Sabtu, 30 Juni 2018

G.M.Sudarta dalam Kenangan



Geradus Mayela (G.M) Sudarta meninggal dunia pada 30 Mei 2018 di usia 72 tahun. Kartunis di harian "Kompas," tersebut disemayamkan di Rumah Duka "Sinar Kasih," Batu Tulis, Bogor. 

G.M.Sudarta lahir di Klaten, Jawa Tengah pada 20 September 1948. Ia merupakan putra bungsu dari pasangan bapak Hardjowidjoyo dengan ibu Sumirah. Kedua orang tua G.M Sudarta menurut beberapa sumber beragama Islam. Hanya ayahnya beragama Islam Kejawen. Keluarga besar G.M.Sudarta ada beragama Islam dan ada juga beragama Kristen.

Hari ini Victor Manai Sophiaan mengirimkan empat foto tentang jenazah G.M.Sudarta dari rumah duka.





Sebelumnya semasa G.M.Sudarta masih hidup pernah menulis kisah hidupnya sendiri di: https://kisahmuallaf.wordpress.com/2010/12/05/g-m-sudarta-kembali-kepada-keagungan-islam/ dan kisahnya saya kutip dengan lengkap :

Nama saya Geradus Mayela Sudarta, biasa disingkat G.M. Sudarta. Saya lahir pada hari Rabu Kliwon di Desa Kauman, Klaten, Jawa Tengah tepatnya pada 20 February 1948. Saya putra bungsu dari pasangan Hardjowidjoyo dan Sumirah.

Keluarga besar saya, separo Katolik dan separo Islam. Ayah saya Islam Kejawen atau kebatinan, sedangkan ibu saya muslimah. Sejak kecil sebenarnya saya sudah bersyahadat, tapi dalam bahasa Jawa. Meski kemudian ketika menjelang remaja saya dipermandikan (dibaptis). Ini mungkin karena pengaruh adik-adik ayah (paman) yang beragama Katolik. Saya sering ikut ke Gereja bersama mereka. Karena seringnya ke Gereja, saya pernah berujar, “Mendengarkan lagu Gregorian itu sama indahnya seperti mendengar Adzan.”.

Walaupun saya sudah dibaptis dan sering diajak ke Gereja, namun saya seperti tidak beragama Kristen Katolik saja, saya juga merasa sudah begitu akrab dengan agama Islam. Ibu dan saudara-saudara ibu, juga berasal dari keluarga muslim, jadi dapat saya katakan saya sudah begitu akrab dengan Islam.

Ketika saya di SMP saya bahkan pernah menjadi Ketua Rating PII (Pelajar Islam Indonesia) di sekolah. Ketika SMA, saya terlbat dalam pendirian Teater Akbar bersama Deddy Soetomo. Kebetulan, anggotanya kebanyakan dari PII. Teater yang saya dirikan sering menjuarai Festival HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam).

Teater kami sering membawakan naskah-naskah karya Arifin C. Noer, salah satunya adalah naskah yang berjudul Amniah. Naskah ini sering kami pentaskan. Bahkan dalam Kongres PII, Teater Akbar menjadi juara pada festival seninya.

Akibat kemenangan ini, sebuah surat kabar terbitan Semarang menulis, tidak semua anggota Teater Akbar orang muslim. Posisi saya dalam teater ini menjadi serba salah. Padahal saya hanya penata panggung dan kadang-kadang figuran. Pernyataan surat kabar ini pastilah ditujukan kepada saya.

Bagi saya, ini bukan masalah, dalam hal ini saya beruntung dibela oleh sastrawan O’Galelano. Menurutnya yang penting adalah estetika nya. Muslim atau bukan, yang penting bagus.

Selain aktif di dunia teater, saya juga bergaul dengan teman-teman muslim. Dari sanalah saya mulai membaca buku tentang keagamaan. Selain itu, saya juga membaca buku-buku Tan Malaka dan sejenisnya, serta buku yang lebih bersifat eksistensialis. Saya selalu bertanya, sehingga saya makin berfikir untuk mencari sebab dan akibat kehidupan.

Saya hidup untuk apa ? apalagi anggota Pelukis Rakyat banyak mempengarushi saya, sehingga saya bersimpati pada perjuangan mereka, karena ada sebagian anggota yang ikut menjawab pertanyaan saya. Tapi, itu tidak begitu lama. Akhirnya saya terus berfikir untuk mencari tahu. Saya pernah berfikir, Tuhan adxa atau tidak ada, tidak menjadi soal.

Sering Ziarah

Untuk menjawab itu, saya sering pergi kebeberapa makan Sunan (Wali). Saya sering tidur di makam Syekh Maulana Yusuf di Banten, makam Sunan Kudus, bahkan sampai ke Gresik. Namun, pertanyaan itu makin gencar dalam hati saya, walaupun saya sadar tidak akan terjawab. Saya banyak mencari-cari terutama hal-hal yang musykil.

Perjalanan ziarah itu bukanlah untuk mencari apa-apa. Bahkan saya tidak tahu untuk apa. Pertanyaan itulah yang menuntun saya mengunjungi atau menziarahi makam para sunan, bahkan sampai tidur disana. Yang jelas saya mencari pertanyaan yang tidak pernah terjawab tentang Tuhan.

Dari perjalanan mengunjungi makam para wali itu, saya pernah mengalaim kejadian aneh. Di saat saya mengunjungi makan Syekh Maulana Yusuf di Banten, saya di datangi seorang Arab berbaju putih dan bersorban, dengan logat yang kaku ia berbicara tentang nabi Isa AS. Orangnya pintar sekali.

Selanjutnya orang itu menjabat tangan saya, anehnya bau wanginya selama satu minggu tidak hilang, walaupun sering saya cuci. Dari situ saya mencari orang itu sampai ke Kudus dan tempat lain. Saya mencari orang itu tapi tidak ketemu.

Walaupun saya bukan seorang muslim, namun mengunjungi makam para wali sangat berarti bagi saya. Selain mencari jawaban atas hakikat hidup, sekaligus juga untuk mencari inspirasi dalam usaha kerja saya sebagai sorang kartunis (Aktif dalam Harian Kompas http://www.kompas.co.id , Red).

Dari perjalan ziarah inilah, saya menemukan kedamaian dan ketenangan. Banyak hal yang saya temukan. Yang jelas saya kini mendapatkan ketenangan. Walaupun saya masih dalam tahap mempelajari Islam, namun saya sudah mendapatkan karunia itu. Oleh Tuhan saya dititipi sepasang anak kembar.

Dari semua itu semakin menyadarkan saya, bahwa pegangan yang sederhana tetapi mempunyai kekuatan yang luar biasa adalah agama. dan doa kita itu pasti diterima dan dikabulkan Tuhan.

Agama, inilah jawaban yang saya terima dari perjalanan saya mengunjungi makam para wali untuk mencari hakikat hidup. Saya benar-benar disadarkan akan pentingnya sebuah pegangan hidup; Agama – yang menjadi pegangan mengarungi lautan kehidupan.

Dari apa yang telah dititipkan Tuhan pada saya — sepasang anak kembar — saya kembali disadarkan oleh rasa keberagamaan saya. Aryo Damar, anak saya yang laki-laki, sejak berusia tiga bulan sampai sekarang, bila ada adzan Magrib di televisi, ia tidak mau melepaskan diri dari depan kaca televisi. Kalaupun sedang menangis, ia berhenti dahulu untuk mendengarkan adzan. Kejadian ini saya rekam dan saya abadikan dalam kaset video. Kelakuan anak saya ini semakin memperingatkan dan membuat saya yakin bahwa pegangan paling sederhana dan mempunyai kekuatan adalah Agama.

Akhirnya, saya putuskan untuk menerima apa yang terjadi pada diri saya. Saya mengikrarkan diri menjadi seorang muslim, dengan kata lain menerima Islam. Perpindahan saya menjadi seorang muslim ini disambut baik oleh teman-teman saya dan mereka memberi beberapa buku agama, tafsir Al-Qur’an dan buku Fiqih Sunnah karya SAayid Sabiq lengka 12 jilid. Bahkan yang aneh ada teman saya yang memberikan AL-Qur’an jauh sebelum saya mengucapkan dua kalimah syahadat. Mungkin ia sudah mendapat firasat.

Selain itu, banyak pula teman-teman saya yang menyatakan penyesalannya atas keputusan saya itu. Mereka menyesali perubahan yang terjadi pada diri saya. Namun itu tidak membuat saya mundur. Saya tetap berkeyakinan untuk menjadi seorang muslim.

Islam bagi saya adalah agama yang memiliki toleransi paling tinggi. Dengan Islam saya menjadi lebih mantap memastikan pegangan hidup. Kini saya banyak belajar dari istri untuk mendalami agama terutama belajar Al-Qur’an. Selain kepada teman-teman saya juga sering mendiskusikan dengan para tokoh agama . Hal ini saya maksudkan untuk memantapkan keimanan saya.

Selasa, 05 Juni 2018

Sejarah PRRI yang Mulai Dilupakan

Bulan Juni disebut bulan Pancasila, karena pada 1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila. Tetapi bulan Juni dikaitkan juga dengan Hari Lahir Bung Karno, penggali Pancasila. Soekarno adalah Presiden I Republuk Indonesia dan Proklamator. Tanggal 6 Juni hari ini adalah Hari Lahir Bung Karno, juga pada 21 Juni hari wafatnya Bung Karno. Soekarno sebagai Presiden RI mengalami berbagai pemberontakan dan usaha untuk membunuh dirinya. Dalam tulisan kali ini, ia mengalami aksi tentara RI yang ingin mendirikan Pemerintahan Revolusioner RI. Saya (Dasman Djamaluddin),  dua kali bertemu dengan pimpinan PRRI, Ahmad Husein di rumahnya di Jakarta. 
Pertemuan Berkesan Bersama Ahmad Husein
04/05/13
Pertemuan Berkesan Bersama Ahmad Husein (1)
Created on Monday, 18 June 2012 16:47 |  |  | Hits: 155
Pengantar Redaksi:
Mengenang salah seorang pelaku sejarah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Ahmad Husein, dan apa saja kiprahnya bagi Republik Indonesia, Koran-Cyber.com menurunkan sosok pejuang dari Kota Padang Sumatera Barat ini secara bersambung yang ditulis oleh Dasman Djamaluddin, pengamat sejarah dan politik yang berdomisili di Jakarta. Selamat membaca:

***

Dua kali saya bertemu Ahmad Husein, pelaku sejarah PRRI. Dua kali itu dalam keadaan sakit di rumahnya di Jakarta. Dia tidak lagi setegar dulu, tidak lagi bersuara keras. Tetapi duduk di kursi roda. Saya hanya menanyakan kepada beliau, "Apakah Bapak pemberontak?" Dia menjawab, "Tidak!" 

Meski suaranya sudah tak lagi setegar dulu, tetapi istrinya yang selalu setia mendampinginya  selama ini ikut mengamini. Malam ini, saya mencoba menerawang kembali, mengingat pertemuan dengan seorang tokoh Sumatera Barat itu yang pernah menggegerkan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Juga ingin mengulas perjuangan Ahmad Husein selama ini.

28 November 1998, salah seorang putera terbaik bangsa, Ahmad Husein kembali ke hadirat Illahi Rabbi, dan dimakamkan di Makam Pahlawan Kuranji, Padang, Sumatera Barat. Namanya memang sudah tidak terdengar lagi tahun-tahun belakangan ini. Ahmad Husein dianggap identik sebagai "pemberontak."

Saya teringat pada pertemuan terakhir dengan Ahmad Husein sebelum meninggalkan alam fana ini. Dia terduduk sopan di kursi rodanya. Di sebuah perumahan yang halamannya cukup luas. Tenang, sepi, dan hanya ditemani istri yang selalu setia mendampinginya. Menurut sang istri tidak ada yang bisa dikatakan lagi tentang perjuangan Bapak. Dia tidak mampu membela dirinya bahwa "Bapak bukanlah pemberontak." Ya, memang dia pasrah, duduk dengan tenang di kursi rodanya, seirama ketenangan lingkungan rumahnya yang juga sepi dari hiruk pikuk keramaian ibu kota.

Nama Ahmad Husein tidak dapat dilepaskan dari sebuah gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang di masa Presiden Soekarno dianggap sebagai "pemerintah tandingan," pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang Sumatera Barat. Dialah salah seorang pejuang yang berani mengultimatum Pemerintah Pusat agar mau memenuhi beberapa tuntutan daerah. Peristiwa ini merupakan peristiwa paling serius dan terbesar, baik dalam skala waktunya, maupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Ahmad Husein lahir di Kota Padang, 1 April 1925. Perjalanan hidupnya penuh onak dan duri. Sejak kecil hidup dalam alam perjuangan, masuk hutan, keluar hutan. Bahkan dengan seringnya masuk hutan, anaknya perempuannya  mengalami cacat, karena istri waktu itu sedang hamil, juga ikut masuk dan keluar hutan.

Karier Ahmad Husein berlatar belakang militer. Ketika zaman proklamasi sampai tahun 1950, menjabat Komando Resimen TNI Harimau Kuranji di Padang. Tahun 1956-1958, Panglima Komando Daerah Militer/Penguasa Perang Daerah Sumatera Tengah merangkap Kepala Pemerintahan Sumatera Tengah dan Ketua Dewan Banteng, sebelum berstatus sebagai tahanan politik pada tahun 1961-1965.

Sejarah PRRI berawal dari penyataan "Piagam Perjuangan," sebuah ultimatum Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan yang dibacakan Kolonel Simbolon pada tanggal 10 Februari 1958. Piagam tersebut berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno agar "bersedia kembali kepada kedudukannya yang konstitusional" dan menghapuskan segala tindakan yang melanggar Undang-Undang Dasar serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan.

Tuntutan tersebut dirinci sebanyak lima butir:
 
Pertama, supaya Kabinet Djuanda dibubarkan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

Kedua, agar dibentuk Zaken Kabinet Nasional di bawah suatu panitia pimpinan Mohammad Hatta dan Hamengkubuwono IX.

Ketiga, agar kabinet baru diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilihan umum yang akan datang.

Keempat, agar Presiden Soekarno/Pj.Presiden membatasi diri menurut konstitusi.

Kelima, apabila tuntutan di atas tidak dipenuhi dalam tempo 5 x 24 jam, maka Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri.

Ketika "Piagam Perjuangan," tersebut dibacakan melalui RRI Padang, Presiden Soekarno tidak berada di Indonesia, melainkan sedang di Tokyo, Jepang. Meskipun demikian, Kabinet Djuanda buru-buru mengadakan Sidang Darurat. Setelah Perdana Menteri Djuanda berunding dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Madya Suryadarma dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Madya Subyakto, dia dengan tegas menolak "ultimatum" Dewan Perjuangan.

Sementara itu, Presiden Soekarno setelah menjalani cuti istirahat selama lima minggu, tanggal 16 Februari 1958 kembali ke Jakarta dari Tokyo, Jepang. Dia langsung memerintahkan aksi militer untuk menjawab tantangan PRRI. Juga diperintahkan untuk menagkap Ahmad Husein, termasuk Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Barlian, Kolonel A.Kawilarang, Letnan Kolonel H.N.Ventje Samuel dan Kolonel J.F.Warouw.

Sebaliknya di pihak Ahmad Husein tidak mau menyerah. Dia pun mengumumkan berdirinya "Pemerintah Tandingan," yaitu apa yang dinamakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan ibu kota di Padang, Sumatera Tengah (sekarang Sumatera Barat). Sjarifuddin Prawiranegara, salah seorang puncuk pimpinan Masyumi, diangkat sebagai Perdana Menteri. Para menteri dalam susunan kabinet tandingan ini terdapat nama Letnan Kolonel Mauludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri, Burhanuddin Harahap, Menteri Pertahanan dan Kehakiman, kemudian kedudukan Menteri Perdagangan dan Perhubungan dijabat Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo.

Akhirnya perang antara daerah dan pusat meletus sejak bulan Maret 1958 hingga Agustus 1961. Perang pusat dan daerah terlama dan dibayang-bayangi kekuatan laut dari Angkatan laut Amerika Serikat yang berpangkalan di Singapura. Sebetulnya Djuanda terus terang melukiskan keputusan pemerintah untuk melakukan aksi militer merupakan pilihan paling sulit. (bersambung)

Pertemuan Berkesan dengan Ahmad Husein (2)
Created on Tuesday, 19 June 2012 17:28 |  |  | Hits: 179
Oleh Dasman Djamaluddin

Dilema Bung Hatta

Kerasnya kehidupan di masa penjajahan, membentuk diri Ahmad Husein berpegang teguh pada pendirian. Bahkan Bung Hatta berada dalam dilema ketika Ahmad Husein ingin mengembalikan posisi Dwi Tunggal. Sebelum perang meletus, Bung Hatta menyurati dan mengimbau Ahmad Husein secara pribadi agar tidak melakukan sikap keras, tetapi tetap saja ditolak. Hal ini sudah tentu tidak kentara ketika beliau menceritakan pengalaman hidupnya di atas kursi roda, saat sakit, saat-saat terasing dari dunia ramai. Hanya istrinya yang selalu setia di sampingnya, kadang-kadang ikut mengulang pembicaraan suaminya agar lebih jelas.

"Sejak kecil, saya dianggap anak yang tidak macam-macam. Pendiam dan sangat hati-hati," ujar Ahmad Husein mengawali pembicaraannya. "Saya lahir dalam suasana perjuangan. Kedua orang tua saya berasal dari Sumatera Barat. Ayah saya Abdul Kahar, memiliki rumah obat (apotik), di samping bekerja di sebuah rumah sakit tentara di kota Padang. Kelak keahlian ayah saya mengalir kepada saya. Saat keluar dari rumah tahanan militer, yang pertama kali saya lakukan adalah membuat limun. Resep itu saya peroleh dari ayah."

"Tentang ibu," lanjut Ahmad Husein, "Ibu saya bernama Sa'adijah. Orangnya sangat sederhana. Kasih sayang yang diberikan kepada kami bersaudara sangat membekas sampai sekarang. Sejak kecil kami selalu diajarkan bertingkah laku mengikuti adat istiadat masyarakat Minangkabau. Adat Bersendi Syarak dan Syarak Bersendi Kitabullah. Agama merupakan dasar utama pendidikan kami. Sampai hari ini merupakan landasan hidup saya."

Oleh karena itulah, kadangkala apa yang diinginkan Ahmad Husein itu sebetulnya perlu dicermati, karena memiliki latar belakang tersendiri. "Saya ingin Bung Karno waktu itu jangan terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)," tegas Ahmad Husein. "Ketika Bung Hatta secara resmi mundur sebagai Wakil Presiden RI tanggal 1 Desember 1956, maka Presiden RI tersebut kehilangan teman untuk berdialog. Makanya kami ingin mengembalikan Dwi Tunggal antara Soekarno-Hatta. Mereka sudah cocok untuk mengantarkan bangsa ini mengarungi cita-citanya. Makanya saya ingin sekali mengembalikan Dwi Tunggal itu."

Ternyata keinginan Ahmad Husein untuk menyatukan kembali Dwi Tunggal ditolak Bung Hatta. Dalam suratnya tertanggal 4 Maret 1957 Hatta menulis (ejaan mengalami perubahan, tanpa mengubah arti):

Jakarta, 4 Maret 1957

Merdeka!
Sampai sekarang saya berdiam diri, karena pengambilan kekuasaan oleh Dewan Banteng di Sumatra Tengah dengan tuntutan saya kembali menjadi wakil presiden, supaya dengan itu dwi tunggal utuh kembali menempatkan saya dalam keadaan yang sulit. Saya meletakkan jabatan sebagai wakil presiden atas keyakinan, bahwa sebagai orang biasa, saya akan lebih/banyak dapat membantu usaha-usaha pembangunan serta memperbaiki moral politik daripada duduk sebagai wakil presiden konstitusional.

Keadaan di Sumatra Tengah sekarang, saya pandang sebagai suatu fait accompli sementara, yang perlu disalurkan kembali ke jalan yang normal. Saya berharap, supaya saudara menjaga keutuhan dan persatuan untuk kepentingan negara seluruhnya. Pusatkanlah usaha pada pembangunan dan ajak rakyat ikut serta membangun secara gotong royong untuk keselamatan bersama. Jagalah supaya jangan ada (ada kalimat tidak jelas) yang memancing di air keruh, yang ingin menjadikan kita berpecah belah. Betapa juga persengketaan sementara dengan pusat, cita-cita dan tujuan kita tetap: "Indonesia satu, tidak berpecah belah."

Saya akan berusaha, supaya pemerintahan otonomi yang luas dan tepat bagi daerah-daerah terlaksana dalam waktu singkat.

Wassalam

(Tandatangan Bung Hatta).

Di dalam surat Bung Hatta itu terdapat istilah Dewan Banteng. Dewan ini dibentuk Ahmad Husein di Sumatra Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Latar belakang dibentuknya dewan ini menurut Ahmad Husein bersumber pada pengalaman pahit selama sebelas tahun dalam melaksanakan apa yang dinamakan demokrasi.

"Tidak dapat disangkal bahwa sistem sentralisasime mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat, stagnasi dalam segala lapangan pengembangan daerah, sehingga mengakibatkan seakan-akan seluruh rakyat menjadi apatis dan kehilangan inisiatif, apalagi adanya unsur-unsur dan golongan-golongan yang hendak memaksakan kemauan mereka yang tidak sesuai dengan alam pikiran rakyat Indonesia yang demokrasi dan bersendikan ke-Tuhanan," demikian Ahmad Husein menjelaskan latar berlakang berdirinya Dewan Banteng.

Tak lama kemudian, pada 22 Desember 1956, kolonel M. Simbolon mengkuti langkah Ahmad Husein dengan membentuk Dewan Gajah di Medan untuk maksud yang sama. Pada tanggal 18 Maret 1957, Letnan Kolonel V. Samual membentuk Dewan Manguni di Manado dan Letnan Kolonel Barlian membentuk Dewan Garuda, di Sumatera Selatan.

Menurut saya, kalimat Bung Hatta "jangan sampai ada… memancing di air keruh," merupakan pendapat visioner. Hatta sudah melihat adanya gejala bahwa anggota PKI sudah ikut memainkan peranannya dan mengadu domba. Bahkan Hatta juga sudah melihat kekuatan asing sudah berkeinginan mengintervensi Indonesia untuk menjatuhkan Bung Karno.

Tentang pengaruh PKI, Bung Karno dalam berbagai pidatonya memang selalu mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak melupakan sejarah bahwa PKI adalah partai besar yang memperoleh suara besar di antara partai-partai lainnya dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Selanjutnya momentum pidato dan kedekatan Bung Karno dengan PKI berhasil menyeret Bung Karno sendiri memasukan tokoh tokohnya ke dalam pemerintahan.

Tentang pasukan asing, gerak gerik Angkatan Laut Amerika Serikat menuju perairan Singapura pun telah terbaca oleh Bung Hatta. Kapal itu terdiri dari kapal penjelajah berat USS Bremerton, destroyer USS Shelton dan USS Eversole. Kemudian diperkuat dengan kapal induk USS Ticonderoga. Gugus tugas ini membawa serta dua batalion pasukan marinir United States Marine Corp (USMC) dalam kondisi siap tempur.

Keterlibatan Amerika Serikat dalam melancarkan bantuan rahasia terhadap gerakan anti Soekarno adalah suatu kenyataan dari Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Serikat di masa Perang Dingin. Berkaitan dengan Indonesia, pada tahun 1957, Kongres Amerika Serikat menyetujui usulan Presiden AS waktu itu, Eisenhower yang disebut "Doktrin Eisenhower," yaitu dengan memberikan dana sebesar 10 juta dollar AS dalam bentuk cek kosong.

Program Eisenhower ini dibuat untuk memerangi pengaruh komunisme di negara-negara miskin di Asia dengan berbagai cara seperti memberi pinjaman yang harus dipakai untuk membeli sesuatu dari Amerika, misalnya beras dan senjata atau menggunakan CIA (Agen Intelijen AS) untuk menggulingkan kepala negara yang tidak sportif terhadap politik Amerika, yaitu dengan mendukung gerakan oposisi. Maksudnya agar supaya pemerintahan yang baru tidak ragu-ragu lagi menjadi suatu pemerintahan yang pro Amerika Serikat. (bersambung)

Pertemuan Berkesan dengan Ahmad Husein (3)
Created on Thursday, 21 June 2012 19:44 |  |  | Hits: 227
Oleh Dasman Djamaluddin

BUNG KARNO MARAH

Suara Ahmad Husein terputus-putus ketika menyatakan, "Saya bukan pemberontak." Saya yang menyaksikannya pun tidak paham apa yang ada dalam pikirannya. Hanya kasat mata saya melihat perjalanan panjang Ahmad Husein sepertinya berhenti di kursi roda.

Bung Hatta pun tak mampu berbuat apa-apa ketika Kolonel Achmad Yani yang dibantu Mayor Soedomo selaku Kepala Staf ATF-17 menyerang habis-habisan Markas Besar Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Bagi kelompok militer tidak ada basa-basi. Semua dilihat hitam putih. Melawan pemerintah yang sah atau tidak. Bagi militer tidak ada keraguan bahwa Ahmad Husein dan pendukungnya melakukan makar, melawan pemerintah yang sah.

Ahmad Husein sebagai pemimpinnya lari keluar kota bersama sisa-sisa anak buahnya. Tak terpikirkan lagi apa bunyi surat Bung Hatta kepadanya. Juga surat pribadi Presiden Soekarno tanggal 2 Februari 1957. Kalau dibaca surat Bung Hatta dan Bung Karno, intinya masih menginginkan agar Ahmad Husein mengurungkan niatnya. Tetapi buat Ahmad Husein tidak ada kata menyerah, karena menurutnya pikiran-pikiran yang menyatakan: You are not human being, but only a soldier, adalah perkataan yang tidak tepat dan sangat tidak sesuai dengan prinsip sebenarnya. Inilah bunyi surat Bung Karno itu:

Pribadi

Kepada Anakda Ahmad Husein
Suami Istri
Anakku,

Negara kita pada dewasa ini dalam kesulitan besar. Bapak minta kepada anakda mengutamakan keselamatan negara.

Bapak mengirimkan salam cium Bapak kepadamu suami istri.

(Tandatangan Presiden Soekarno)
Djakarta, 2 Februari 1957

Ahmad Husein terus melakukan perlawanan dari dalam hutan. Bahkan Ahmad Husein masih menganggap tokoh-tokoh seperti Bung Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bung Sjahrir, Halim dari PSI, M. Natsir dari Masyumi, K.H. Dahlan dari NU, Suwirjo dari PNI, Mayjen T.B. Simatupang mendukung perjuangannya. "Coba lihat Hatta," katanya lirih. "Dua kali mengunjungi Sumatera Tengah untuk meninjau dan melihat sendiri pembangunan-pembangunan yang tengah dilaksanakan."

Sebaliknya Bung Hatta berada dalam dilema. Sulit menerima kenyataan karena sudah mengetahui akan banyak muncul korban-korban dari sesama anak bangsa. Sayang Hatta sudah berada di luar pemerintahan. Yang dijadikan pedoman hanya perintah Bung Karno, sebagai Presiden RI dan Panglima Tertinggi.

Bung Karno sudah lelah menghadapi berbagai pemberontakan di daerah. Apalagi ada usaha pembunuhan terhadap dirinya tanggal 30 November 1957, yang lebih dikenal dengan Peristiwa Cikini. Bung Karno lolos, tetapi 11 orang meninggal dan 30 luka parah. Di dalam bukunya Bung Karno mengatakan:

"Aku sedang berjalan keluar meninggalkan malam dana amal di Perguruan Cikini, tempat kedua anakku yang sedang bersekolah. Malam itu telah diadakan keramaian dengan hiasan balon, carikan kertas berwarna-warni yang ditaburkan, musik, nyanyian, lelang dan pertunjukan singkat. Lima ratus orang tamu serta para pengajar, anak-anak dan ribuan penonton di dalam hujan pada jam 20.55, ketika kami turun dari tangga yang sempit dari tingkat kedua gedung itu di mana keramaian diadakan... Aku dikerumuni anak-anak, ketika kami sampai di luar, pintu kendaraanku terbuka disusul oleh tanda keberangkatan Presiden. Komando Pasukan Pengiring berteriak membari aba-aba, "Hormat…!" Inilah aba-aba yang mahal sekali. Dalam satu detik yang membelah suasana, di kala sesuatu dan setiap orang berhenti guna menyampaikan penghormatan, di saat hening demikian itu meledak granat pertama. Dari sebelah kiri gedung dilemparkan sebuah granat lagi."

Setelah peristiwa ini Bung Karno marah besar. Penangkapan-penangkapan terjadi di mana-mana. Bagi para perwira yang memelopori Gerakan Koreksi Nasional menuju Indonesia Baru, keadaan ini membawa konsekuensi tersendiri, karena Pemerintah Pusat memberlakukan Keadaan Darurat Perang (SOB).

Otomatis dengan perkembangan baru ini, para pemimpin militer di daerah-daerah bergolak memutuskan untuk berembuk kembali. Wadahnya adalah Dewan Perjuangan yang telah dibentuk pada tanggal 8 September 1957 saat perundingan di Palembang menjelang Musyawarah Nasional.

Diakui ataupun tidak, hingga akhir tahun 1957, kondisi Indonesia sudah mengkhawatirkan. Infiltrasi komunis di pemerintahan dan masyarakat sudah sampai ke titik tertinggi dan kekuatan komunis di Jawa sudah membahayakan. Apalagi tingkah laku Bung Karno makin menyuburkan PKI. Kabinet Djuanda Kartawidjaja yang dibentuk tanggal 17 Maret 1957 setelah jatuhnya Kabinet Ali sastroamidjojo, pun tidak dapat berbuat apa-apa.

Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamidjojo pada tahun 1953, sudah memancing antipati tentara, karena sudah menempatkan Iwa Kusumasumantri, tokoh kiri, sebagai Menteri Pertahanan. Tindakan pertama Menteri Iwa adalah menghapus jabatan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), lalu mengeluarkan SK Menteri yang menetapkan bahwa wewenang mengangkat jabatan komandan resimen dan batalion ada di tangan menteri tanpa perlu persetujuan panglima teritorium, atasannya.

Itulah sebabnya mengapa Ahmad Husein mengatakan: "Pada tempatnya kiranya, pemimpin negara berterima kasih kepada gerakan-gerakan rakyat di daerah, yang ingin mencegah pembelotan cita-cita Proklamasi 1945, yang disebabkan oleh usaha tidak jujur dari pemimpin-pemimpin berkuasa di masa lalu. Tetapi alangkah kecewanya saya mendengar reaksi-reaksi dari beberapa pemimpin dan golongan di ibu kota ini, seakan-akan gerakan-gerakan yang timbul di daerah itu adalah suatu kesalahan besar. Saya menolak keras dan tegas segala provokasi dan propaganda palsu yang dilancarkan oleh siapa pun yang mencap perjuangan suci rakyat di daerah-daerah sebagai gerakan separatisme, sukuisme, agen imperialisme dan nama-nama lain."

"Apabila kita boleh berkata tentang pengkhianatan, maka sejarah lah yang telah dan akan menentukannya. Tetapi yang pasti pada masa silam, daerah lah yang telah menyelamatkan kelanjutan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang ada sekarang ini, dengan diselamatkannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada masa revolusi tengah bergolak," tegas Ahmad Husein.

Saya berpendapat PRRI tidaklah berkhianat. Hal ini terungkap dari pernyataan Menteri Luar Negeri PRRI  Kolonel Maludin Simbolon : "Bahwa benar para Agen CIA pernah menyarankan agar pasukan PRRI meledakkan kilang minyak Caltex, sehingga ada alasan Armada VII AS masuk ke wilayah Indonesia untuk melindungi kepetingan negaranya. Tetapi usul tersebut saya tolak, karena menurut pemikiran saya, Indonesia tidak ingin seperti Korea Selatan atau Vietnam. Bagaimana pun, kami masih memiliki nasionalisme tinggi." (bersambung)

Pertemuan Berkesan dengan Ahmad Husein (4)
Created on Saturday, 23 June 2012 14:01 |  |  | Hits: 263
Oleh Dasman Djamaluddin

PERANAN SUKU MINANGKABAU

Apa yang dikatakan Ahmad Husein bahwa Padang atau Sumatera Barat atau orang-orangnya sering menjadi penentu keberlangsungan perjuangan bangsa, saya sependapat. Sebut saja nama Muhammad Yamin sebelum kemerdekaan dan sesudahnya. Beliaulah yang memperkenalkan agar bahasa Indonesia menjadi bahasa kesatuan.

Pada waktu menjelang kemerdekaan, saksikanlah siapa saja yang mengelilingi Bung Karno. Di antaranya terukir dalam sejarah, Bung Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, Sjahrir dan banyak yang lain. Semuanya berdarah Minangkabau. Di kala ingin membacakan Proklamasi Kemerdekaan dan para pemuda terus mendesak agar Bung Karno secepatnya membacakan, apa kata Bung Karno?

"Hatta tidak ada," kataku. "Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada." Itulah kata Bung Karno dan Proklamasi Kemerdekaan dibacakan setelah Hatta datang. Ini menunjukkan betapa Bung Karno tanpa Hatta, proklamasi tidak jadi dibacakan. Belum lagi peranan Tan Malaka yang sangat kuat dalam prinsip agar kemerdekaan Indonesia harus seratus persen dan tidak bisa tawar menawar. Agus Salim yang menguasai banyak bahasa asing. Sjahrir yang kelak menjadi Perdana Menteri. Sederatan nama-nama itu menunjukkan betapa suku Minangkabau sangat berperan dalam hal mendirikan dan mengisi negara ini.

Kalau kita berbicara lagi tentang peranan kota Padang atau Sumatera Barat, sudah tentu apa yang dikatakan Ahmad Husein betul. Beliau mengatakan: "Yang menarik dari pada pergantian kekuasaan penjajahan dari Belanda ke Jepang ialah dengan terdamparnya Bung Karno di Kota Padang. Semula setelah Jepang masuk, pihak Belanda merasa kuatir kalau-kalau Bung Karno jatuh ke tangan Jepang. Oleh karena itu Belanda  berusaha menyingkirkan Bung Karno ke luar negeri. Ketika itu Bung Karno berada dalam pembuangan di Bengkulu dan dari sana beliau bersama isterinya, Ibu Inggit, dibawa melalui Muko-Muko, jalan darat ke Kota Padang. Sedianya akan diangkut dengan kapal laut, tetapi dikabarkan kapal tersebut pecah dekat Pulau Enggano, sedangkan alat angkut lain, tak satu pun tersedia.

Menurut Ahmad Husein, ini merupakan sejarah penting bagi Bangsa Indonesia. Merupakan pula rahmat dari Allah SWT. Kalaulah Bung Karno tidak terdampar di Kota Padang, berkemungkinan besar sudah diangkut oleh Belanda ke luar negeri. Boleh jadi Bangsa Indonesia tidak memiliki Proklamator seperti Bung Karno. Kita pun tidak tahu, apakah mampu memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tanpa kehadiran Bung Karno.

Ahmad Husein juga benar ketika mengatakan peranan warga Sumatera Barat menyelamatkan kelangsungan bangsa dan negara RI dengan terbentuknya  Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ya, ini merupakan nafas terakhir bagi Soekarno-Hatta untuk mempercayai Sumatera Barat melanjutkan perjuangan setelah pasukan Belanda menyerang Ibu Kota Republik Indonesia, yang waktu itu di Yogyakarta.Soekarno-Hatta dan pemimpin bangsa lainnya ditangkap. Bahkan dengan pongahnya melalui Radio Belanda Hilversum, dikatakan Republik Indonesia sudah tidak ada. Sebagian dunia pun mempercayai berita itu.

Mengapa Yogyakarta? Sebelumnya ibu kota negara memang dipindahkan ke Yogyakarta dari Jakarta. Wilayah kekuasaan RI semakin sempit berdasarkan Persetujuan Renville. Persetujuan ini menjadi dilema bagi Pemerintahan Indonesia.

Memang jalan satu-satunya bagaimana menyelamatkan kelangsungan Republik ini. Soekarno-Hatta bersepakat untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera, yang ditunjuk adalah Sumatera Barat. Tidak ada jalan lain. Kedua tokoh bangsa kemudian membuat surat mandat (menguasakan) kepada Mr.Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk PDRI. Jika gagal mandat ini akan diserahkan kepada Dr.Soedarsono, Mr.Maramis dan Palar untuk membentuk pemerintahan dalam pengasingan (exile government) di New Delhi. Tetapi berkat dukungan rakyat Sumatera Barat, pemerintahan sementara ini dianggap berhasil. Bahkan Pemerintah Republik Indonesia menjadikan peristiwa 19 Desember 1948 bertepatan dengan terbentuknya PDRI di Sumatera Barat sebagai Hari Bela Negara.

Kita tidak dapat membela diri pada waktu itu. Radio Republik Indonesia (RRI) yang terus mengumandangkan suara Indonesia Merdeka ke seluruh dunia berhenti pula mengudara. Oleh karena itu terbentuknya PDRI di Sumatera Barat merupakan tonggak sejarah yang membuktikan kepada dunia bahwa Negara Indonesia tidak bubar.

Indonesia di awal kemerdekaan penuh dengan berbagai pergolakan. Setelah menghadapi serangan-serangan dari penjajah, masalah pergolakan menjadi agenda utama untuk diperbincangkan di masa pemerintahan Presiden Soekarno selanjutnya. Ada hampir 10 pergolakan yang harus diatasi Bung Karno. Mulai dari Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung tanggal 23 Januari 1950 hingga PRRI.Masalah ini menyeret Bung Karno untuk menjadi diktator dan sangat melelahkan. Apalagi tanpa kehadiran Bung Hatta yang selama ini selalu memberi penyeimbangan jika Bung Karno terlalu jauh melangkah.

Kembali  kepada Ahmad Husein yang mungkin sudah menjadi takdir, selalu sendirian mempertahankan prinsip. Ketika Ahmad Husein ingin mengeluarkan ultimatum, Sjafruddin Prawiranegara yang telah didaulat menjadi Perdana Menteri dan Menteri Keuangan PRRI, menolak menandatanganinya di awal Februari 1958. Penolakan tersebut berdampak terhadap pengeluaran ultimatum, sehingga tertunda beberapa hari. Ahmad Husein jadi juga memproklamirkan "Pemerintah Tandingan" PRRI, tetapi tanpa persetujuan Sjafruddin, di mana beliau tidak ikut menandatangani. Ultimatum proklamir PRRI tersebut hanya ditandatangani Ahmad Husein sendirian. Tetapi untuk selanjutnya mereka ikut mendukung kebijakan Ahmad Husein. Hanya tidak mau menandatangani. Tanggal 15 Februari 1958 itu, Permesta (Piagam Perjuagan Semesta) pun menyatakan diri membantu PRRI. (bersambung)

Pertemuan Berkesan dengan Ahmad Husein (5)
Created on Monday, 25 June 2012 20:44 |  |  | Hits: 248
Oleh Dasman Djamaluddin

KESEDERHANAAN AHMAD HUSEIN

Adalah tak terbantahkan, kalau kita berbicara kesederhanaan sudah tentu berbicara kesederhanaan para pejuang kita di awal-awal kemerdekaan. Termasuk di antaranya Ahmad Husein. Beliau adalah orang yang sangat sederhana. Ketika saya bertemu sebelum beliau meninggal dunia, beliau hanya berkaos oblong putih dan berkain sarung saja. Tidak ada yang istimewa di rumahnya, selain rak buku yang berbaris di ruang tengah. Hanya kedekatan saya dengan keluarga itu dijembatani sebuah senyuman, keakraban dan keceriaan tuan rumah saat menerima tamu. Itulah yang sangat penting di balik kesederhanaan itu.

Kesederhaaan ini pula yang mewarnai Keraton Sultan Hamengku Buwono X ketika saya masuki ruang pertemuan di dalamnya bulan lalu. Hanya susunan-susunan kayu-kayu lama yang masih utuh. Orang luar bisa saja berkata, “Wah, Keraton sudah tentu mewah seperti sebuah Istana milik Raja”. Tidaklah demikian yang kita lihat. Gambaran kedekatan pemimpin dengan rakyatnya memang tidak mempersoalkan hal ini. Mereka memahami betul bagaimana keadaan rakyat. Mereka juga harus hidup sebagaimana rakyat biasa. Tidak ada kesenjangan atau batas antara pemimpin dan rakyat. Jiwa pemimpin dan rakyatnya harus menyatu.

Kesederhanaan ini dulunya menjadi bekal para pejuang dalam hal memperoleh simpati rakyat. Lihatlah gambar yang saya ambil dari foto Rushdy Hoesein. Gambar ini menunjukkan betapa sederhananya para pemimpin bangsa kita sekeluarnya dari penjara. Lihatlah siapa yang berpakaian jas dan celana pendek serta sandal itu. Dia adalah Menteri Penerangan RI Amir Sjarifuddin. Sungguh sederhana. Mereka hanya berpikir bagaimana rakyat bisa sejahtera, meski pada waktu itu mereka sendiri berada dalam kesederhanaan.

Lihat juga pemimpin-pemimpin lainnya dalam rombongan itu. Bung Karno-Hatta berpenampilan seadanya. Ya dengan kesederhanaan inilah simpati rakyat kepada pemimpin sangat kuat. Bahkan Bung Karno tidak segan-segan menunjukkan kaos dalamnya yang sudah sobek-sobek.

Kedekatan pemimpin dengan rakyatnya ini membuat dukungan rakyat tidak setengah-setengah. Kebanggaan rakyat mendukung pemimpinnya sebuah kebanggaan tersendiri. Dengan kesederhanaan ini pula kemerdekaan bisa tercapai, yaitu dukungan seratus persen dari rakyatnya.

Berawal dari kesederhanaan ini pula Tentara Nasional Indonesia (TNI) membentuk konsep pertahanan semesta berencana. Konsep gerilya bersama dukungan rakyat membuat kita selalu menang di berbagai pertempuran. Berkali-kali para petinggi TNI mengatakan tanpa dukungan rakyat tugas utama TNI tak akan berhasil. Itu sebabnya ada istilah "Kembali ke Desa." Kembali ke tempat di mana TNI berasal dari rakyat untuk rakyat.

Ahmad Husein juga melakukan hal demikian. Kesederhanaanya dan kedekatan dengan rakyat serta isu-isu yang dimunculkan yaitu anti Partai Komunis Indonesia (PKI) memunculkan simpati rakyat Sumatera Barat. Dewan Banteng yang didirikannya memperoleh sambutan positif dari masyarakat.

Ketika Kota Padang digempur habis-habisan pada tanggal 17 April 1958 pasukan PRRI mundur ke pedalaman. Ahmad Husein sengaja mundur ke Solok karena sudah dekat sekali dengan rakyat Solok. Solok merupakan daerah gerilya Ahmad Husein semasa Perang Kemerdekaan. Ahmad Husein memahami betul daerah ini. Banyak pohon-pohon yang rindang di daerah Sirukam. Pohon-pohon ini dijadikan tempat persembunyian pasukan PRRI. Di daerah itu pula Ahmad Husein menyusun kembali pasukannya yang tercerai berai.

Ya, memasuki tahun 1959 merupakan tahun-tahun yang sulit buat Ahmad Husein. Bukittinggi jatuh yang sebelumnya Padang  terlebih dulu jatuh ke Pemerintah Pusat. Pasukan Ahmad Husein kekurangan makanan dan amunisi. Bantuan dari luar pun tidak kunjung tiba. Di saat-saat inilah Amerika Serikat ikut bermain. Bahkan di akhir-akhir kekalahan pasukan Ahmad Husein, Amerika Serikat merubah kebijakannya mendukung Soekarno. Kebijakan negara adidaya itu bisa kita saksikan masih dilakukan di era sekarang ini. Istilah yang dikenal yaitu memakai standar ganda.

Tentang standar ganda ini saya pribadi mengikuti perkembangan Irak, di mana saat-saat Irak bertempur melawan Iran, Amerika Serikat membantu Irak. Tetapi saat-saat Saddam Hussein, Presiden Irak waktu itu,  yang akhirnya tidak patuh lagi dengan Amerika Serikat, mereka harus digulingkan. Akhirnya dengan standar ganda ini pula pasukan Ahmad Husein di Padang terjepit dan kalah.

Adalah sangat mengenaskan, ketika Ahmad Husein bercerita tentang nasib anak-anaknya yang lahir di dalam pelarian ke hutan-hutan. Pada saat isterinya melahirkan anaknya yang kelima sekitar tahun 1961, berada dalam keadaan lemah karena tanpa obat-obatan yang cukup. Anaknya yang bernama Febrina Achyar itu menjadi saksi hidup bagi perjuangan ayahnya. Bahkan ketika isterinya dipindahkan ke Tanjung Balik untuk menghindarkan penyergapan dari tentara Pusat, anak Ahmad Husein  yang ketiga meninggal karena sakit panas.

Selain menghadapi masalah keluarga, Ahmad Husein juga menghadapi apa yang dinamakan penghianatan. Di mana-mana bisa terjadi. Tetapi untunglah nasib Ahmad Husein tidak berakhir di ujung peluru. Pemerintah Pusat mengeluarkan himbauan agar Ahmad Husein dan pasukannya kembali ke pangkuan RI, meski sebenarnya perjuangan Ahmad Husein hanyalah lebih memperkokoh berdirinya negara kesatuan RI tanpa kehadiran PKI.

Buktinya ketika bulan Februari 1960 diselenggarakan rapat di Kototinggi, yang dihadiri tokoh penting PRRI dibentuk negara Republik Persatuan Indonesia (RPI) yaitu mendirikan negara dalam negara, Ahmad Hussein tidak sepenuhnya mendukung. Hanya demi menyelamatkan persatuan dan kesatuan perjuangan di mana posisi dirinya sebagai Ketua Dewan Perjuangan, terpaksa ikut setuju dengan catatan akan ditinjau kembali kalau tidak tepat. (bersambung)

Pertemuan Berkesan dengan Ahmad Husein (6)
Created on Wednesday, 27 June 2012 16:35 |  |  | Hits: 305
Oleh Dasman Djamaluddin

KEKUATIRAN AHMAD HUSEIN TENTANG PKI, BENAR
 
Ahmad Husein mengatakan kepada saya, komunis itu paham anti Tuhan. Nada itu sangat tegas dikatakannya. Ketegasan itu bukan tanpa alasan, karena Ahmad Husein sejak duduk di HIS maupun MULO Taman Siswa sudah dikader oleh Kepanduan Hizbul Wathan, yang dibentuk Muhammadiyah, sehingga bolehlah disebut sebagai orang yang taat beragama.

Memang sepak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatera Barat sangat memprihatinkan. Mengapa Ahmad Husein pun ikut membenci PKI? Untuk menggambarkan situasi Sumatera Barat masa itu, saya pernah berjumpa dengan Jacky Mardono Tjokrodiredjo mantan Kapolres Padang Pariaman di masa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). "Banyak sekali preman dan perampokan-perampokan," ujarnya. "Anda tahu siapa yang melakukan," tanyanya kepada saya. "Itulah OPR, Organisasi Perlawanan Rakyat," jawab Jacky.

Menurut Jacky, pada waktu penumpasan PRRI, maka telah dibentuk OPR atau Organisasi Perlawanan Rakyat. Pada masa prolog G30S, walau resminya OPR telah dibubarkan, eks anggota OPR masih bebas menggunakan seragam militer.

"Pada tahun 1965, terdengar kabar bahwa eks anggota OPR yang fisiknya memenuhi syarat, akan dididik menjadi anggota TNI-AD. Syarat pendidikan dikesampingkan, yang penting kondisi fisik. Kepindahan saya dari Polres Pasaman ke Polres Padang Pariaman, tidak dapat dikatakan sebagai mutasi rutin. Pada waktu itu, pada umumnya mutasi untuk jabatan Kapolres, dilaksanakan  setelah seseorang menjabat minimal 2 tahun di suatu wilayah. Saya baru menjabat 9 bulan  sebagai Kapolres Pasaman, sudah terkena mutasi. Pertimbangannya, Polres Padang Pariaman adalah Polres yang tertinggi angka perampokannya dengan menggunakan senjata api," ujar Jacky kepada saya.

Ditambahkan Jacky, perampokan yang terjadi sering diiringi dengan pembunuhan dan perkosaan. Pelaku perampokan disinyalir adalah eks anggota OPR. Setiap Polres akan melakukan penindakan, selalu memperoleh hambatan dari oknum-oknum militer. Menurut oknum-oknum tersebut, tuduhan bahwa yang melakukan perampokan adalah fitnah. Yang memfitnah adalah anggota Polres eks PRRI. Mereka balas dendam kepada eks OPR yang aktif menumpas PRRI. Sebagaian anggota OPR adalah anggota Ormas PKI.

Secara pribadi saya belum bisa mempertanggungjawabkan data ini. Apakah benar pasukan A. Yani yang disuruh menggempur Kota Padang dan Bukittinggi di masa PRRI sebagian besar menggunakan oknum PKI. Kenapa? Atau karena kekurangan pasukan? Jika ternyata pernyataan Jacky benar, sejarah baru bisa ditemukan.

Perlu diketahui bahwa PKI muncul kembali menjadi kekuatan setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X, merupakan peraturan tertulis pertama yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang anjuran pendirian partai-partai untuk memperkuat perjuangan bangsa.

Lahirnya Maklumat ini menimbulkan perdebatan yang panjang seputar UUD 1945, mengapa Sistem Pemerintahan Presidensiil sekonyong-konyong berubah menjadi Sistem Parlementer? Mengapa harus Wakil Presiden menandatanganinya? Bahkan salah seorang peneliti berkebangsaan Belanda, Lambert Giebels, mengatakan bahwa tindakan Wakil Presiden Muhammad Hatta merupakan kudeta diam-diam dan menjelaskan kekecewaan Soekarno atas  sikap Hatta, di mana Soekarno, menurut Lambert Giebels, setelah peristiwa itu menghibur diri di Pelabuhan Ratu.

PKI semakin berkibar. Dalam Pemilihan Umum Pertama di Indonesia, 29 September 1955, PKI memperoleh suara 16,3 persen, berhasil menduduki posisi ke empat dalam jumlah pengumpulan suara untuk Parlemen (DPR). Posisi teratas PNI dengan jumlah suara 22,1 persen, berikutnya Masyumi, 20,9 persen dan NU, 18,4 persen.

Juga perlu dicatat, pada masa Demokrasi Parlementer, di Sidang Konstituante, 10 November 1956 sebuah perdebatan ideologi terjadi di mana PKI merupakan suara terbesar kedua mendukung Pancasila setelah PNI. Tanpa adanya PKI, maka dua ideologi lainnya, Islam dan Sosial-Ekonomi akan menang. Tetapi, sidang Konstituante ini sudah dua setengah tahun berjalan dan tidak mampu mewujudkan rumusan Undang-Undang Dasar Baru. Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno mengajukan usul agar kembali ke UUD 1945. Begitu kembali dari perjalanan ke Jepang, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengambil tindakan penuh resiko, yaitu dengan mengeluarkan sebuah Dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Setelah ini PKI semakin leluasa memengaruhi Bung Karno apalagi tanpa Bung Hatta. Bung Karno ingin agar PKI masuk ke dalam pemerintahan. Ini menjadi kekuatiran Ahmad Husein yang kemudian menjadi kenyataan.

"Yah, saya tahu itu, terhadap PKI, ada beberapa saudara-saudara atau pihak berkeberatan... apakah kita dapat terus menerus mengabaikan satu golongan yang didalam Pemilihan Umum mempunyai suara enam juta?” ujar Bung Karno tentang PKI. (bersambung)

Foto Ahmad Husein 
Catatan: Sayangnya saya tidak melakukan pemotoan waktu bertemu itu, karena menurut saya ini buat pribadi. Ternyata dua kali pertemuan banyak yang diungkap dalam momen penting tersebut.

Pertemuan Berkesan dengan Ahmad Husein (7)
Created on Saturday, 30 June 2012 14:55 |  |  | Hits: 226
Oleh Dasman Djamaluddin

SETELAH SJAFRUDDIN DAN NATSIR APAKAH AHMAD HUSEIN PAHLAWAN NASIONAL?

Akhirnya sampailah kita menjelang saat-saat mencemaskan kehidupan berbangsa dan negara waktu itu, pada saat Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) mengangkat senjata. Ahmad Husein di saat-saat terakhirnya memang sedikit lelah dan sakit-sakitan. Tetapi ketika berbicara masalah perjuangan, wajahnya seperti penuh semangat, mencoba mengingat masa lalunya.

Sejarah telah membuktikan, korban telah berjatuhan. Darah merah mengalir di bumi Minangkabau. Tak seorang pun bisa menahan konflik di antara sesama saudara itu. Perang Daerah (Sumatera Barat) dengan Pusat berlangsung sejak Maret 1958 hingga Agustus 1961. Tiga tahun lebih kedua belah pihak saling serang, saling tembak, saling curiga mencurigai. Lebih parahnya lagi perang itu berdampak terhadap Partai Politik.

Adalah Sjafruddin Prawiranegara (sering juga ditulis pakai ejaan baru Syafruddin) dan Natsir, dua orang anggota Partai Masyumi ikut menjadi korbannya, karena keterlibatan mereka terhadap PRRI. Akhirnya, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 200 tahun 1960, maka pada tanggal 17 Agustus 1960, pemerintah resmi membubarkan Partai Masyumi. Pertimbangannya, "Organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dengan pemberontakan apa yang disebut 'Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia."

Sebelumnya wewenang Presiden untuk membubarkan partai-partai politik telah diatur dengan Penetapan Presiden (PP). Hanya sayangnya menurut saya, begitu pula pembubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dianggap membahayakan, di masa Presiden Soekarno dan Soeharto, kedua pemimpin pemerintahan ini tidak mengikuti lagi aturan-aturan yang berlaku. Sebetulnya bagaimana pun berbahayanya sebuah partai politik, tetapi pembubarannya harus mengikuti tata aturan yang sudah disepakati dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Kalau harus dilanggar untuk apa peraturan itu dibuat? Bukankah wilayah politik dan hukum sangat bertolak belakang?

Nyatanya di kemudian hari, 10 Nopember 2011, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, yang didahului Natsir diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah. Sjafruddin diusulkan dua kali baru diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Sjafruddin Prawiranegara lahir di Anyer (Banten Kidul) pada 28 Februari 1911 dan terkenal sebagai seorang ahli moneter. Pendidikannya sebagai ahli hukum diperolehnya pada Recht Hogeschool di Jakarta dan gelar Sarjana Hukum (Meester in de Rechten) diperolehnya pada tahun 1939. Ia memulai kariernya sebagai ahli moneter pada masa Pemerintahan Hindi
...