Kamis, 20 Februari 2020
Kecintaan Bung Karno kepada Anak-anak
Sabtu, 15 Februari 2020
Patung B.M. Diah Itu Ada Juga di Museum Joang '45
*Patung B.M. Diah Itu Ada Juga di Museum Joang '45*
_Oleh Dasman Djamaluddin_
Ini adalah patung Burhanudin Mohamad (B.M) Diah di Museum Joang 45, Jalan Menteng Raya No. 31 Jakarta. Foto ini diabadikan putra B.M. Diah, Nurman Diah. Terlihat cucunya yang sedang berada di samping patung kakeknya. Hanya untuk menunjukkan bahwa generasi muda, patut untuk mengunjungi museum tersebut. "Jas Merah," itulah judul pidato Presiden Pertama RI, Soekarno. Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.
Gedung Joang 45, awalnya merupakan bangunan Schomper Hotel, yang dibangun sekitar tahun 1920-1938, yang dikelola oleh L.C. Schomper, seorang warga keturunan Belanda.
Ketika pendudukan Jepang, hotel ini diambil alih oleh Ganseikanbu Sendenbu (Departemen Propaganda) dan kemudian dikenal sebagai Gedung Menteng 31. Gedung ini menjadi markas program pendidikan politik yang diadakan bagi sejumlah tokoh pemuda yang berperan di era kemerdekaan, antara lain B.M. Diah, Soekarni, Chaerul Saleh, A.M Hanafi dan Adam Malik. Mereka lebih dikenal sebagai 'Pemoeda Menteng 31', yang menjadi aktor dibalik dibawanya Soekarno, Hatta dan Fatmawati ke Rengasdengklok sehari sebelum kemerdekaan. Tokoh-tokoh pemuda tersebut dibina oleh Soekarno, Hatta, Moh. Yamin, Sunaryo dan Achmad Subarjo.
Di museum ini dipamerkan sejumlah lukisan tentang peristiwa seputar proklamasi kemerdekaan RI. Terdapat pula beberapa diorama, antara lain yang menggambarkan suasana Gedung Menteng 31 pada masa kemerdekaan dan orasi Soekarno dalam Rapat Besar di Lapangan IKADA pada 19 September 1945. Ada pula arsip dokumentasi berupa foto-foto dan patung. Koleksi lainnya yang terdapat di museum ini adalah tiga kendaraan kepresidenan yang digunakan Presiden dan Wakil Presiden pertama RI.
Selain dokumentasi sejarah, Museum Joang 45 dilengkapi berbagai fasilitas, antara lain ruang pameran tetap dan temporer disertai pojok multi media, bioskop joang 45 yang menayangkan berbagai film bertema perjuangan dan dokumenter, perpustakaan referensi sejarah, children room yang berisi aneka games, foto studio, souvenir shop dan plaza outdoor untuk aktivitas teater anak.
Saya sengaja memakai kata "Ada Juga," karena patung B.M. Diah selain di Menteng, terdapat pula di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta.
B.M. Diah hadir pada malam tanggal 16 Agustus 1945 malam di rumah Laksamana Muda Maeda. Menurut B.M. Diah dalam buku yang saya tulis: "Butir butir Padi BM Diah (Jakarta:Pustaka Merdeka, 1992)," halaman 52, Maeda mengetahui betul keadaan sesungguhnya dari tentara Dai Nippon, begitu pula angkatan lautnya. Oleh karena itulah ia bersedia menyediakan rumahnya (sekarang Museum Perumusan Naskah Proklamasi) di Jalan Imam Bonjol no.1, Jakarta, untuk dipakai sebagai ruang pertemuan bagi tokoh kemerdekaan bangsa Indonesia.
Mengapa dikatakan dianggap penting? Pertama, menurut sumber dari buku-buku Bung Hatta, hanya ada enam orang, termasuk B.M. Diah yang duduk bersama-sama Ir.Soekarno, Drs Mohd Hatta, Mr Ahmad Subardjo, Sayuti Melik dan Sudiro di dalam ruang tamu rumah Maeda pada malam 17 Agustus 1945.
Kedua, dimungkinkan karena kedekatan Ahmad Subardjo, paman isteri BM Diah, Herawati Diah kepada kedua tokoh proklamator itu. Hal ini terlihat ketika BM Diah melangsungkan pernikahan dengan Herawati, Proklamator ini hadir karena diundang Ahmad Subardjo.
Faktor lain, B.M. Diah adalah wartawan, sehingga para tokoh itu perlu sekali akan informasi terbaru tentang kekalahan Jepang.
Setelah Bung Karno, Hatta dan Ahmad Subardjo berdiskusi tentang konsep naskah Proklamasi, maka dilakukan pengoreksian. Ada beberapa perkataan yang dicoret. Kata "pemindahan" diganti "penyerahan." Pada waktu ini terjadi diakusi lagi. Akhirnya kata "pemindahan" yang dipakai.
Juga kata "dioesahakan," diganti dengan "diselenggarakan."Pergantian kata kata ini menghapus kesan bahwa Proklamasi tersebut seakan akan dipaksakan.
Ada yang menarik mengenai konsep asli naskah Proklamasi tulisan tangan Bung Karno dengan pinsil hitam yang ditandatangani bersama Bung Hatta.
Setelah diketik Sayuti Melik, konsep tulisan tangan ini dibuang saja. BM Diah yang sejak awal ikut menyaksikan pengetikan di sebuah ruang kecil di bawah tangga kediaman Laksamana Maeda, lalu memungutnya, di simpan di saku. Bertahun-tahun dijadikan arsip pribadi.
Memang ada pertanyaan di mana disimpannya waktu itu? Di kantornya Harian "Merdeka" atau di rumahnya, atau juga di bawa B.M. Diah ketika menjadi duta besar?
Yang jelas, teks asli itu sudah dibingkai ketika pada tanggal 19 Mei 1992, konsep asli tulisan tangan Bung Karno ini diserahkan B.M. Diah kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Ikut menyaksikan Mensekneg Moerdiono dan Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Tjokropranolo.
_Oleh Dasman Djamaluddin_
Ini adalah patung Burhanudin Mohamad (B.M) Diah di Museum Joang 45, Jalan Menteng Raya No. 31 Jakarta. Foto ini diabadikan putra B.M. Diah, Nurman Diah. Terlihat cucunya yang sedang berada di samping patung kakeknya. Hanya untuk menunjukkan bahwa generasi muda, patut untuk mengunjungi museum tersebut. "Jas Merah," itulah judul pidato Presiden Pertama RI, Soekarno. Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.
Gedung Joang 45, awalnya merupakan bangunan Schomper Hotel, yang dibangun sekitar tahun 1920-1938, yang dikelola oleh L.C. Schomper, seorang warga keturunan Belanda.
Ketika pendudukan Jepang, hotel ini diambil alih oleh Ganseikanbu Sendenbu (Departemen Propaganda) dan kemudian dikenal sebagai Gedung Menteng 31. Gedung ini menjadi markas program pendidikan politik yang diadakan bagi sejumlah tokoh pemuda yang berperan di era kemerdekaan, antara lain B.M. Diah, Soekarni, Chaerul Saleh, A.M Hanafi dan Adam Malik. Mereka lebih dikenal sebagai 'Pemoeda Menteng 31', yang menjadi aktor dibalik dibawanya Soekarno, Hatta dan Fatmawati ke Rengasdengklok sehari sebelum kemerdekaan. Tokoh-tokoh pemuda tersebut dibina oleh Soekarno, Hatta, Moh. Yamin, Sunaryo dan Achmad Subarjo.
Di museum ini dipamerkan sejumlah lukisan tentang peristiwa seputar proklamasi kemerdekaan RI. Terdapat pula beberapa diorama, antara lain yang menggambarkan suasana Gedung Menteng 31 pada masa kemerdekaan dan orasi Soekarno dalam Rapat Besar di Lapangan IKADA pada 19 September 1945. Ada pula arsip dokumentasi berupa foto-foto dan patung. Koleksi lainnya yang terdapat di museum ini adalah tiga kendaraan kepresidenan yang digunakan Presiden dan Wakil Presiden pertama RI.
Selain dokumentasi sejarah, Museum Joang 45 dilengkapi berbagai fasilitas, antara lain ruang pameran tetap dan temporer disertai pojok multi media, bioskop joang 45 yang menayangkan berbagai film bertema perjuangan dan dokumenter, perpustakaan referensi sejarah, children room yang berisi aneka games, foto studio, souvenir shop dan plaza outdoor untuk aktivitas teater anak.
Saya sengaja memakai kata "Ada Juga," karena patung B.M. Diah selain di Menteng, terdapat pula di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta.
B.M. Diah hadir pada malam tanggal 16 Agustus 1945 malam di rumah Laksamana Muda Maeda. Menurut B.M. Diah dalam buku yang saya tulis: "Butir butir Padi BM Diah (Jakarta:Pustaka Merdeka, 1992)," halaman 52, Maeda mengetahui betul keadaan sesungguhnya dari tentara Dai Nippon, begitu pula angkatan lautnya. Oleh karena itulah ia bersedia menyediakan rumahnya (sekarang Museum Perumusan Naskah Proklamasi) di Jalan Imam Bonjol no.1, Jakarta, untuk dipakai sebagai ruang pertemuan bagi tokoh kemerdekaan bangsa Indonesia.
Mengapa dikatakan dianggap penting? Pertama, menurut sumber dari buku-buku Bung Hatta, hanya ada enam orang, termasuk B.M. Diah yang duduk bersama-sama Ir.Soekarno, Drs Mohd Hatta, Mr Ahmad Subardjo, Sayuti Melik dan Sudiro di dalam ruang tamu rumah Maeda pada malam 17 Agustus 1945.
Kedua, dimungkinkan karena kedekatan Ahmad Subardjo, paman isteri BM Diah, Herawati Diah kepada kedua tokoh proklamator itu. Hal ini terlihat ketika BM Diah melangsungkan pernikahan dengan Herawati, Proklamator ini hadir karena diundang Ahmad Subardjo.
Faktor lain, B.M. Diah adalah wartawan, sehingga para tokoh itu perlu sekali akan informasi terbaru tentang kekalahan Jepang.
Setelah Bung Karno, Hatta dan Ahmad Subardjo berdiskusi tentang konsep naskah Proklamasi, maka dilakukan pengoreksian. Ada beberapa perkataan yang dicoret. Kata "pemindahan" diganti "penyerahan." Pada waktu ini terjadi diakusi lagi. Akhirnya kata "pemindahan" yang dipakai.
Juga kata "dioesahakan," diganti dengan "diselenggarakan."Pergantian kata kata ini menghapus kesan bahwa Proklamasi tersebut seakan akan dipaksakan.
Ada yang menarik mengenai konsep asli naskah Proklamasi tulisan tangan Bung Karno dengan pinsil hitam yang ditandatangani bersama Bung Hatta.
Setelah diketik Sayuti Melik, konsep tulisan tangan ini dibuang saja. BM Diah yang sejak awal ikut menyaksikan pengetikan di sebuah ruang kecil di bawah tangga kediaman Laksamana Maeda, lalu memungutnya, di simpan di saku. Bertahun-tahun dijadikan arsip pribadi.
Memang ada pertanyaan di mana disimpannya waktu itu? Di kantornya Harian "Merdeka" atau di rumahnya, atau juga di bawa B.M. Diah ketika menjadi duta besar?
Yang jelas, teks asli itu sudah dibingkai ketika pada tanggal 19 Mei 1992, konsep asli tulisan tangan Bung Karno ini diserahkan B.M. Diah kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Ikut menyaksikan Mensekneg Moerdiono dan Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Tjokropranolo.