Rembang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibu kotanya adalah Rembang. Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang di utara, Kabupaten Tuban di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat. Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini juga terketak di Rembang.
Selain R.A. Kartini, ada seorang Ulama Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Kiai Haji Maimun Zubari atau Mbah Moen. Ia baru saja meninggalkan kita, menghembuskan napas terakhir hari Selasa 8 Agustus 2019 pagi di Mekah, usia 90 tahun. "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"(Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali). (Al-Baqarah 2:156).
Kiai Haji Maimun Zubair, yang lahir di Rembang, Jawa Tengah, 28 Oktober 1928 selain seorang ulama, ia juga adalah seorang politikus Indonesia. Ia merupakan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang dan menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan hingga wafat. Ia pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang selama 7 tahun. Setelah berakhir masa tugasnya, ia mulai berkonsentrasi mengurus pondok pesantrennya. Tetapi rupanya tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan oleh negara sehingga ia pernah diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah.
Kiai Haji Maimun Zubair selain seorang yang beriman, ia juga adalah seorang berilmu. Sesuai janji Allah, akan mengangkat kedudukan orang beriman yang berilmu dibandingkan orang yang hanya sekadar beriman tapi tanpa ilmu. Karena dengan ilmu, orang yang lebih mudah memahami dan menguatkan iman. Sementara orang yang hanya beriman akan sangat mudah goyah jika tanpa disertai dengan berbagai ilmu tentang agama.
Tak hanya itu, ilmu juga ternyata lebih berharga dibandingkan harta. Bagi para pencari ilmu, ilmu akan membawanya selalu di jalan Allah ta’ala dan menemaninya ketika di dunia sampai dihantarkannya ke dalam kubur serta membawanya kepada tempat yang dirindukan yaitu surga. Ilmu juga akan membawa banyak kemuliaan bagi yang memilikinya.
Berbicara mengenai mencari ilmu ini, saya teringat akan berita "Radar Malang," yang memuat laporan tentang sebuah kelompok bernama Arkamaya, Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB), Malang yang meneliti tokoh pers nasional. Foto di atas adalah para mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang tersebut yang ingin mendapatkan informasi dari saya tentang isi buku yang saya tulis: "Butir-Butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman" (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992).
Demi menyelesaikan tugas skripsi, para mahasiswa ini nekat ke Jakarta. Mereka berusaha bertemu sumber otentik, yakni keluarga sejumlah tokoh pers nasional. Mereka akhirnya bisa bertemu dengan anak Burhanuddin Muhammad Diah, penyelamat naskah proklamasi yang dibuat Soekarno-Hatta. Seperti apa ceritanya? Inilah kutipan lengkap dari harian Radar Malang :
21 April 2018 9:42 am
Demi menyelesaikan tugas skripsi, para mahasiswa ini nekat ke Jakarta. Mereka berusaha bertemu sumber otentik, yakni keluarga sejumlah tokoh pers nasional. Mereka akhirnya bisa bertemu dengan anak Burhanuddin Muhammad Diah, penyelamat naskah proklamasi yang dibuat Soekarno-Hatta. Seperti apa ceritanya?
Gemerlap lampu di ruangan Galeri Raos, Kota Batu, itu memberi efek menarik pada lukisan-lukisan wajah yang menempel di dinding. Bagi sebagian orang, wajah-wajah di sana boleh jadi tak asing, karena mereka adalah para tokoh pers nasional. Ada Tjokroaminoto, Burhanudin Muhammad Diah, Herawati Diah, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, P.K. Ojong, hingga Jakob Oetama.
Sejumlah buku biografi sang tokoh, juga fotokopi koran jadul juga ikut dipajang. Sebagian besar dokumen yang dipamerkan merupakan hasil hunting tujuh mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) untuk tugas mata kuliah skripsi dengan metode baru yang diuji coba, yakni performance research. Metode ini dipilih karena bisa seolah-olah menghadirkan kembali pemikiran dan perjuangan tokoh pers tersebut.
Nah, tergabung dalam kelompok Arkamaya, mereka memamerkan hasil hunting di Galeri Raos, Kota Batu. Ketujuh mahasiswa tersebut adalah Zuyyina Afwa, Azkiyah Mu’allimah, Denia Purnamayanti, Akmal Jati Pratomo, Bima Sindu Kentana, Singgih Pakusalaow, dan Putra Perdana.
Salah satu fokus perburuan Arkamaya di Jakarta adalah mencari keluarga pasangan suami istri Burhanuddin Muhammad (B.M.) Diah dan Herawati Diah. ”Jadi, kami langsung bertemu dengan anaknya yang terakhir, Nurman Diah,” kata Zuyyina Afwa saat ditemui Jawa Pos Radar Batu.
Mulanya, dia bersama Denia Purnamayanti tidak banyak mengetahui sosok B.M. Diah dan Herawati Diah, dua tokoh yang akan ditelitinya. Sebab, tidak banyak literatur yang mencantumkan kisah pasangan suami istri (pasutri) ini. Namun, menjadi sangat spesial saat mahasiswa Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB ini mendapatkan cerita langsung dari anak sang tokoh tentang perjuangan kedua orang tuanya.
Sambil duduk di kursi besi Galeri Raos, kedua mahasiswa ini saling berpandangan. Tatapannya seolah saling menggali kenangan masing-masing selama mbambung di Jakarta. ”Apa ya rasanya? Kebetulan saja bisa bertemu anaknya langsung, soalnya kami ke sana itu awalnya seperti orang tanpa tujuan,” ungkap Yiyin, panggilan akrab Zuyyina Afwa.
Mahasiswi ini menceritakan bagaimana kesan ketika bertemu Nurman. Salah satunya ialah ketika B.M. Diah ikut hadir langsung saat naskah proklamasi dirumuskan. Tak hanya itu, Nurman sendiri mengakui jika ayahnya juga yang menyelamatkan teks asli proklamasi yang ditulis tangan Sukarno. Sebab, teks proklamasi kemudian diketik ulang oleh Sayuti Melik. Tulisan tangan otentik Soekarno pun sempat dibuang ke tempat sampah. ”Naskah proklamasinya, kata Pak Nurman, ditulis tangan Bung Karno itu sempat diremas lalu dibuang setelah Sayuti Melik mengetik naskah asli proklamasi,” tutur mahasiswi 23 tahun asal Jombang ini.
Setelah menceritakan tentang B.M. Diah, giliran Denia yang membeber ingatannya. Dia menceritakan bagaimana istri tokoh tersebut, Herawati Diah, turut mendukung B.M. Diah agar mengambil naskah asli yang dibuang itu untuk dirapikan lalu disimpakan ke dalam catatan yang biasa dibawa B.M. Diah. Meski begitu, pendiri koran Merdeka ini bisa dibilang tak cukup beruntung. Sebab, B.M. Diah tak sempat menyaksikan langsung pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Cerita inilah yang masuk dalam ingatan kedua mahasiswi manis tersebut, mendengarkan langsung dari Nurman Diah. Termasuk peran B.M. Diah di Lapangan Ikada, tempat yang semula direncanakan untuk pembacaan proklamasi. B.M. Diah dan rekan-rekannya pun menyebarkan berita proklamasi dengan mencetak surat kabar, selebaran, serta menyebarkannya ke pelosok Indonesia. ”Ceritanya itu saja sih, tapi pas mau ketemunya itu agak capek,” kata Yiyin.
Saat itu, Yiyin bersama kawan-kawannya tidak tahu harus menemui siapa lagi selain Dasman Djamaludin, penulis biografi B.M. Diah. Dia bisa menghubungi Dasman pun melalui email yang tertera di buku berjudul Butir-Butir Padi.
Setelah melakukan janji bertemu Dasman pada 20 Februari lalu, Yiyin dan teman-temannya jadi tak punya tujuan lain. Sebab, pada 14 Februari mereka sudah sampai di Jakarta. Mereka tak ingin banyak waktu yang terbuang sia-sia. Mereka pun memutuskan main ke kantor Tempo.
Kedatangannya ke kantor Tempo pun terbilang nekat. Bagaimana tidak, Yiyin mencoba bertemu dengan Debra Yatim, editor Tempo English. Untungnya kenekatannya membuahkan hasil. ”Daripada kami bingung, udah ngawur aja. Pengen ke sana mau nyari penulis biografinya Herawati Diah,” terang perempuan bekerudung ini.
Sesampainya di sana, mereka berhasil menemui Debra dan meminta akses untuk bertemu dengan beberapa orang sekitar B.M. Diah maupun Herawati. Usahanya pun berhasi. Dia dan kawan-kawannya bertemu dengan Karim Paputungan, mantan redaktur pelaksana koran Merdeka. Ketidakjelasannya selama seminggu di Jakarta itu seolah mendapatkan titik terang. ”Melelahkan sekali, tapi kami jadi tahu kalau masih capek jadi peran-peran jurnalis zaman dulu,” sambung Denia.
Setelah melakukan perjalanan fisik dan batin ini, tim Arkayama bisa menghargai sebuah informasi dan tidak mudah termakan berita yang belum jelas sumbernya. ”Pokoknya kami jadi harus berhati-hati sekali kalau baca berita biar nggak mudah ikut-ikutan opini orang,” pungkas Yiyin.
Ilmu dan Iman harus sejalan. Bukankah untuk mencari ilmu yang bermanfaat bagi sesama, ada ungkapan "Carilah ilmu hingga ke negeri China?. "