makam Bung Hatta pada tanggal itu bukan tanpa alasan.

"Karena Indonesia merdeka di Jakarta maka Bung Hatta minta dimakamkan di Jakarta," ujar Syahrul di area makam Bung Hatta, TPU Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Drs. Bung Hatta dan Ir. Soekarno disebut Dwitunggal Indonesia. Bung Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Sebagai mahasiswa di Belanda, Bung Hatta sering mengadakan pertemuan dengan para pemuda Indonesia yang belajar di sana. Mereka bergabung dalam "Perhimpunan Mahasiswa."

Pada tahun 1932, Bung Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan PNI-Baru yang dipimpin Mr. Sartono. Kemudian Bung Hatta ditangkap penjajah Belanda dan diasingkan ke Boven Digul, Papua. Kemudian dipindahkan dipindahkan ke Banda Neira, Pulau Banda.

Ketika Ir. Soekarno menjabat presiden Bung Hatta menjadi wakil presiden. Bung Hatta adalah pelopor usaha bersama di bidang koperasi. Karena jasanya itu, ia diberi julukan "Bapak Koperasi Indonesia."

Ketika saya menulis buku: "Butir-Butir Padi B.M. Diah (Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman) diungkapkan kepada Dasman Djamaluddin (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), banyak sekali bercerita tentang Bung Hatta, seperti di halaman 57 :

" Bung Hatta yang berada di tempat naskah Proklamasi dibuat, telah memesan makanan untuk sahur. Hari itu kaum muslimin sedang berada dalam waktu puasa yang telah berjalan beberapa hari. Saya keluar ke pekarangan rumah besar Laksamana Maeda yang memberikan kepada kami, pejuang kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, sebuah ruangan untuk mempersiapkan satu Proklamasi Kemerdekaan," ujar B.M. Diah.


Rabu, 04 Maret 2020

BUKU TENTANG ISLAM DI INDONESIA OLEH PENELITI BELANDA

*Buku tentang Islam di Indonesia oleh Peneliti Belanda*

 _Oleh Dasman Djamaluddin_

Hari ini, Rabu, 4 Maret 2020, jurnalis dan penulis buku Dhia Prekasha Yoedha mengirim isi buku peneliti Belanda Johan Hendrik Meuleman. Sudah tentu penelitiannya banyak berbicara tentang Islam di Indonesia.
Johan lahir 4 Mei 1954 dan meninggal dunia 20 Januari 2016.

Johan adalah putra seorang filsuf ortodoks yang cukup konservatif di Free University of Amsterdam. Ia belajar juga filsafat, selain sejarah. Pada 1980-an ia pergi ke Aljazair untuk penelitian doktoral tentang ekonomi Aljazair pada periode kolonial penuh, 1920-1940. Sebagian besar soal harga gandum. Dia jatuh cinta dengan seorang wanita Aljazair, Saïda Belghoul dan menikah. Mereka merayakan dua kali pernikahan: sekali dengan cara Muslim di Aljazair, sekali dengan cara yang agak 'ekumenis' di Amsterdam.

Sudah tentu, saya tidak membaca keseluruhan isi buku Johan, karena membutuhkan waktu lama untuk memahami dengan lengkap perkembangan Islam di Indonesia. Apalagi Johan pernah pula menjadi dosen di Ilmu Agama Islam Negeri (IAIN), Jakarta, maka perlu pemahaman Islam Johan tentang Islam di Indonesia agak lengkap.

Johan juga mengulas Islam di negara-negara Arab. Saya lalu teringat pendapat Kiai Said Agil Siradj di "NU online" yang mengatakan bahwa  setelah Rasulullah wafat, timbul berbagai aliran dalam Islam. Ada yang disebabkan oleh alasan politik dan ada pula yang disebabkan oleh perbedaan cara tafsir ajaran Islam terhadap berbagai persoalan baru.

Menurut Kiai Agil, beberapa aliran yang muncul di antaranya adalah Kodariyah, Murjiah, Muktazilah, Khawarij, Syiah, dan Ahlusunnah. Dari sekian banyak aliran yang ada, kini dalam perjalanan 15 Abad Islam, tinggal Sunni (Ahlusunnah) dan Syiah yang tetap bertahan sedangkan lainnya secara nama sudah hilang, meskipun pengaruh alirannya tetap ada dalam berbagai bentuk.

Kiai Said meyakini, keberadaan dua aliran yang sudah terbukti mampu bertahan ini akan mampu bertahan jauh di masa depan. Pengikut aliran Syiah memiliki kelebihan berupa militansi yang bagus. Mili tansi yang intelek, bukan militansi yang ngawur. Dalam kasus Palestina, di wilayah tersebut tidak ada orang Syiah, tetapi Iran lah yang paling menganggap musuh dengan Israel, Hizbullah yang paling menganggap musuh Israel.

Mengenai kepintaran orang Syiah, Kiai Said menjelaskan, hal ini bisa dilihat dari latar belakang peradaban Persia yang jauh lebih maju dari Arab. Begitube masuk Islam, tinggal ganti agama, ganti kitab suci Al-Qur’an, tetapi nilai-nilai peradabannya sudah mapan.

“Ahli hadits tidak ada orang Arab, tetapi orang Persia semua. Bukhari, Muslim, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Dawud, Daruqutni, Daylimi,” imbuhnya.

Ia menambahkan yang menciptakan ilmu nahwu, Imam Sibawaih merupakan orang Persia, yang menciptakan ilmu balaghoh atau kesusastraan bahasa Arab juga orang Persia, yaitu Amir bin Ubaid. Yang pertamakali menjadi mufassir besar, yaitu orang Tabaristan, yaitu Ibnu Ja’far Attabari yang membuat tafsir 10 jilid. Imam Ghozali merupakan Persia. Abu Hanifah dan Imam Hambali orang Persia. Sementara Imam Syafii dan Imam Malik orang Arab.

Mengenai hubungan yang harmonis antara Sunni dan Syiah, Kiai Said yang menyelesaikan doktor di Universitas Ummul Qura Makkah ini menjelaskan, Mesir bisa menjadi contoh. Mesir dulu ada kelompok Syiah, Sunni, dan Kristen Ortodok. Mereka bisa hidup damai.

“Ngak pernah ada konflik mazhab. 10 raja dari Syiah di Mesir dari dinasti Fatimiyah. Yang membangun kota Kairo orang Syiah, yang membangun masjid Al Azhar juga orang Syiah,” tandasnya.

Sayangnya, Mesir kini sudah mulai ada yang terseret pada fanatisme kelompok seperti mulai adanya ISIS dan Al-Qaedah.

Dari pernyataan Kiai Said Agil Siradj ini, saya yang pernah ke Irak dua kali, yaitu pada bulan Desember 1992 dan September 2014 merasakan hal tersebut.

Saya pernah menulis di Kompasiana tentang perjalanan saya ke Masjid Al-Kufa, di Kufa.  Masjid ini adalah perjalanan berkesan saya selama di Irak, September 2014, tepatnya hari Sabtu, 20 September 2014. Sebuah masjid yang dibangun Abad VII yang luasnya 11.000 persegi. Kufa atau Kufah merupakan sebuah kota di Irak. Jaraknya 170 km di selatan Baghdad.

Sudah dapat dipastikan memasuki Masjid itu saya sangat kagum. Masjid itu terawat dengan baik, bersih dan berlapiskan cahaya lampu. Di samping itu, saya bersama beberapa staf Kedutaan Besar RI di Baghdad, diajak berkeliling dan juga diperlihatkan di mana Sayidina Ali r.a, sahabat Nabi Muhammad SAW berkantor di dalam sebuah ruangan selama di sana. Staf kedutaan menyuruh saya melakukan sholat di sebuah tempat yang dianggap dekat makam sahabat Rasulullah tersebut.

Buat saya, persoalan shalat atau berdoa sebagai seorang Sunni tidak ada masalah. Memang ada perbedaan cara shalat antara Sunni dan Si"ah dan sepertinya tidak perlu dibicarakan. Pun ketika ada yang mengatakan bagi seorang Si'ah inilah tempat suci sebagaimana Masjidil Haram di Mekkah tempat suci ummat Islam Sunni. Saya berdoa dan shalat menurut ajaran yang saya anut sebagai seorang Sunni. Saya shalat karena diminta oleh staf Kedutaan Besar RI di Baghdad.Pun jika ada yang mengatakan, perjalanan saya hampir mirip naik haji seperti di Mekkah, itu pun tidak mempengaruhi saya. InsyaAllah, saya tetap merencanakan naik haji ke Mekkah. Saya menghormati aliran di mana saya berada, tetapi tetap sebagaimana keyakinan saya sebagai seorang Sunni.

Pergi ke makam sahabat Rasulullah (Ali r.a) itu sebagai seorang manusia, pasti sedih. Beliau meninggal dibunuh. Sama halnnya dengan Khalifah sebelumnya, Usman. Saya menitikkan air mata, ketika pemandu bercerita tentang sahabat Nabi itu. Hanya yang menjadi perbedaan  antara Sunni dan Si'ah adalah bahwa sebagai khalifah, pengganti Nabi Muhammad SAW itu   dipilih atau otomatis terpilih. Di sinilah perbedaan mendasar antara Sunni dan Si'ah dalam hal siapa pengganti Rasulullah SAW. Si'ah berpendapat pengganti Rasulullah adalah Ali r.a, (otomatis) karena belaiulah yang tepat mengganti Rasulullah, bukannya Abu Bakar, Umar dan Usman yang dipilih secara musyawarah (Sunni). Banyak hal-hal lain yang tidak perlu dibicarakan dalam perjalanan ini.

Saya tidak membicarakan perbedaan ini selama di Masjid Kufah. Saya bersyukur sebagai seorang Sunni bisa melihat dengan jelas perbedaan antara Sunni dan Si'ah.