Hari Senin, 8 Oktober 2018, dalam foto kedua dari kiri, saya diundang Pergerakan Indonesia Maju (PIM) yang dipimpin ketuanya Prof. Dr. M. Din Syamsuddin berdiskusi tentang masalah kebangsaan. Sudah tentu sebuah kehormatan, apalagi berbagai pokok pikiran ini akan diserahkan kepada kedua capres dan wakilnya pada hari Jumat, 12 Oktober 2018 pukul 19.00 di Ballroom Puri Agung, Hotel Sahid, Jakarta.
Saya tertarik, karena di antara pokok pikiran yang akan diajukan kepada kedua capres dan wakilnya itu menyangkut mewujudkan visi kebangsaan sesuai Undang Undang Dasar 1945 (UUD '45) yang asli.
Menurut nalar saya, berbicara tentang UUD '45 asli berarti langkah pertama yang dilakukan adalah meng-Amandemen UUD 2002 sekarang ini, agar kita bisa kembali ke UUD '45 yang asli.
Universitas Indonesia (UI) dan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) telah lama mengemukakan agar mengkaji ulang UUD 2002 harus direvisi. Tetapi keinginan UI dan LVRI tersebut belum terwujud, sementara jika kaji perubahan UUD 1945 yang disusun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia sebagaimana UUD 1945 yang asli. UUD 2002 dibuat dalam suasana "euphoria" refornasi, yang lebih didominasi suasana anti terhadap sistem Orde Baru. Akibatnya perubahan konstitusi berlangsung dalam suasana yang impulsif, tidak melalui pemikiran yang mendalam dan kajian akademis yang komprehensif.
Saya sebagai Alumni UI, sangat mendukung perubahan UUD 2002 ini. Apalagi di LVRI, saya ketika berada di sana menerbitkan buku Ketua Umum LVRI, Letjen TNI (Purn) Rais Abin, sudah lama mendukung gagasan Kaji Ulang UUD 2002. Bagaimanapun perubahan UUD '45 asli menjadi UUD 2002 dipengaruhi suasana yang impulsif, tidak melalui pemikiran yang mendalam dan kajian akademis yang komprehensif.
Sudah tentu dalam suasana seperti itu, upaya untuk mempertahankan nilai, prinsip dasar dan jiwa UUD 1945 asli, tidak mungkin berhasil. Tanpa disadari, telah terjadi penyimpangan terhadap jiwa konstitusi sebagaimana yang dirumuskan oleh "the founding fathers." Juga di dalam UUD 2002, terdapat rumusan-rumusan yang tak sejalan lagi dengan Ideologi Pancasila dan makna Pembukaan UUD 1945.
Kamis, 11 Oktober 2018
Sabtu, 06 Oktober 2018
Ratna Sarumpaet dan Nayirah, Dua Perempuan yang Mampu Mengubah Opini Umum
Ratna Sarumpaet, berusia 70 tahun, berkebangsaan Indonesia dan Nayirah, yang pada tahun 1990 berusia 19 tahun, putei Sheikh Saud Nasser al-Saud al-Sabah, Duta Besar Kuwait untuk Amerika Serikat (AS), adalah dua perempuan yang mampu mengubah opini umum di negaranya masing-masing. Kedua-duanya pada saat bersamaan adalah pemain teater. Ratna Sarumpaet berguru kepada WS Rendra, sedangkan Nayirah sudah bekajar akting di Hill Knowlton.
Wajah dua perempuan ini sekarang terpampang di berbagai internet untuk menyatakan kepada dunia bahwa keduanya pembohong.
Ratna Sarumpaet dari Indonesia dianggap berbohong, karena wajahnya yang lebam setelah dipukul atau dianiaya, ternyata wajah yang lebam itu adalah dampak dari operasi wajah yang dilakukannya. Sebagai salah seorang team kampanye salah seorang calon presiden, yaitu Prabowo Subianto, sudah tentu berpengaruh kepada ucapan berbohong yang dilakukannya. Dua kali Prabowo membuat pernyataan di layar televisi. Pertama, ketika ia akan membela Ratna Sarumpaet karena dipukul. Kedua, Prabowo meminta maaf, dan memberitahukan bahwa Ratna Sarumpaet berbohong dan telah dipecatnya dari team kampanye. Peristiwa ini masih bergulir dan sudah diproses oleh pihak Kepolisian RI.
Di Kuwait, ketika pasukan Irak masuk ke Kuwait, seluruh informasi, termasuk tentang Nayirah yang berbohong sudah saya dengar dari Menteri Perindustrian dan Perlogaman Irak, Amir al-Saadi di tahun 1992 ketika saya untuk pertama kalinya berada di Irak. Kedua, saya ke Irak tahun 2014. Oleh karena itu, apa yang diberitakan berbagai media nasional maupun internasional, tentang Nayirah itu benar.
Berkat pengakuannya dalam pidatonya di ABC's Nightline dan NBC Nightly News pada 10 Oktober 1990 yang menangis saat berbicara tentang kejahatan yang dilakukan tentara Irak di Kuwait, dunia bersimpati dan marah kepada Irak. Dalam pengakuannya, ia mengatakan menyaksikan pembunuhan lebih dari 300 bayi di rumah sakit di Kuwait. Dunia bersimpati, sehingga banyak negara ikut membantu AS mengusir Irak dari Kuwait. Irak tersudut karena informasi bohong dari Nayirah.
Setelah Irak hancur diserang oleh AS dan sekutunya terungkap bahwa pernyataan Nayirah itu bohong. Ternyata pimpinan di mana Nayirah belajar akting menandatangani kontrak 111 miliar dollar AS dengan keluarga Kerajaan Kuwait. Tugas yang diberikan memang sederhana, agar Nayirah harus bisa berakting membujuk militer AS untuk mengambil tindakan terhadap Irak dengan uraian air mata Nayirah, meski berbohong.
Langganan:
Postingan (Atom)