Jumat, 13 November 2020
Rabu, 21 Oktober 2020
Partai Golkar 56 Tahun Perjalanan Panjang Sebuah Partai Politik
Partai Golkar 56 Tahun Perjalanan Panjang Sebuah Partai Politik
_Oleh Dasman Djamaluddin_
"Pada malam hari ini kami kader Partai Golkar datang untuk memberikan penghormatan sekaligus berdoa mengenang arwah pahlawan yang telah mendahului kita," ujar Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto, pada saat ziarah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata, Senin malam, 19 Oktober 2020,
dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Partai Golkar ke-56.
Ketua Umum Partai Golkar tersebut mengimbau kepada seluruh kader Golkar agar menanamkan rasa saling peduli untuk bangsa dan negara.
"Kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para Pahlawannya. Mari bergerak maju menatap masa depan, kobarkan semangat juang tanpa mengenal lelah, demi meraih kemenangan untuk kebesaran Partai Golkar," kata Airlangga.
Dilansir dari situs "Antara," Airlangga dan kader Partai Golkar memberi penghormatan dan berdoa mengenang arwah para pahlawan.
Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormasnya dalam kehidupan politik, baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat.
Tepat pada Hari Ulang Tahun Partai Golkar ke-56, Selasa, 20 Oktober 2020, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto diundang saat webinar Nasional. Ia menyatakan optimistis mampu melawan dan melampaui wabah Covid-19, lalu bangkit bersama, terutama di daerah-daerah sepatutnya digaungkan semua pihak.
Menkes mengapresiasi Partai Golkar yang peduli terhadap kondisi bangsa dan masyarakat yang saat ini sedang berjuang melawan pandemi Covid-19.
_Perjalanan Panjang Golkar_
Golongan Karya, dulu semasa Presiden Soeharto berkuasa enggan memakai imbuhan Partai. Jadi cukup Golongan Karya saja.
Di masa Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, Golkar memperoleh hak istimewanya. Di masa ini, seorang Presiden memegang tiga wewenang sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI), dia adalah Kepala Eksekutif dan sangat kontroversial, dia juga adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Sementara kedua partai politik lainnya, masing-masing Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) seakan-akan terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang kalimat “seakan-akan” memberi arti bahwa tidak terlalu terlihat apa yang dilakukan oleh Presiden. Jika ada acara-acara ketiga partai tersebut, Presiden selalu menghadiri acara Golkar.Tetapi kalau berlangsung acara dua Partai Politik lainnya, yang hadir cukup wakil yang ditunjuk oleh Presiden. Pada waktu ini, tidak ada kata kalah dalam kamus Golkar jika sedang melaksanakan Pemilihan Umum. Golkar selalu menang.
Tetapi pada 21 Mei 1998, Ketua Dewan Pembina Golkar, Soeharto lengser dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Sudah tentu Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Golkar dihujat, dicaci maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan.
Keinginan membubarkan Golkar ini bukan hanya datang dari sebahagian masyarakat, tetapi juga dari penyelenggara negara di masanya, sebut saja Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika mengeluarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur memaklumkan di poin ke-3nya untuk membekukan Golkar dengan dalih untuk menyelematkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur Orde Baru. Akhirnya sejarah berkata lain, keinginan untuk membekukan Golkar ditolak Mahkamah Agung.
Di era Reformasi, pada 7 Maret 1999 Golkar mendeklarasikan diri sebagai Golkar “baru,” di bawah Ketua Umumnya, Ir.Akbar Tandjung. Di Pemilihan Umum, Juni 1999, Golkar sudah memakai imbuhan Partai. Lengkapnya Partai Golkar. Pada waktu ini masih meraih suara kedua, di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Partai Golkar terus berbenah diri. Ketua Umumnya silih berganti, dari Akbar Tandjung ke Jusuf Kalla dan sekarang Aburizal Bakrie. Sepertinya baru sekarang ini, Partai Golkar menghadapi dilema. Pencalonan Aburizal Bakrie sebagai Presiden RI mengundang kritikan-kritikan tajam, terutama dari Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Elektabilitas Aburizal tidak pernah mampu menandingi calon-calon Presiden RI lainnya. Ada himbauan agar Aburizal mundur saja dari pencalonan dan menggantinya dengan kader-kader Golkar yang lain.
Di detik-detik terakhir Aburizal masih tetap ngotot menjadi Calon Presiden RI. Bahkan hingga Rapimnas Golkar terakhir ada kalimat yang seakan-akan mengatakan, Aburizal adalah satu-satunya wakil sah yang diusung partai berlambang beringin itu untuk menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden RI. Jika ada kader-kader Golkar yang mendukung calon lain selain Aburizal Bakrie, maka silahkan mengundurkan diri dari jabatan strukturalnya. Faktanya, bisa kita saksikan banyak yang mengundurkan diri.
Di calon partai lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkembang pula gerak cepat dinamika partai. PDI-P memilih Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi Calon Wakil Presiden RI mendampingi Joko Widodo. Sepertinya Partai Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie salah tingkah. Mereka menerima jabatan setingkat Menteri dan tidak lagi mendesak jabatan Wakil Presiden atau Presiden, karena posisi itu sudah diisi partai-partai yang berkoalisi lebih dulu. Akhirnya Partai Golkar berlabuh ke Calon Presiden Prabowo.
Memang ada persoalan , mengapa Partai Golkar secara resmi mendukung Gerindra yang jelas jelas Calon Presiden dan Wakil Presidennya berasal dari partai lain. Sementara PDI-P mengusung Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Golkar sebagai Calon Wakil Presiden RI ? Nah, boleh jadi jika nantinya Aburizal Bakrie suatu ketika tidak menjabat Ketua Umum Partai Golkar menjadi Calon Presiden atau Wakil Presiden, boleh saja kader Golkar yang resmi pun tidak wajib mendukungnya. Kalau demikian, apa yang terjadi sekarang ini di Partai Golkar. Sudah tidak adakah rasa soliditas dan solidaritas di antara sesama kader? Kalaulah bisa disebut politik dua kaki, tetapi tidak eloklah melakukan hal demikian. Kecuali kalau Jusuf Kalla bertarung bukan sebagai Calon Wakil Presiden RI.
Inilah yang banyak disesalkan kader-kader Golkar lainnya. Jika semua kader Golkar yang mendukung Jusuf Kalla di PDI-P diwajibkan melepas jabatan strukturalnya, tetapi tidak mungkinlah terhadap Jusuf Kalla. Ia tumbuh dengan sendirinya sebagai kader Golkar yang berhasil. Bagi Jusuf Kalla dengan mengunjungi kediaman Suhardiman, pendiri Partai Golkar dan Soksi, di Cipete, Jakarta Selatan baru-baru ini secara tidak langsung memberikan contoh, beginilah seharausnya kader Golkar berbuat.
Sangat jelas apa yang dikatakan Jusuf Kalla, "Saya datang sebagai kader Golkar dan mantan Ketua Umum Golkar. Datang ke sini untuk minta restu kepada pendiri Golkar," kata Jusuf Kalla di kediaman Suhardiman Jl. Kramat Batu No.1 Cipete, Jakarta Selatan, Senin, 26 Mei 2014.
Suhardiman merupakan satu satunya pendiri Golkar yang masih hidup pada waktu itu. Di usia senjanya ia tetap mengikutin perkembangan politik di Tanah Air.
"Saya tetap mengikuti perkembangan politik dan tahu kalau Pak JK maju dalam Pilpres mendampingi Jokowi. Saya mendukung dan mendoakan Pak JK dan Jokowi agar terpilih dan membawa rakyat Indonesia jadi makmur dan sejahtera," kata Suhardiman.
"Dalam sejarahya, pemimpin kita itu ada yang keluar masuk penjara, yakni Soekarno. Kedua adalah yang punya wibawa, yakni Soeharto. Ketiga yang akan memimpin Indonesia diramalkan adalah Satrio Piningit. Saya melihat ada tokoh yang datang dari bawah dan itu Pak Jokowi. Jadi Satrio Piningit itu tidak lain Jokowi," kata Suhardiman.
Di kalimat terakhir Suhardiman ini saya mengomentari Wallahualam. Kita tunggu saja hasil pemilihan Presiden, Juli 2014. Yang jelas pertemuan Suhardiman dan Jusuf Kalla ingin meninggalkan pesan, hendaknya di antara kader Golkar, rasa soliditas dan solidaritas serta saling mendukung tetap dipertahankan kader-kader Golkar. Kalau tidak mereka yang melakukan siapa lagi?
Ini yang saya puji dari Suhardiman, satu-satunya pendiri Golkar yang pada waktu itu masih hidup. Prof. Dr. Suhardiman, S.E. adalah tokoh politik yang telah melewati 5 masa kepemimpinan Indonesia: zaman Hindia Belanda, zaman Jepang, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan masa reformasi. Lahir: 16 Desember 1924,Surakarta dan meninggal, 13 Desember 2015, di Cipete Selatan, Jakarta.
Senin, 12 Oktober 2020
Berakhirnya Kepengurusan ICMI Orda Depok 2011-2016 Tanpa Kesan
Berakhirnya ICMI Orda Depok 2011-2016 Tanpa Kesan
_Oleh Dasman Djamaluddin_
Sebagai anggota Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Orda Kota Depok Periode 2011-2016 sudah tentu saya kecewa dengan kepengurusan lama ini, karena kurangnya informasi kepada anggotanya.
Sebagai Ketua Divisi Hukum dan HAM di dalam kepengurusan lama, saya terkejut dengan diselenggarakannya Musyawarah Daerah (Musda) ICMI Orda Kota Depok, mengambil tema: " Mengokohkan Peran ICMI dalam Membangun Kota Depok, " yang digelar pada hari Sabtu, 10 Oktober 2020 di Aula Kampus STEI SEBI dan menetapkan Nurhadi MM sebagai Ketua ICMI Orda Depok periode 2020-2025.
Terkejut, bukan berarti kecewa, karena sebelum pelantikan ini, sudah dibentuk diangkat Pejabat Sementara Ketua ICMI Depok yang diemban H. Minda, S.IP dan Pjs. Sekretaris H. Mulyadi, S. Pdi, M. Si. Jika kecewa sudah tentu saya tujukan kepada Ketua ICMI Orda Depok Periode 2011-2016. Kenapa demikian?
Kecewa mungkin saya tujukan kepada Ketua Pengurus ICMI Organisasi Daerah Depok, Periode 2011-2016, Ir. Djoko Prabowo dan Sekretaris, Muhammad Alfin, S.E.
Bayangkan, kami bertemu terakhir kali ketika bertepatan dengan Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-72, Selasa, 5 Februari 2019. Kami yang tergabung dalam ICMI Kotamadya Depok Periode 2011-2016 bersilaturahmi di sebuah tempat di Depok.
Terlihat dalam pertemuan itu, dari kiri, Wakil Ketua Majelis Pengurus ICMI Organisasi Daerah Kota Depok, Dra. Irna Syafei, MPd; Sekretaris Divisi Kelembagaan Organisasi, Ir. Sahrul Polontalo; Ketua Divisi Hukum dan HAM, Dasman Djamaluddin,S.H, M.Hum; Ketua Pengurus ICMI Organisasi Daerah Depok, Ir. Djoko Prabowo dan Sekretaris, Muhammad Alfin, S.E. Sementara yang hadir dan tidak terlihat di foto, Wakil Ketua, Dr. H. Fakhrurrozi.
Bagaimana pun kita semua yang hadir tidak mungkin lupa, ketika Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang terletak di Jalan Nusantara Raya 5-7 Depok, pada hari Minggu, 24 Juli 2011 malam, menjadi saksi sejarah kesinambungan dan kebangkitan ICMI Organisasi Daerah (Orda) Kota Depok.
Hal ini dikarenakan, sebelumnya gedung itu pun dipakai sebagai ajang pemilihan Ketua baru ICMI Orda Kota Depok dalam acara Musyawarah Daerah Pertama tanggal 22 Mei 2011. Bahkan gedung itu pula akan, di salah satu ruangannya, menjadi sekretariat tetap ICMI Orda Kota Depok.
Tetapi yang kita sayangkan, setelah pertemuan terakhir, tidak pernah bertemu lagi. Juga informasi tentang ICMI Orda Depok tidak terdengar di telinga saya. Sungguh amat disayangkan.
Sabtu, 08 Agustus 2020
BUYA HAMKA
Hari ini, saya mengutip pernyataan Buya Hamka yang ditayangkan putra laki-lakinya, Afif Hamka di Face Book.
" Mengukur tujuan hidup kebendaan inilah yang membawa banyak penyakit bagi negara. Perebutan pangkat, kursi dan kemegahan, karena kehilangan tujuan hidup yang sejati. Menimbulkan cabang-cabang dosa. Di antaranya ialah kehilangan rasa malu."
Prof. Dr. Abdul Malik Karim Amrullah berasal dari Minangkabau. Ia diberi gelar Datuk Indomo. Lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, pada tanggal 17 Februari 1908 –meninggal di Jakarta, pada tanggal 24 Juli 1981 di usia 73 tahun.
Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia juga terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan.
Buya Hamka pernah menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Atas perjuangannya di bidang agama Islam, maka Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Buya Hamka banyak menulis buku. Di antaranya: "Tafsir Al-Azhar," Tenggelamnya Kapal Van der Wijck," Di Bawah Lindungan Ka'bah."
Di ambil dari wikipedia, putra-putri Buya Hamka, dari pasangan dengan Sitti Raham yang dinikahinya dari tahun 1929 hingga meninggalnya tahun 1972 dan Hajah Siti Khadijah, yang dinikahinya dari tahun 1973 hingga meninggalnya Buya Hamka tahun 1981, adalah :
Rusydi Hamka,
Irfan Hamka,
Aliyah Hamka
Afif Hamka,
Hisyam Hamka,
Husna Hamka,
Fathiyah Hamka-Vickri
Helmi Hamka,
Syakib Arsalan Hamka,
Azizah Hamka,
Fachry Hamka, dan
Zaki Hamka.
Jika melihat foto di atas, dari kiri ke kanan adalah Afif Hamka, Azizah Hamka, Fathiyah Hamka (usia 73 tahun) dan Syakib Arselan Hamka atau Amir Syakib (putra bungsu Buya Hamka).
Sedangkan di foto lainnya terlihat Syakib yang paling kiri, Azizah, Istri Buya Hamka Sitti Khadijah, Fathiyah Hamka -Vickri (pakai baju merah) dan paling kanan sekali Syakib Arselan Hamka.